KABAR duka datang dari Negeri Jiran Malaysia. Prof Azyumardi Azra berpulang pada Minggu (18/9) pada usia 67 tahun. Pihak Rumah Sakit Serdang, Malaysia, menyatakan Prof Azra mengalami acute inferior myocardial infarction atau kelainan jantung. KBRI Malaysia mengatakan ia menghembuskan napas terakhirnya di unit perawatan intensif bagi penderita gangguan jantung (CCU).
Prof Azra bertolak ke Negeri Jiran untuk memenuhi undangan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM). Ia diminta berbicara di seminar internasional bertema Kosmopolitan Islam, mengilham kebangkitan, meneroka masa depan. Acara tersebut dijadwalkan berlangsung di Bangi Avenue Convention Centre (BACC), Kajang, Malaysia, Sabtu (17/9). Namun, takdir berkata lain.
Kabar duka itu tentu kehilangan bagi kita semua. Terlebih sosoknya telah melekat sebagai salah satu Guru Bangsa. Ia merupakan cendekia kritis dan kerap melontarkan buah pikirnya lewat berbagai artikel media massa di Tanah Air dan forum publik. Walau begitu, ia tetap pribadi yang rendah hari, memiliki aura keteladanan. Jalan pemikiran Prof Azra adalah jalan pengabdiannya bagi bangsa ini.
Pisau pemikiran Prof Azra makin terasah saat mengenyam pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Syahid) Jakarta pada 1982 silam. Lantas, ia melanjutkan masternya di Universitas Columbia Amerika Serikat pada 1988 dan mendapat gelar master of art berkat beasiswa Fulbright yang diterima. Untuk program doktoral ia tempuh di Universitas Columbia pada 1990.
Daya kritis Prof Azra terlatih lewat tulis-menulis kian terasah kala pada 1979—1985 berprofesi sebagai jurnalis majalah Panji Masyarakat. Pada 1992 ia bergabung dengan UIN Syahid menjadi dosen untuk Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah sekaligus menjadi Guru Besar Sejarah Fakultas Adab. Setahun kemudian ia menerbitkan Jurnal Studia Islamika dan bertindak sebagai pemimpin redaksinya.
Perjalanan karier Prof Azra tidak hanya berpusar di dalam negeri semata. Pada 1994—1995 ia menjadi dosen di St Anthony College Inggris. Prof Azra juga pernah menjadi profesor tamu di Universitas Filipina dan Universitas Malaya (1997). Ia pun terhitung menjadi anggota Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program yang diorganisasi Jepang sejak 1997 hingga 1999.
Pada tahun republik bergolak dalam arus reformasi, yakni 1998, ia didaulat sebagai rektor di UIN Syarif Hidayatullah. Amanah ini ia pegang selama dua periode hingga tahun 2006. Dalam kurun waktu lima tahun, yakni pada 2004—2009 dia diangkat sebagai professor fellow di Universitas Melbourne. Hingga akhirnya pada 2022 ini ia mendapat amanah sebagai ketua Dewan Pers.
***
Jika kita menyimak perjalanan hidup Prof Azra, amat terang benderang sosok cendekia satu ini tidak pernah luput dari kehidupan kampus dan dunia akademik. Lakon hidup serta pemikirannya telah menjadi jejak tinta emas yang akan selalu dikenang oleh siapa pun yang pernah mengenalnya baik secara langsung maupun melalui berbagai artikel populer hingga puluhan buku yang ia tulis.
Kala menuntaskan doktoralnya di Universitas Columbia pada 1992 silam, ia menulis disertasi bertajuk Jaringan Ulama Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Banyak pihak menilai karyanya ini menjadi salah satu sumbangsih besar bagi literatur tentang sejarah Islam di Asia Tenggara, maupun dunia Islam secara umum abad ke-17 dan ke-18.
Barbara Metcalf, seorang profesor sejarah di University of California, mengapresiasi karyanya itu dengan penuh kekaguman. Menurutnya, buah pikir dan hasil riset Prof Azra berhasil menggambarkan dengan terang benderang betapa pentingnya jaringan keilmuan dan spiritualitas yang secara impresif menghubungkan individu-individu dalam pola-pola yang tak kita ketahui di masa lalu.
