RICKY MARLY
ricky@lampungpost.co.id
BUDAYAWAN, penyair, pelukis, dan sastrawan Indonesia Acep Zamzam Noor (62), yang dibesarkan dalam lingkungan pesantren di Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, masih terus berkarya meski usianya tidak lagi muda. Acep Zamzam Noor turut membacakan puisinya berjudul Percakapan Diri dalam Festival Bahasa dan Sastra bertajuk Sastra untuk Selamatkan Bumi yang digelar Media Indonesia pada Senin (31/10) dalam rangka merayakan Bulan Bahasa.
Acep Zamzam Noor mengatakan sastra untuk keselamatan Bumi yang terjadi sekarang menjadi isu penting karena pemanasan global sudah melanda Indonesia dan dunia. Sastra diharapkan bisa berperan dalam mengangkat persoalan-persoalan lingkungan, termasuk penyebab dari meningkatnya suhu Bumi.
“Persoalan sampah dan lingkungan sekarang ini bisa diangkat dalam sastra dan mungkin persoalan tersebut menjadi penyebab adanya panas Bumi (pemanasan global). Masalah lingkungan, seperti sampah, polusi, dan yang lainnya bisa diangkat ke dalam sastra. Tetapi sebenarnya mereka juga bisa belajar kepada masyarakat adat di Indonesia karena mereka sangat perhatian, terutama terhadap lingkungan,” kata dia ketika diwawancarai Media Indonesia, Senin (17/10).
Peran Penyair
Acep mengatakan permasalahan yang dirasakan sekarang ini, seperti adanya panas Bumi, banjir, gempa, dan tanah longsor, menjadikan manusia tidak berdaya.
“Untuk peran penyair, seperti penyair pada masa lalu, mereka juga sangat akrab dengan alam, memahami alam, menghayati alam, mereka memiliki pandangan hidup berdasarkan alam. Akan tetapi, yang dilakukan penyair tradisional Sunda dan Jawa, mereka memperhatikan alam. Tapi sekarang ini yang harus diperhatikan tentang pemanasan Bumi bukan melanda Indonesia saja, tapi seluruh dunia,” katanya.
Menurutnya, para penyair juga diharapkan sekarang mempunyai kepekaan dalam menghadapi global warming karena akan membawa dampak yang cukup besar hingga menyebabkan adanya perubahan tatanan ekologi suatu kehidupan.
“Menghadapi global warming, diharapkan agar para penyair bisa menulis puisi-puisi dengan berangkat dari alam dan memperhatikan alam karena akan berdampak kepada lingkungan. Penyair dulu yang berada di Jawa, Sunda, dan lain sebagainya memiliki perhatian sangat dalam terhadap lingkungan dan mereka memiliki nilai-nilai hidup serta simbol dengan alam dan penyair, juga banyaknya yang tertarik dengan alam, menggali alam untuk dijadikan sebagai kearifan lokal,” ujarnya. (MI/R3)