PARTAI sibuk berkoalisi di tahun politik. Partai juga sibuk mencari sosok yang mumpuni menjadi pemimpin nasional. Adalah Partai Golkar, PAN, dan PPP menyebut diri Koalisi Indonesia Bersatu. Lalu, PKS dan PKB menggagas Koalisi Semut Merah. Belakangan elite politik PKB dan Gerindra menyebut Koalisi demi Kebangkitan Indonesia Raya. Bisa iya, bisa juga tidak. Semua bergantung pada kepentingan!
Berbeda dengan Partai NasDem. Partai besutan Surya Paloh—dalam rapat kerja nasional (Rakernas)—terang-terangan sudah menyodorkan tiga bakal calon presiden (capres), yakni Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Andika Perkasa (Panglima TNI), dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah). Masyarakat pasti menimbang-nimbang ketiga nama yang layak menggantikan Joko Widodo.
Belum lagi Airlangga Hartarto, Prabowo Subianto, dan Puan Maharani, serta Muhaimin Iskandar yang kini digadang-gadang partainya menjadi presiden. Putra-putri terbaik bangsa itu mendapat kesempatan. Publik tidak ingin melihat elite yang mementingkan kelompok semata. Namun, harus berpikir dan bekerja untuk kepentingan masa depan rakyat.
Bagi NasDem, usai penetapan tiga kandidat calon presiden—selanjutnya adalah menjajaki koalisi partai. Tiga kandidat tersebut merupakan putra terbaik bangsa yang siap mengikuti perhelatan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024. Bahasa lugasnya, NasDem sudah memiliki calon disenangi rakyat, sembari membangun komunikasi dengan beberapa partai politik.
Hingga hari ini, Partai NasDem sudah menjalin silaturahmi dengan PKS, Golkar, Demokrat, juga Gerindra. “Tiga (kandidat capres) itu yang jadi benang merah. NasDem bisa bekerja sama dengan partai mana pun. Kami terbuka dan NasDem tidak punya handicap dengan partai mana pun,” ujar Ketua DPP bidang Teritorial dan Pemenangan Partai NasDem, Willy Aditya, di Jakarta, Rabu (22/6).
Sebenarnya, dalam proses demokrasi di negeri ini, partai sangatlah penting jadi penyaring dan penentu pertama menyodorkan sosok calon pemimpin yang berkualitas untuk negara dan daerah. Saat berpidato di rakernas juga diundang secara khusus oleh Partai NasDem, Mahathir Mohamad berbagi pengalaman semasa memimpin Malaysia periode 1981—2003 serta 2018—2020.
Mantan Perdana Menteri (PM) Negeri Jiran itu selalu mengingatkan partai tidak mengabaikan kepentingan rakyat demi memuaskan ambisi para elite. Menurut dia, ketika pemimpin mementingkan kekuasaan, selalu ingin populis. Rakyat terlena dibuatnya. Ini berakibat negara perlahan rusak menuju kebinasaan. Rakyatlah yang membayar harga yang amat mahal.
Berbeda dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Sebagai ketua umum partai, Megawati memiliki hak prerogatif untuk menentukan siapa yang akan menjadi capres dari partainya. Bahkan, dia mengancam kadernya yang tidak patuh apalagi main dua kaki dan bermanuver.
Apa pun yang dilakukan elite politik di negeri ini, baiknya mendengarkan petuah Mahathir, sang pemilik nama pena Che Det. Saat memberikan kuliah umum dalam Rakernas Partai NasDem bertajuk Restorasi: Meneguhkan Politik Kebangsaan, dia menegaskan kepemimpinan nasional memerlukan keberanian membuat keputusan walaupun pahit sekalipun.
Bagi yang memenangkan pemilihan, Mahathir mengatakan pemimpin yang dipilih rakyat harus bisa mengemban amanah. Dan, mereka kalah haruslah menghormati hasil keputusan itu, serta tidak melakukan aksi politik yang menyebabkan ketidakstabilan negara. Siap menang dan siap kalah. Jangan siap menang, tetapi tidak siap kalah!
