DUKA mendalam dari keganasan virus corona masih menyisakan persoalan. Selain merenggut jutaan nyawa manusia, juga perekonomian dibikinnya porak poranda. Bahkan, mengalami kebangkrutan.
Adalah Sri Lanka, contoh nyata. Negara di Asia Selatan itu tidak mampu lagi membiayai kebutuhan rakyat. Istana presiden diduduki masyarakat, kepala negara melarikan diri.
Tidak hanya Sri Lanka, negara Mesir, Argentina juga di negara belahan dunia lain terancam kebangkrutan. Beruntung Indonesia, tidak seperti negara tersebut. Tapi perlu waspada krisis terus melanda dunia akibat pandemi Covid-19.
Kurva pertambahan Covid-19 yang menunjukkan gelagat tidak lagi melandai dalam sebulan terakhir ini. Itu masih terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia.
Untuk itu tengok data tambahan kasus harian Covid-19 dua hari terakhir di Indonesia. Pada Selasa (12/7) tambahan kasus baru infeksi virus corona tercatat 3.361 kasus. Lalu Rabu (13/7), jumlahnya naik menjadi 3.822 kasus. Tren dua hari terakhir ini mengakhiri tren tambahan kasus Covid-19 pada beberapa hari sebelumnya, yang menurut Kementerian Kesehatan berada di kisaran 2.000-an kasus baru per hari.
Adalah benar bawah kenaikan kasus baru Covid-19 dalam dua hari terakhir masih teramat jauh dari puncak kurva gelombang ketiga yang terjadi 16 Februari 2022 lalu dengan 64.718 kasus baru per hari atau puncak kurva gelombang kedua yang terjadi 17 Juli 2021 silam dengan 56.757 kasus baru per hari, bahkan masih terpaut jauh dari puncak kurva gelombang pertama 20 Januari 2021 dengan 13.695 kasus baru.
Namun demikian, harus pula dicermati bersama bahwa ketiga gelombang Covid-19 yang menerpa itu tidak datang secara tiba-tiba. Pengalaman juga telah mengajarkan kepada negeri ini di balik kasus yang melandai saat pandemi, tetaplah tersimpan ancaman baru Covid-19. Perkara utamanya adalah virus corona terus-menerus bermutasi dan menciptakan strain baru. Gelombang kedua Covid-19 di dunia juga Indonesia dipicu varian delta, pun halnya gelombang ketiga beberapa bulan lalu dipicu varian baru bertitel omikron.
Dari data di atas, puncak kurva gelombang ketiga Covid-19 makin ke belakang makin tinggi. Fenomena ini sejalan dengan pandangan ahli epidemiologi berkali-kali telah mengingatkan bahwa lonjakan gelombang baru pandemi berpotensi lebih besar dari gelombang sebelumnya. Pendek kata, lonjakan kasus Covid-19 dalam dua hari terakhir tentu tidak boleh anggap sepele.
Semestinya fenomena ini menjadi lonceng peringatan dini bagi semua anak-anak bangsa untuk waspada mengantisipasi gelombang pandemi berikutnya yang semoga saja tidak harus terjadi.
***
Karena itu, sudah benar sikap Presiden Joko Widodo untuk merevisi kembali kebijakannya yang semula melonggarkan protokol kesehatan, yakni boleh tidak bermasker di area terbuka atau luar ruangan. Mantan Wali Kota Solo itu seusai lawatannya ke Ukraina dan Rusia mengambil langkah taktis atas lonjakan kasus Covid-19 di Tanah Air. Ia meminta aturan bermasker baik di dalam dan luar ruangan harus kembali diberlakukan. Hal ini guna menangkis keberadaan subvarian omikron BA.4 dan BA.5 agar tidak menggelinding bak bola salju yang makin membesar.
