RICKY MARLY
ricky@lampungpost.co.id
PENULIS Putu Oka Sukanta mendapat penghargaan Lifetime Achievement dari Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022. Penghargaan yang diraih ini menjadi bukti dedikasinya untuk dunia sastra.
Penghargaan itu diberikan atas perjuangan dan kerja kerasnya di dunia kepenulisan semenjak muda hingga kini.
“Padahal, di rumah saya dulu itu tidak ada buku atau bahan bacaan. Orang tua saya tidak boleh bersekolah. Karena ada peraturan dari kolonial saat itu, petani miskin tidak boleh sekolah,” kata dia kepada Media Indonesia saat ditemui di kediamannya di Jakarta Timur, Rabu (12/10).
Karya tulisnya tidak pernah jauh-jauh dari persoalan konflik batin, jiwa, rasa, dan refleksi kehidupan sosial yang ada di depan matanya. Setidaknya sejak 1956 hingga saat ini, sebanyak 30 buku berupa antologi puisi dan novel telah dilahirkannya. “Saya menuliskan hal-hal yang dianggap biasa oleh orang lain, tapi saya anggap itu tidak biasa,” ujarnya.
Karya-karyanya dimuat dalam beberapa antologi internasional seperti Indonesian Contemporary Poetry (Indonesia 1963), This Prison Where I Live (London 1966), Voice of Cosciences (USA 1955), Bali Behind the Scene (Australia 1997), Silences Voices (Hawaii 2000), Menagerie IV (Indonesia 1998), dan Another Kinds of Paradise (Boston 2008).
Bakat mengarang Oka telah terlihat sejak kecil. Tepatnya ketika ia kerap mempertanyakan banyak hal. Mengapa ada orang miskin? Mengapa ada orang kaya? Mengapa orang tidak boleh sekolah atau mengapa perempuan tidak boleh mendapat warisan? Masih banyak mengapa-mengapa yang lain yang bercokol di kepalanya. Namun, ia tidak mendapatkan jawabannya.
“Kalaupun ada, jawabannya tidak memuaskan. Dari situlah saya menyadari, betapa saya ingin menyampaikan kegelisahan hati saya. Mulailah saya menulis,” kata Oka.
Cerita pendek pertamanya dimuat di Surat Kabar Suluh Indonesia pada 1956 silam. Ia bercerita tentang pergolakan batin yang dihadapinya saat ayahnya meninggal dunia.
“Saya tidak menangis saat itu. Namun, setelah ayah saya dikuburkan, baru saya mempertanyakan, lo, kalau sudah dikuburkan begini, berarti saya tidak akan bertemu ayah saya? Kapan saya akan bertemu lagi? Di situlah saya menangis. Itu semua saya tuang dalam tulisan,” kata dia.
Tahanan Politik
Perjalanan sastrawan asal Buleleng, Bali Utara, Provinsi Bali, itu hingga menjelma sebagai sastrawan besar di Tanah Air, tidak terlepas dari pengalaman pahit yang dialaminya ketika menjadi tahanan politik era Orde Baru.
Satu tahun pascatragedi berdarah 1965, Oka ditangkap dan ditahan dalam jeruji besi atas tuduhan yang tidak berdasar. “Operasi Kalong namanya. Sebelum peristiwa itu, saya guru SMA,” ujar Oka.
Selama kurang lebih 10 tahun Oka mendekam di balik jeruji tanpa tahu apa alasannya. Ia ditahan tanpa pernah diadili.
Hasrat Oka untuk menulis dibungkam. Sepuluh tahun tanpa pena dan kertas. Setiap ada inspirasi yang menghampirinya, Oka mengaku ia menuliskannya di atas “awan” dan juga dedaunan.
“Karena tidak boleh ada pensil, tidak boleh ada kertas. Saya jongkok membayangkan kata-kata itu ada di awan. Setelah saya pulang, saya dibebaskan, saya tuliskan semua yang pernah ada di dalam kepala saya, termasuk sebuah lagu, Pucuk Bambu. Setelah bebas itu, membludak sudah. Semua tumpah menjadi tulisan,” kata Oka.
Bebas dari tahanan, Oka mendapat undangan workshop internasional di Kolombo, Bangladesh, dan Australia. Oka juga mendapat beasiswa ke Jerman pada 1989.
Pil pahit kembali diterimanya sepulang dari Jerman, lagi-lagi ia dijebloskan ke penjara karena dituduh bersekongkol dan turut mengorganisasi gerakan komunis internasional.
Setelah sekian banyak perlakuan tidak adil yang diterima, Oka hanya meminta agar negara secara terbuka mengakui apa yang dulu pernah terjadi. Pelaku pembunuhan, penghilangan paksa, harus diadili. (MI/R3)