Rodrikson Alpian Medlimo
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum FH Unila
PERKEMBANGAN ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi pisau bermata dua. Ia akan berdampak positif apabila pembangunan nasional dapat tercapai. Di sisi lain dapat membawa dampak negatif jika tidak mampu dikendalikan hingga akhirnya merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Maka, perubahan sosial akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi merupakan tantangan seluruh lapisan masyarakat untuk mampu bertahan. Perubahan paradigma serta tatanan kehidupan lebih adaptif, merupakan kunci menginisiasi penguatan integrasi bangsa bertumpu pada jejaring sosial yang baik.
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya alih teknologi menciptakan perubahan peradaban, interaksi sosial tanpa batas (borderless). Alih teknologi juga dapat menjadi salah satu masalah, dalam hal ini berdampak terhadap meluasnya paham radikalisme. Jika tidak mendapatkan perhatian serius dalam upaya pemberantasannya, radikalisme dapat menjadi momok menakutkan bagi bangsa Indonesia. Radikalisme merupakan paham yang bertentangan dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang jika tidak mampu difilterisasi berimplikasi pada rusaknya integrasi bangsa.
Tidak hanya itu, toleransi antarumat beragama di Indonesia akhir-akhir ini mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. Hal ini tentunya mengingat berbagai konflik sosial berlatar belakang agama yang terus bermunculan dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai konflik tersebut, di antaranya kasus penistaan agama, perusakan rumah ibadat, serta ujaran kebencian (hate speech). Dalam situasi ini, ternyata berimplikasi terhadap kondisi kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang menjadi renggang dan terkotak-kotak berdasarkan kepercayaan masing-masing.
Kenyataan ini tak bisa diabaikan begitu saja karena menyangkut masa depan nasionalisme dan integrasi bangsa. Konflik-konflik sosial berlatar belakang agama seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, jika dicermati sejatinya disebabkan kegagalan dalam mendialogkan pemahaman agama dengan realitas sosial masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. Bahkan, kehidupan beragama saat ini sangat memprihatinkan, terdapat sekat antara kaum mayoritas dan minoritas.
Merespons situasi yang demikian, penerapan nilai-nilai Islam moderat sebagai pagar pelindung dari paham radikalisme menjadi hal bersifat fundamental. Konsep moderat dalam bahasa Arab, dikenal dengan istilah al wasathiyah. Sejatinya kata moderat dalam Al-Qur’an dapat ditinjau pada QS Al-Baqarah: 143. Secara etimologis kata al-wasath dalam ayat tersebut memiliki makna terbaik dan paling sempurna. Dalam hadis sangat terkenal, sesungguhnya dijelaskan pentingnya sikap objektif yang berada di tengah-tengah, tidak memihak sehingga dapat bersikap bijaksana ketika menilik suatu permasalahan.
Mengacu pada definisi tersebut, saat menyikapi sebuah perbedaan baik perbedaan agama maupun mazhab, Islam moderat selalu berdasarkan pendekatan kompromi dan bersikap netral. Tidak hanya itu, terminologi tersebut menjunjung tinggi sikap toleransi dan saling menghargai dengan tetap meyakini kebenaran ajaran masing-masing agama dan mazhab sehingga semua dapat menerima keputusan dengan lapang dada tanpa mengintervensi satu sama lain.
Moderasi merupakan ajaran inti agama Islam yang harus diterapkan secara konsisten dan masif di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi paham Islam moderat selalu berlandaskan nilai-nilai keterbukaan dalam bingkai kemajemukan baik aspek agama, adat istiadat, suku, serta etnis. Kemajemukan tersebut sejatinya disebabkan oleh dialektika antara cara pandang terhadap posisi akal dan wahyu dalam menyelesaikan suatu masalah.
Pada dasarnya, Islam merupakan agama universal, tidak terkotak-kotak oleh label tertentu, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Menurut Muchlis M Hanafi (2021:3) moderat dalam arti al-wasat merupakan model berpikir dan berinteraksi secara seimbang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dalam berakidah, beribadah, serta beretika yang senantiasa mengacu pada maqashid al-syari’ah dan memperhatikan ummahat al-fadhail.
Moderasi Islam dapat dicermati berdasarkan ruang lingkup yang diaturnya, seperti tadbir al-nafs, tadbir al-manzil, dan tadbir al-mudun. Pertama tadbir al-nafs, dalam hal ini seseorang dituntut harus mampu berpikir dan bertindak sesuai maqasid al-syari’ah dan berdasarkan pertimbangan ummahat al-fadhail. Sebagai ilustrasi, yaitu sikap seseorang dalam menyikapi perbedaan agama dengan umat agama lain, seyogianya klaim kebenaran (truth claim) tidak perlu diperdebatkan. Dengan kata lain, sikap moderat menjadi faktor esensial dalam menumbuhkan sikap toleran dan humanis.
Kedua tadbir al-manzil, sikap moderat dalam hal ini menitikberatkan pada unsur kepentingan bersama. Sebagai ilustrasi, yaitu menerima hukum adat berdasarkan tradisi yang sudah ada di masyarakat. Dengan kata lain, semua adat istiadat dan nilai-nilai sosial yang terdapat dalam masyarakat bisa dijadikan sumber hukum, tidak hanya adat masyarakat Arab. Hal ini selaras dengan tujuan syariah yaitu menjaga hak serta menjunjung tinggi keadilan dalam pertimbangan pandangan akal dan wahyu.