Mengapa harus kembali bermasker? Jawabannya sudah jelas dan sudah banyak pakar kesehatan mengulas, meski virus corona terus-menerus bermutasi cara penularannya, tetaplah sama halnya dengan cara mencegahnya. Sebab itu, kebijakan untuk kembali mengenakan masker di ruang tertutup atau ruang terbuka adalah keniscayaan bagi semua agar lonjakan Covid-19 di Tanah Air tidak terus naik dari hari ke hari. Kita semua tentu tidak ingin kembali dalam situasi kritis pandemi.
Pepatah lama mengatakan langkah besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil. Hal-hal luar biasa juga selalu diawali dari hal-hal sederhana. Mengenakan masker dalam situasi saat ini sejatinya merupakan langkah sederhana namun memiliki pengaruh besar dalam mengendalikan pandemi Covid-19. Apa sih susahnya mengenakan masker? Tentu tidak ada, karena sangat mudah dan masker pun tidak lagi menjadi barang langka selayaknya awal pandemi dulu. Namun celakanya masyarakat telanjur berada dalam zona nyaman tanpa bermasker.
Nyaris dalam dua bulan terakhir masyarakat merasa aman dan nyaman dengan landainya kasus Covid-19. Sebagian besar masyarakat juga mungkin sudah terlampau jenuh dengan berbagai kebijakan pengetatan selama pandemi. Patut dimaklumi jika ada euforia sesaat manakala kebijakan pelonggaran, termasuk dapat menanggalkan masker, di ruang terbuka diberlakukan. Namun demikian, lagi-lagi perlu disimak lagi pandangan para ahli epidemiologi bahwa virus corona belumlah habis dan masih bisa menyebar luas kembali.
***
Kerja keras tentu mutlak diperlukan untuk menggugah kembali kesadaran masyarakat bermasker. Namun yakinlah kerja keras itu tidak akan seberapa beratnya jika dibandingkan kerja keras yang harus dilakukan kala Covid kembali mengganas. Pengalaman adalah guru terbaik, begitu pula pengalaman kala menghadapi lonjakan kasus. Sudah cukup. Jangan ada lagi gelombang baru Covid-19 di Tanah Air. Para petugas medis tidak perlu lagi pontang-panting menangani gelombang pasien yang terus berdatangan lantaran badai Covid-19 menerjang.
Pada konteks itulah rakyat harus mendukung sepenuhnya ajakan Presiden untuk menggaungkan kembali kepatuhan kepada protokol kesehatan. Kondisi di lapangan menuntut hal demikian. Virus corona kembali merajalela. Sebab itu, protokol kesehatan niscaya kembali harus dikedepankan, termasuk mengenakan kembali masker. Presiden juga telah memberi titah kepada jajarannya untuk menggenjot kembali vaksinasi terutama dosis ketiga atau booster. Selain prokes, vaksinasi penting, sangat penting, untuk mencegah Covid-19.
Makin banyak masyarakat divaksin tentu kian tebal pula imunitas komunitas. Vaksin dosis pertama memang sudah mencapai 201 juta warga atau 96,79% dari target. Dosis kedua pun sudah 169 juta orang atau 81,22% dari target. Namun, pergerakan vaksinasi dosis ketiga terbilang lambat. Baru 51 juta warga alias 24,50% dari target yang menerima. Sepertinya bermasker, perlu semangat baru lagi. Juga vaksinasi booster. Celakanya belakangan ini rakyat makin kehilangan minat untuk divaksin.
Karena itulah, keputusan pemerintah menjadikan kembali vaksinasi booster sebagai syarat bagi para pelaku perjalanan merupakan langkah tepat. Edaran Menteri Dalam Negeri yang menginstruksikan kepala daerah untuk menjadikan vaksin booster sebagai syarat bagi warga masyarakat setiap daerah untuk mengunjungi ruang publik seperti mal dan tempat wisata perlu segera dieksekusi. Berbagai kebijakan ini tentu tidak mengenakkan. Namun, ada saatnya ia menjadi pilihan terbaik agar Covid-19 tidak makin mengganas dan menjelma menjadi gelombang keempat. *