HAMPIR dua tahun penduduk seisi bumi babak belur dihantam pandemi Covid-19. Sungguh tidak terperi melihat betapa paniknya hampir seluruh negara menghadapi bencana global ini.
Dari aspek kesehatan, inilah pandemi pertama pada zaman modern yang tidak pernah terbayangkan. Sebelumnya, kosakata pandemi bersama endemi dan epidemi hanya ada di bahan hafalan mata pelajaran pada sekolah menengah. Kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran tidak mampu membendung penyebaran virus mematikan itu.
Sampai sekarang pun belum ada ahli kedokteran atau perusahaan farmasi yang berani mengeklaim mampu membuat obat mujarab penangkal Covid-19, seperti parasetamol untuk pereda rasa sakit atau antasida untuk asam lambung.
Satu hal yang bisa dilakukan manusia sebagai pencegahan adalah mematuhi protokol kesehatan 5M; memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas.
Semua dikembalikan kepada diri sendiri apakah mau tertular virus atau tidak. Hampir setahun setelah pandemi menjalar ke seluruh pelosok bumi, manusia baru bisa menciptakan vaksin Covid-19. Vaksin itu pun sifatnya untuk mencegah, bukan mengobati.
Dari aspek ekonomi, pandemi Covid-19 memukul hampir seluruh proses mulai dari produksi, distribusi, dan pemasaran. Pemerintah terpaksa melakukan refocusing anggaran untuk mencegah penyebaran virus sekaligus merawat pasien yang terinfeksi Covid-19. Prinsipnya, yang penting sehat dulu dan jangan sampai jatuh sakit.
Prioritas pada kesehatan itu tak pelak meminggirkan pembangunan di sektor lain. Praktis, anggaran pemerintah terkuras habis-habisan untuk penanganan pandemi. Sejumlah proyek fisik dan proyek lain yang tidak prioritas terpaksa ditunda dan dampaknya jelas bisa dirasakan; denyut nadi perekonomian makin lemah.
Ketika pandemi belum sepenuhnya mereda, dunia dikejutkan invasi Rusia terhadap Ukraina. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa menerapkan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Sanksi tersebut dibalas dengan penghentian pengiriman gas via jaringan pipa Nord Stream 1 ke negara-negara Eropa yang sangat bergantung dari Rusia. Jerman yang paling terdampak. Fluktuasi harga minyak dunia pun tak terhindarkan lagi.
Baku sanksi ekonomi antara Eropa dan Rusia pada gilirannya membuka ruang bagi munculnya dua krisis baru pascapandemi, yaitu krisis pangan dan krisis energi. Indonesia pun tidak kuasa melepaskan diri dari krisis tersebut. Harga minyak dunia periode Januari—Juli 2022 mencapai 105 dolar AS/barel, jauh di atas asumsi APBN 2022, yakni 63 dolar AS/barel.
Bagaimanapun, APBN tetap harus diselamatkan untuk menghadapi berbagai guncangan, baik akibat pandemi maupun dari sisi suplai yang mendorong kenaikan harga-harga komoditas. Untuk menyelamatkan APBN, pemerintah tidak punya pilihan kecuali dengan mengurangi subsidi bahan bakar minyak yang sudah menembus angka Rp500 triliun. Kebijakan tidak populer itu diputuskan agar roda perekonomian nasional tetap dapat berjalan normal.
Memang subsidi itu ibarat candu. Candu yang telah meruntuhkan sistem ekonomi dan politik banyak negara, di antaranya Venezuela. Candu yang jor-joran digelontorkan demi popularitas pemimpin, tetapi sebagian besar justru dinikmati kalangan menengah ke atas, bukan kelompok miskin terbawah.
Untuk Indonesia, data Survei Sosial Ekonomi Nasional menyebutkan 89% solar subsidi dinikmati dunia usaha (jelas dari kelompok mampu) dan 11% diterima rumah tangga. Dari 11% yang diterima rumah tangga itu, 95% dinikmati keluarga mampu dan 5% untuk keluarga miskin.
Sementara itu, untuk pertalite subsidi 14% dipakai dunia usaha dan 86% diterima rumah tangga. Dari 86% yang dipakai untuk rumah tangga itu, 80% dinikmati keluarga mampu dan hanya 20% yang diterima keluarga miskin.
