TRIYADI ISWORO
USAI terpilih sebagai presiden Amerika Serikat Joe Biden terus melakukan sejumlah kebijakan dan terobosan. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden bertekad memperdalam hubungan bilateral serta menangani masalah pandemi virus korona (covid-19) dan juga perubahan iklim. Tekad disampaikan keduanya dalam sebuah percakapan via telepon pada Sabtu, 23 Januari malam.
“Senang bisa berbicara dengan Presiden Joe Biden malam ini,” tulis PM Johnson via Twitter.
“Saya berharap dapat memperdalam aliansi antara dua negara seiring upaya kami dalam mendorong pemulihan berkelanjutan dari covid-19,” lanjutnya, mengutip laman CGTN pada Minggu, 24 Januari 2021.
Percakapan keduanya dipandang sebagai upaya pemulihan hubungan antar kedua pemimpin, usai Biden sempat menyebut PM Johnson sebagai “kembaran fisik dan emosional” dari Donald Trump pada 2019.
Menurut keterangan dari Downing Street, PM Johnson dan Biden mendiskusikan berbagai isu, termasuk menangani pandemi covid-19 dan perubahan iklim.
Dalam sambungan telepon, PM Johnson menyambut baik pengumuman Biden yang hendak membawa kembali AS ke Perjanjian Iklim Paris 2015 dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Keduanya juga mendiskusikan prospek perjanjian perdagangan bebas.
“PM juga memuji komitmen Biden untuk mencapai nol emisi pada 2050. Kedua pemimpin berharap dapat segera bertemu di konferensi tingkat tinggi perubahan iklim global di Skotlandia pada November ini,” sebut Downing Street.
“Mereka juga sepakat mengenai adanya tantangan-tantangan signifikan yang dihadapi dunia selama pandemi,” lanjutnya.
AS memiliki jumlah kasus dan kematian tertinggi akibat covid-19 di dunia. Sementara Inggris tercatat sebagai negara dengan jumlah kematian tertinggi akibat covid-19 di Eropa.
Kasus Covid-19
Amerika Serikat mencatat lebih dari 25 juta kasus virus korona (covid-19) pada Sabtu kemarin, dengan angka kematian hampir mencapai 417 ribu. Terlewatinya angka 25 juta terjadi beberapa hari usai Presiden Joe Biden menandatangani 10 perintah eksekutif, termasuk mengenai perluasan produksi vaksin, kapasitas tes, dan pembukaan kembali sekolah.
Strategi Biden untuk mengakhiri pandemi covid-19 tertuang dalam rencana setebal 198 halaman, yang isinya meliputi tujuh poin utama.
“Kami tidak tiba-tiba berada dalam kondisi seperti sekarang, dan butuh waktu berbulan-bulan untuk mengatasinya,” tutur Biden, dilansir dari laman NBC News pada Minggu, 24 Januari 2021.
Ia mengingatkan bahwa angka kematian akibat covid-19 di AS dapat melampaui 500 ribu hingga 600 ribu, meski program vaksinasi sedang berjalan di seantero negeri. Menurut data terbaru NBC News, jumlah kasus di AS telah mencapai 25.012.572 dengan angka kematian 416.925.
“Saya tegaskan sekali lagi, kita akan melewati semua ini. Kita akan mengalahkan pandemi ini,” tegas Biden.
Dua vaksin covid-19 dari perusahaan Moderna dan Pfizer-BioNTech telah mendapat izin penggunaan darurat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Kedua vaksin sama-sama harus disuntikkan dalam dua dosis per individu dengan jeda waktu beberapa pekan.
Namun kedua vaksin belum tersedia secara luas di AS, dan baru dapat diakses kelompok-kelompok rentan. Direktur baru CDC Rochelle Walensky mengatakan, nantinya vaksin covid-19 akan tersedia secara luas di apotek-apotek di seantero AS.
Walensky mengatakan, vaksin covid-19 belum akan tersedia secara luas mulai bulan depan, seperti yang sudah dijanjikan mantan presiden Donald Trump. Bulan lalu, mantan Menteri Kesehatan Alex Azar mengatakan bahwa vaksin-vaksin covid-19 dapat tersedia di apotek pada Februari 2021.
Kasus pertama covid-19 di AS tercatat sekitar satu tahun lalu, saat seorang pria di Seattle dinyatakan positif pada 21 Januari 2020. Ia dinyatakan positif usai kembali dari kota Wuhan, Tiongkok.
Tidak Kerja Sama
Pada bagian lain, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menegaskan bahwa negaranya mungkin akan bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam bidang minyak dan keamanan di Teluk, tapi tidak jika soal Israel.
“Menurut pendapat pribadi saya, kami harus mendefinisikan hubungan dengan Amerika Serikat dengan mengatakan bahwa, ‘kami tidak akan bekerja sama dengan Anda mengenai isu Israel,'” tutur Zarif dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Etmad dan dilansir oleh Arutz Sheva pada Minggu, 24 Januari 2021.
“Iran tidak akan membiarkan Anda (AS) mengintervensi urusan dalam negeri, tapi tidak masalah jika bekerja sama di bidang perminyakan atau memastikan keamanan di Teluk Persia,” lanjutnya.
Pernyataan Zarif disampaikan di tengah ketegangan antara AS dan Iran atas perjanjian nuklir 2015.
Mantan presiden AS Donald Trump menarik diri dari perjanjian nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) hampir tiga tahun lalu. Setelah itu Trmp menjatuhkan serangkaian sanksi ekonomi kepada Iran.
Presiden AS Joe Biden yang baru menjabat beberapa hari lalu telah mengekspresikan keinginan untuk kembali ke JCPOA. Perjanjian itu disepakati saat Biden menjadi wakil presiden di pemerintahan Barack Obama.
Kepada New York Times, Biden pernah berkata hendak bergabung lagi ke JCPOA jika Iran juga kembali mematuhi perjanjian tersebut secara menyeluruh.
Jumat kemarin, Zarif mendesak Biden untuk “memilih jalan yang lebih baik” dengan kembali ke perjanjian nuklir. Ia memperingatkan bahwa kesempatan tersebut mungkin akan hilang jika Washington berkukuh Teheran harus terlebih dahulu mematuhi JCPOA. (MEDCOM.ID)