Hal lain yang patut kita kenang sebagai warisan beliau yang tidak akan pernah lekang ditelan zaman adalah ihwal nilai-nilau universal dalam berbangsa, bernegara, bermasyarakat, dan berserikat. Ia merupakan salah satu cendekiawan muslim yang tak pernah lelah untuk terus menggaungkan gagasan Islam inklusif sebagai modal utama bagi bangsa ini merawat Bhinneka Tunggal Ika.
Prof Azra merupakan salah satu sosok cendekia di Tanah Air yang amat menentang keras praktik politik identitas yang menurutnya dapat mencabik-cabik tatanan kemajemukan Indonesia. Ia pun menjadi bagian dari arus deras penentang paham keagamaan eksklusif yang belakangan telah meranggas insan-insan muda di sejumlah kampus di Indonesia, beberapa waktu terakhir ini.
Publik pun mengenang orasi kebudayaannya bertajuk Merayakan Kemajemukan, Merawat Indonesia, pada 30 Agustus 15 tahun lalu di Taman Komunikasi Kanisius, Yogyakarta. Dengan lantang ia menyentak kesadaran kita semua dengan adanya ancaman krisis budaya sebagai keberlanjutan dari krisis ekonomi yang kemudian berkembang menjadi krisis sosial-kultural hingga sosial-politik.
***
Maka itu berpulangnya cendekiawan sekaliber Prof Azra seolah menjadi duka lara bagi segenap anak bangsa di Republik ini. Sejumlah kalangan menilai tokoh yang juga kerap disapa akrab dengan panggilan Bang Edy itu merupakan teladan dalam berbangsa. Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengenang almarhum sebagai sosok yang memiliki girah atau semangat kebersamaan.
Menurut Gus Yahya, Prof Azra merupakan sosok yang tidak pernah lelah dan selalu bersemangat dalam konteks merawat spirit kebangsaan. “Azyumardi kerap mengatakan NU dan Muhammadiyah ialah pilar keislaman yang menopang kehidupan bersama dalam satu bangsa. Modalnya jelas, Islam tawasut (netral), moderat, rahmatan lil alamin, dan berkeadilan ada dalam Pancasila,” ujarnya.
Wakil Ketua Dewan Pers, M Agung Dharmajaya, turut menjadi saksi hidup yang mengenang Prof Azra sebagai sosok ketua Dewan Pers memiliki sifat yang santun dan penuh kesederhanaan. Kehidupan dan kesehariannya punya pengaruh baik bagi lingkungan di sekitarnya. Agung mengatakan saking positifnya, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah itu justru tidak sadar hal tersebut sangat berdampak.
Agung menyatakan Azyumardi sering berpesan bahwa kemerdekaan pers ialah anugerah. Dia pun terus mengajak agar yang sudah baik diteruskan dan yang belum baik diperbaiki bersama-sama. “Banyak hal positif yang beliau sampaikan beliau tidak sadar, terlebih kebiasaan salat beliau. Kalau lagi wawancara dan masuk waktu salat, beliau izin secara santun lebih dahulu,” ujarnya.
Tidak hanya dari dalam negeri, politikus senior Malaysia, Anwar Ibrahim, pun mengungkapkan rasa kehilangan sosok Prof Azra. Menurutnya, almarhum adalah sosok yang kritis dan kreatif. “Pola pemikiran itu agak sama, ya, moderat dan islami. Kalau dari segi pemerintahan, pemerintahan yang bersih, ya, yang diperjuangkan,” ujar Anwar Ibrahim kepada Media Indonesia, Selasa (20/9).
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengingatkan agar kita semua dapat memetik berbagai pelajaran berharga dari salah satu sosok Guru Bangsa ini untuk menatap masa depan. “Selamat jalan Prof Azyumardi Azra, kami akan selalu mengenang jejak ilmu yang mulia dan cendekia,” ujarnya dalam Takziah Virtual Prof Azyumardi Azra, Selasa (20/9) malam.
Sekali lagi bangsa ini kehilangan dan ditinggal salah satu Guru Bangsa yang telah mewariskan beragam hal, terutama tentang semangat untuk merawat dan mengukuhkan pohon kebangsaan yang telah kita tanam bahkan sebelum bumi Nusantara ini merdeka. Semoga benih-benih pemikiran yang ia tabur kelak akan membuahkan karakter-karakter pejuang di jalan yang selama ini Prof Azra lalui. n