SALDA ANDALA
POLITIK uang kembali marak terjadi dalam tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Ada penilaian pelaku sulit tertangkap.
“Memang sulit untuk bisa menjerat sampai ke pelaku intelektualnya,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Agustyati kepada Medcom.id (Grup Lampung Post), Selasa, 15 Desember 2020.
Ia mengungkapkan pelaporan dugaan politik uang ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kerap terhalang batas waktu pelaporan. Dugaan laporan kedaluwarsa bila melebihi kesepakatan waktu.
Selain itu, pelapor mesti membuat laporan lengkap serta bukti kuat terhadap terlapor. Kesulitan ini terkadang menghalangi laporan. Maka, penuntasannya sudah sepatutnya.
“Ada kesulitan juga untuk melapor karena harus membuat laporan, melampirkan bukti, membuat kronologis kejadian. Hal ini tentu sulit bagi masyarakat awam,” ujar dia.
Khoirunnisa mengungkapkan politik uang juga tak terlepas dari situasi kebutuhan ekonomi masyarakat di tengah pandemi virus korona (covid-19). Masyarakat tetap menerima uang meski memahami ada pelarangan.
“Kalau berkait situasi pandemi, memang ada kondisi masyarakat lebih permisif dengan politik uang. Karena kondisi ekonomi yang sulit,” ujar Khoirunnisa.
Bawaslu mencatat 211 dugaan politik uang dalam tahapan Pilkada 2020. Jumlah tersebut berdasarkan temuan dan laporan masyarakat per 10 Desember 2020.
“Bawaslu menerima 147 laporan dan 64 temuan,” kata anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo kepada Medcom.id, Minggu, 13 Desember 2020.
Sebanyak enam laporan terkait dugaan politik uang, putusannya telah menyatakan bersalah di tingkat pengadilan. Laporan itu tersebar di sejumlah daerah, yakni Kabupaten Pelalawan, Riau; Kota Tarakan, Kalimantan Utara; Kabupaten Berau, Kalimantan Timur; Kota Tangerang Selatan, Banten; Kota Palu, Sulawesi Tengah; dan Kota Cianjur, Jawa Barat.
Pelanggar melanggar Pasal 187A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Lamteng
Pada bagian lain, Bawaslu menerima laporan terkait dugaan politik uang pada Pilkada Kabupaten Lampung Tengah 2020. Dugaannya politik uang itu terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
“Saya memang mendapatkan informasi ada penyampaian laporan politik uang TSM,” kata Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo kepada beberapa hari lalu.
Ratna menerima laporan itu dari Bawaslu Provinsi Lampung. Tim kampanye pasangan calon (paslon) nomor urut 03 Nessy Kalvia Mustafa-Imam Suhadi melaporkan dugaan politik uang TSM dengan terlapor paslon nomor urut 02 Musa Ahmad-Ardito Wijaya.
“Informasi dari tim kampanye, bukan paslonnya,” ujar Ratna.
Dia mengatakan laporan politik uang tersebut belum ada tindak lanjut. Bawaslu Lampung, lanjut Ratna, baru sebatas menerima laporan. Bawaslu Lampung yang berwenang memutuskan laporan tersebut akan berlanjut atau tidak.
“Kewajiban kami menerima laporan, kemudian kami memeriksa kelengkapan laporan,” ujar Ratna.
Sebelumnya, Partai NasDem menerima laporan paslon nomor urut 2 Musa Ahmad-Ardito Wijaya bermain politik uang. Salah satu pengacara Partai NasDem, M Yunus, mengatakan 16 laporan politik uang oleh tim Musa-Ardito masuk di hari sebelum Pilkada Lampung Tengah 2020.
Seluruh laporan yang menyebut warga menerima Rp50 ribu dari tim Musa-Ardito dimediasi tim advokat Partai NasDem Lampung Tengah. Sementara itu, ada tiga paslon mengikuti Pilkada Lampung Tengah 2020.
Paslon nomor urut 1 Loekman Djoyosoemarto-M Ilyas diusung PDI Perjuangan dan Gerindra. Kemudian, paslon nomor urut 2 Musa Ahmad-Ardito Wijaya diusung Golkar, Demokrat, PKB, dan PAN. Selanjutnya, paslon nomor urut 3 Nessy Kalviya-Imam Suhadi diusung NasDem, PKS, dan Partai Perindo. (WAH/CK3/Medcom)