Terakhir, yaitu tadbir al-mudun, menitikberatkan pada terciptanya kondisi negara yang aman, tenteram, dan damai sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas serta keutuhan negara dalam bingkai kemajemukan bangsa. Terminologi tersebut merupakan corak ajaran Islam dalam memerangi masuknya paham radikal yang merusak karakter generasi muda.
Lebih lanjut, sikap moderat sejatinya sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. Namun, muncul sebuah pertanyaan bagaimana praktik kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini? Apakah sikap menghargai dan menghormati antarumat beragama tetap kokoh berdiri?
Dalam menilik permasalahan tersebut tidaklah mudah, mengingat dipengaruhi berbagai faktor yang pada hakikatnya saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Faktor tersebut, di antaranya paradigma berpikir masyarakat Indonesia yang harus diubah dari mementingkan kepentingan pribadi menjadi mengutamakan kepentingan bersama. Kemudian, fleksibilitas nilai sosiokultural masyarakat Indonesia yang seharusnya mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman serta sinergisitas seluruh elemen bangsa dalam mempertahankan nilai-nilai luhur tersebut.
Pentingnya Revolusi Mental
Kemajemukan bangsa Indonesia sejatinya menjadi kekuatan sekaligus tantangan apabila dihubungkan dengan kehidupan manusia yang makin kompleks akibat pengaruh revolusi industri dan globalisasi. Dalam kondisi yang demikian, seluruh pihak dituntut beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi. Perubahan ini ternyata berdampak langsung terhadap nilai luhur bangsa yang makin tergerus dan sangat mungkin menghilang jika tidak dipertahankan eksistensinya.
Seiring perkembangan teknologi, nilai kemajemukan bangsa memerlukan “revolusi” untuk memperkokoh kedudukannya sebagai kebenaran yang mentradisi atau ajek dalam mengatur tatanan kehidupan sosial masyarakat, serta sebagai wadah mencapai kemajuan komunitas baik dalam penciptaan kedamaian maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perwujudan dalam melakukan revolusi dapat dimulai dengan mengintegrasikan nilai budaya lokal dengan nilai-nilai Islam moderat. Hal tersebut menjadi faktor pendukung eksistensi kemajemukan bangsa, kemajemukan bangsa menjadi sarana pengikat serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Peradaban zaman yang terus berevolusi menjadi penghambat dalam pengintegrasian nilai-nilai moderat Islam dan nilai Pancasila. Seyogianya hal tersebut dapat diminimalisasi dengan mengubah stigma atau pandangan. Jangan menganggap sikap moderat sebagai bentuk ketertinggalan budaya (culture lag), tetapi memandang bahwa dengan adanya sikap moderat, maka ciri khas masyarakat Indonesia akan makin terlihat. Apabila hal ini dapat diwujudkan, dengan sendirinya eksistensi kemajemukan bangsa itu akan terjaga dan bisa dikembangkan
Berdasarkan kondisi tersebut, masyarakat Indonesia seharusnya melakukan reorientasi terhadap berbagai karakter apatis yang bertolak belakang dengan nilai luhur bangsa Indonesia. Hal ini merupakan langkah strategis dalam mempersiapkan masa depan yang lebih baik, zaman boleh berubah tetapi jiwa dan kepribadian bangsa kita jangan sampai luntur bahkan menghilang. Revolusi mental harus digaungkan, demi terciptanya negara yang mandiri dan berdaulat. Dengan demikian, terminologi Islam moderat perlu diaplikasikan dan diimplementasikan sebagai pendukung pembangunan bangsa yang bertumpu pada kekuatan, identitas, dan keunikan dalam konteks pembangunan nasional, serta instrumen untuk mampu berkompetisi dengan negara lain dalam berbagai aspek kehidupan.
Penguatan nilai moderat Islam sangat diperlukan dalam mempertahankan eksistensi kemajemukan bangsa. Artinya ajaran Islam menjadi faktor pendukung terciptanya revolusi mental. Dengan kata lain, nilai moderat menjadi solusi agar integrasi bangsa tidak pudar ataupun hilang. Selain penguatan nilai moderat Islam, sinergisitas seluruh lapisan masyarakat dalam mempertahankan kemajemukan bangsa juga sangat penting untuk diwujudkan.
Sikap peduli terhadap budaya lokal perlu ditumbuhkan. Dengan adanya kemajemukan bangsa, jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang heterogen tetap terjaga dan hal tersebut menjadi modal utama untuk penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam tataran sosial budaya bangsa.
Berdasarkan kriteria yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa daya pikir yang kritis, kreatif, serta inovatif dalam menciptakan suatu terobosan, merupakan cara yang efektif dalam penguatan keutuhan bangsa dengan mengedepankan sistem integrasi sosial yang baik. Oleh karena itu, dibutuhkan revolusi mental yang menitikberatkan pada sinergisitas seluruh pihak baik mahasiswa, masyarakat, maupun pemerintah dengan menstimulasi pemahaman akan pentingnya nilai-nilai moderat Islam. Apabila hal tersebut dapat diaplikasikan, integrasi bangsa Indonesia akan tetap terjaga sehingga nilai-nilai kemajemukan sebagai corak bangsa tidak tergerus.