Tokoh karismatik Asia Tenggara itu mengapresiasi kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang sudah mengantarkan pembangunan Indonesia pada kebutuhan rakyat sebagai bangsa beradab. Begitu pun Partai NasDem, kata Mahathir, ikut serta mengawal kepemimpinan nasional sehingga rakyat merasakan kemajuan yang sudah dicapai di seluruh Nusantara.
***
Sebagai profesi dokter, Mahathir mengibaratkan penyakit di dalam tubuh itu sebuah persoalan. Dalam menyelesaikan masalah, dia menggunakan cara-cara medis. Seperti mendiagnosis atau mengkaji persoalan, apakah penyakit itu menjangkiti rakyat atau suatu negara? Setelah mengetahui dan paham penyakitnya, diperlukan pengobatan.
Hebatnya, Mahathir menawarkan solusi, seperti penyakit yang terlalu lama dan menular perlu diamputasi atau dipotong. Cara-cara ini menyelamatkan bagian tubuh lainnya. Memang sikap tidak mengenakan dan menyedihkan. Begitulah kedudukan dan kewenangan seorang pemimpin yang sedang memegang tampuk kekuasaan dalam mengambil keputusan.
Mereka dituntut berwawasan bernegara dan berbangsa. Termasuk para penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Harapannya ikut sama-sama memberi arti untuk kepentingan rakyat serta keberlangsungan demokrasi.
Pesta rakyat yang memilih pemimpin negara dan anggota legislatif pada 14 Februari 2024 adalah sebuah proses kehidupan berdemokrasi yang sudah dibangun sejak negeri ini merdeka. Ketika rakyat keliru memilih pemimpin, rakyatlah yang menanggung akibatnya. Ini jadi catatan yang sangat penting bagi pemilihan selanjutnya. Rakyat harus terlibat aktif di pemilu. Jangan ada lagi massa mengambang apalagi golongan putih (golput)!
Rakyat yang akan mencoblos pada pilpres dan pemilu legislatif tercatat sebanyak 206.689.516 jiwa, sedangkan pilkada November 2024 sebanyak 210.505. 493 jiwa. Dananya menghabiskan Rp8,6 triliun. Uang yang tidak sedikit untuk pesta keberlangsungan dan kepemimpinan negara dan di daerah. Dana itu dikelola KPU dan Bawaslu.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta memprediksi pemilu akan diwarnai politik uang, ketidaknetralan aparatur negara, penyelenggara pemilu, dan pelanggaran lainnya. Juga, menjamurnya berita hoaks (bohong) yang memanipulasi informasi. Ini akan melahirkan polarisasi di masyarakat, disinformasi, serta misinformasi melalui berbagai saluran komunikasi, termasuk media sosial.
Belum lagi gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat saat pemilu haruslah dicegah dini. Polri bersama forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda) berupaya mencegah situasi memanas dengan membentuk sistem pendingin. Apa yang harus dilakukan? Anak-anak bangsa perlulah melakukan penguatan literasi demokrasi.
Lakukanlah sesegera mungkin karena pengamat politik memprediksi terjadi perpecahan. Cendekiawan Yudi Latif berbicara penerapan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20%. Aturan ini justru memunculkan polarisasi. Desain politik seperti itu memaksa rakyat jadi terbelah. Padahal, Pancasila menyatukan perbedaan mencari titik temu antarelemen bangsa. Waspadai!
Menghindari hal itu, KPU dan Bawaslu haruslah tancap gas berkewajiban mengedukasi rakyat serta para pemilih terkait literasi media juga literasi demokrasi. Ini bentuk pendidikan politik di tengah post truth atau era usai kebenaran. Ingat kawan! Di era digital, media sosial sangat rentan dimanfaatkan menyebarkan informasi yang tidak terverifikasi kebenaran.
Begitu pun parpol dan elite bisa menjadi pemicu polarisasi, seperti ada anak-anak bangsa sudah memasang baliho—dengan narasinya dibungkus rapi untuk berkampanye. Belum lagi politik identitas renyah dimakan oleh rakyat, yang menjual agama, suku, ras, juga kelompok.
Hentikan ini, jika ingin warga tidak mau terbelah-belah. Patuhi UU Pemilu, junjung tinggi etika komunikasi politik yang sehat antaranak-anak bangsa. Negeri ini selalu damai walaupun politik memanas. Satu untuk Indonesia! ***