Lampungpost.id–Guru besar bidang ilmu politik Universitas Lampung (Unila) Prof Ari Darmastuti menyebut ada ancaman besar terhadap potensi kembalinya otoritarianisme di Indonesia.
Otoritarianisme merupakan kepatuhan buta terhadap otoritas, sebagai lawan dari kebebasan berpikir dan bertindak individu.
Pernyataan itu diungkapkan menanggapi gerakan-gerakan deklarasi yang telah dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi dalam menyikapi kondisi demokrasi Indonesia akhir-akhir ini.
Baca Juga: Petisi Bulaksumur Bentuk Keprihatinan Demokrasi
Akademisi Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila itu menyebut bahwa apa yang dilakukan oleh para guru besar dan civitas akademika tersebut adalah hal wajar.
“Gerakan-gerakan yang muncul dari perguruan tinggi adalah bentuk keresahan dari kondisi demokrasi kita hari ini. Tidak pantas disebut sebagai noise, itu adalah voice yang banyak dilupakan,” ujar Prof Ari saat diwawancara Lampost.co pada Minggu, 4 Februari 2024.
Baca Juga: Koalisi Reformasi Desak Kapolri Mengusut Tindakan Represi Mahasiswa Trilogi
Prof Ari menyebut anda-tanda kembali munculnya otoritarianisme tersebut sudah begitu terasa. Salah satunya terkait putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batasan usia presiden yang dirasa tidak wajar.
“Bagaimana mungkin seorang paman membuat keputusan tentang hal yang berkenaan dengan jabatannya. Konflik of interestnya dalam putusan MK itu sangat terlihat sekali dan itu tidak etik sama sekali,” tegasnya.
“Belum lagi misalnya undang-undang ITE, Omnibus Law, Cipta kerja itu adalah undang-undang yang dibuat tanpa jaring suara dengan perguruan tinggi. Perguruan tinggi itu sebagai salah satu pilar demokrasi masyarakat politik yang perlu didengarkan,” sambungnya.
Kekuasaan Tertinggi
Menyinggung soal manufer presiden Joko Widodo dalam kontestasi Pemilu 2024, menurut Ari, meskipun secara secara aturan hukum hak berpolitik dimiliki presiden, namun secara etika hal tersebut tetap tidak pantas.
Sebab, jika sudah memihak, lanjut Ari, sebagai seorang yang memiliki kekuasaan tertinggi, presiden sangat dimungkinkan untuk mengerahkan seluruh instrumen kekuasannya.
“Presiden sebagai seorang kepala pemerintahan, wajib menjadi pilar demokrasi yang menjunjung tinggi freedom (kebebasan), equality (kesetaraan), dan justice (penegakan hukum),” kata dia.
Prof Ari menjelaskan, perguruan tinggi menempati peran strategis untuk mengawal keberlangsungan demokrasi. Dalam teori-demokrasi disebutkan bahwa perguruan tinggi adalah infrastruktur politik yang tugasnya mengawasi suprastruktur politik.
“Sebagai infrastruktur politik, perguruan tinggi beserta orang-orang di dalamnya yang dipenuhi oleh para ahli punya tanggung jawab kepada rakyat, bukan pada rezim,” ujarnya.
Menyinggung apakah para guru besar di kampus Unila juga akan melakukan seruan serupa? Prof Ari masih mencoba mendiskusikannya bersama dengan para dosen lainnya.
“Paling lambat minggu depan ini saya akan menghubungi teman-teman saya yang hari ini lagi pada ke Malaysia untuk kita diskusi. Kalau mau membuat pernyataan beberapa orang yang tanda tangan tidak masalah. Saya mungkin akan mulai dalam beberapa hari ke depan,” ujarnya (CR2)