NEGERI yang kaya raya akan suku dan budaya ini usai sudah menghelat pesta demokrasi. Tuhan menganugerahkan kekayaan dan keindahan sungguh luar biasa yang menakjubkan. Tinggal rakyatnya harus piawai merawat agar menjadi kekuatan sebagai bangsa beradab dan bermartabat.
Dalam perhelatan 17 April lalu, anak bangsa menyambut pemilihan umum dengan gegap gempita. Sayangnya, pesta yang diapresiasi 81% pemilih di negeri ini menjadi ajang perpecahan karena perbedaan dalam memilih presiden dan wakil presiden. Dua pekan lebih, tanda-tanda perbedaan masih tetap meruncing.
Memperingat Hari Buruh Sedunia, pada 1 Mei lalu, genderang kegaduhan tetap ditabuh. Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto ikut hadir dalam acara itu di Tenis Indoor Senayan. Dia berorasi kebangsaan dan diselingi pembacaan pantun karyanya. Isi pantun sangat provokatif.
Pantun pertama, Prabowo berkeyakinan bahwa dia dan pasangannya Sandiaga Uno yang akan memenangkan Pemilihan Presiden 2019. Pantun kedua tersirat, seorang pembela kebenaran akan memenangkan pilpres. Sementara pantun terakhirnya, terkandung maksud bahwa pihak yang melakukan kecurangan tidak memiliki akhlak yang baik.
Pantunnya begitu jelas dan tegas bahwa Prabowo belum legawa. Hasil hitungan cepat dan manual menunjukkan pasangan nomor urut 01 Jokowi-Amin yang akan memenangi pemilihan. Hasil akhirnya? Rakyat masih tetap menunggu hasil keputusan Komisi Pemilihan Umum pada 22 Mei mendatang. Siapa sebenarnya petarung sejati dalam pilpres, kemarin!
Tidak hanya pantun provokatif yang bersenandung. Ulama yang mendukung Prabowo-Sandi berkumpul merumuskan–menyikapi hasil pilpres. Forum Ijtimak Ulama putaran ketiga itu merekomendasikan kecurangan pilpres. Apa isinya? Bahwa telah terjadi kecurangan dan kejahatan terstruktur, sistematis, dan masif dalam proses penyelenggaraan Pemilu 2019.
Pemilu yang menghabiskan uang rakyat triliunan itu, mendesak KPU dan Bawaslu mendiskualifikasi pasangan calon capres-cawapres 01 Jokowi-Amin. Ijtimak Ulama yang dihadiri Prabowo, Amien Rais, dan Fadli Zon itu juga mengajak umat dan seluruh anak bangsa melawan kecurangan dan memperjuangkan pembatalan Jokowi-Amin.
Dan, poin terakhir dari Ijtimak Ulama agar umat melawan kejahatan pilpres sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar. Segitunya! Pantun dan Ijtimak Ulama patut dihargai sebagai demokrasi. Namun, sebagai bangsa yang menjaga kerukunan dan menjunjung tinggi martabat, dua acara itu yang dihadiri Prabowo akan memecah belah umat dan rakyat di negeri ini.
Pemilu telah usai. Drama dan perbedaan pandangan politik dan pilihan saatnya dikubur. Anak bangsa seharusnya kembali merajut persatuan untuk kepentingan rakyat. Apa yang Anda dicari! Seperti dialog Tuhan dan malaikat saat menjadikan manusia, penghuni bumi. Isinya malaikat protes. Buat apa menjadikan manusia. Nanti dia akan menumpahkan darah.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/pejuang-demokrasi/
Pandangan malaikat itu tidak berlaku bagi Sandi, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Petinggi Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Cawapres dan partai pendukung Prabowo itu memilih mendinginkan suasana. Sandi merilis pernyataan yang menyejukkan. Dia menyatakan pemilu berjalan adil dan jujur. Bahkan meminta rakyat tidak terpecah belah hanya karena perbedaan pilihan.
Begitu juga dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Ketua Umum Zulkifli yang juga besan Amien Rais itu merapat ke Jokowi. Partai matahari terbit itu menyatakan tugas PAN di Koalisi Indonesia Adil Makmur selesai sudah. Tegas dikatakan, PAN memiliki otoritas untuk menentukan langkah masa depan partai demi kepentingan bangsa dan negara.
Begitu pun juga AHY. Usai ketemu Jokowi, Kamis (2/5), Agus berbicara menjadi bagian besar mewujudkan Indonesia lebih baik. “Kita harus terus melakukan tukar pikiran dan memberikan masukan yang positif,” kata dia.
Yang jelas putra Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono itu adalah bagian dari Jokowi agar Indonesia lebih baik ke depan. Sepertinya ajakan people power ala Amien Rais layu sebelum berkembang.
Kader dan simpatisan PAN tidak akan mengikuti keinginan Amien. Dalam kalkulasi politik, PAN akan untung dan mendapat berkah jika bergabung ke koalisi partai pendukung Jokowi-Amin. Ingat! Tidak ada musuh dan kawan abadi dalam urusan politik. Yang ada hanya kepentingan. Catat itu, bung!
Memang berat untuk mengakui kekalahan dalam sebuah pertandingan. Sepekan yang lalu, Jokowi menawarkan Prabowo untuk bertemu. Niat itu tak kesampaian. Sebagai negarawan, Prabowo harusnya menginisiasi bertemu Jokowi untuk merekatkan silaturahmi usai pemilu. Intinya, meredakan situasi agar suasana kondusif dan saling bermaafan.
Jaga Bangsa
Suasana kebatinan menjaga bangsa ini ditunjukkan mantan Presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf Habibie. Lain Prabowo lain juga Habibie. Anak bangsa supercerdas ini mengundang elite politik membahas masa depan negara di kediamannya, pada 1 Mei lalu. Habibie bicara kualitas sumber daya manusia yang sangat dipengaruhi kemerdekaan dan kebebasan.
Hadir di situ, tokoh bangsa seperti Mahfud MD, Dahlan Iskan, Romo Magnis Suseno, Quraish Shihab, dan Sinta Nuriyah. Kata mantan Ketua Umum ICMI itu, ada bangsa yang merdeka tetapi tidak bebas. Ada juga bangsa yang bebas tetapi tidak merdeka. Dalam sekali pernyataan Habibie itu. Kebebasan menurut dia, sangat dirasakan setelah 20 tahun lebih negeri ini memasuki era reformasi.
Dan Indonesia bersyukur memiliki Pancasila yang dimulai sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Ingat kawan! Hanya ada satu yang berkuasa di alam ini, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Itu kata Habibie. Artinya, anak bangsa yang hidup di bumi Indonesia harus memaknainya. Tidak harus ngotot.
Dengan begitu ketegangan politik segera disudahi. Serahkan mekanisme penyelenggaraan pemilu ke KPU. Urusan pelanggaran ranahnya Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi mengadilinya. Penyelenggara melanggar harus dihukum Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Patuh dan islah akan lebih baik untuk urusan rakyat. Bukan untuk berahi kekuasaan. ***