Belum selesai konflik Rusia-Ukraina, gelombang panas kini memanggang daratan Eropa. Hampir seluruh negara-negara Eropa terdampak. Kebakaran hutan terjadi di mana-mana, bendungan yang menjadi sumber energi hidroelektrik surut, sungai-sungai besar kering, dan produksi pertanian anjlok. Macetnya sumber energi hidroelektrik semakin memperparah krisis energi yang sebagian besar tergantung dari pasokan gas Rusia.
Tiga perkara besar tersebut, yakni dampak jangka panjang pandemi Covid-19, konflik Rusia-Ukraina, dan gelombang panas Eropa, menjadi persoalan serius yang berdampak pada banyak negara. Negara-negara produsen pertanian cenderung menyimpan bahan pangan untuk mengantisipasi ketidakpastian di masa mendatang.
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional menyebutkan perekonomian 66 negara terancam ambruk karena gagal menangani persoalan krisis utang dan refinancing pembiayaan. Satu yang sudah jelas bangkrut adalah Sri Lanka. Cadangan devisa dan kas negara tersebut habis total dan sudah tidak mampu lagi untuk mengimpor komoditas apa pun dari pasaran dunia.
Tidak ada bahan bakar untuk menggerakkan pembangkit listrik dan kendaraan, tidak ada obat-obatan untuk merawat orang sakit, tidak ada susu untuk bayi dan anak-anak, dan tidak ada lagi uang untuk perbaikan infrastruktur. Krisis ekonomi berlanjut ke krisis politik. Presiden Gotabaya Rajapaksa kabur ke luar negeri setelah massa menyerbu kediaman resminya.
Selain Sri Lanka, sejumlah negara lain yang kini berada di ujung tanduk antara lain Afghanistan, Argentina, Laos, Mesir, Lebanon, Myanmar, Pakistan, Turki, Zimbabwe, El Salvador, Ghana, Tunisia, Kenya, Ukraina, Bahrain, Namibia, Brasil, Angola, Senegal, Rwanda, Afrika Selatan, Kosta Rika, Gabon, Maroko, Ekuador, Republik Dominika, Ethiopia, Kolombia, dan Meksiko. Beberapa dari negara itu memiliki rasio utang di atas 60% dari produk domestik bruto (PDB), ada yang 80%, bahkan ada yang 100% dari PDB.
Sejauh ini rasio utang Indonesia 39% dari PDB, masih berada di posisi aman. Itu sebabnya, pemerintah berusaha meredam seluruh potensi persoalan di tingkat makro untuk mengendalikan kinerja ekonomi.
Teranyar, Pemerintah Pusat bersama seluruh pemda menggelontorkan berbagai jenis bantuan sosial setelah penaikan harga BBM bersubsidi awal September 2022. Tujuannya untuk menjaga daya beli masyarakat dan mencegah inflasi tinggi.
Adapun skema penyaluran bansos dari pemda dirancang dalam empat lapis bantuan. Pertama, bansos 2% dari dana alokasi umum dan dana bagi hasil, bansos dari biaya tak terduga, mata anggaran bansos daerah, dan bansos dari dana desa. Empat jenis bansos daerah itu disalurkan secara simultan berbarengan dengan anggaran pusat melalui bantuan langsung tunai, bantuan subsidi upah pekerja, dan bantuan untuk sektor transportasi dan nelayan.
Dari kebijakan tersebut jelas terlihat upaya serius pemerintah untuk menjaga agar negeri ini tidak masuk jurang resesi. Meskipun ada juga sejumlah kalangan yang menilai upaya tersebut dengan nada miring, semuanya toh tetap bebas berpendapat di alam demokrasi ini.
Tidak bisa dielakkan lagi, hampir seluruh dunia saat ini benar-benar sedang menghadapi krisis. Krisis kesehatan, krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan. Memang, kinerja ekonomi Indonesia sampai akhir tahun ini diperkirakan masih tetap stabil. Tetapi tidak ada yang bisa memastikan seperti apa situasi tahun depan.
Semua masih gelap dan tidak ada bisa meramalkan secara pasti. Sebab di era globalisasi setiap terjadi bencana ekonomi di satu negara pasti berdampak ke negara-negara lain. Terlebih kini bencana ekonomi itu mengancam puluhan negara.
Dalam situasi seperti itulah negara sangat membutuhkan kehadiran pemimpin yang bersih dari korupsi, cerdas, tegas, dan berani memutuskan kebijakan yang tidak populer. n