“SAYA memafkan ibu karena saya sangat menyayangi ibu,” ucap bocah 11 tahun dengan suara tersendat dan mata berkaca-kaca. Ucapan itu menghipnosis orang-orang yang ada dalam suasana haru biru dalam persiangan di Pengadilan Negeri PN Kelas IA Tanjungkarang pada Senin, 20 Juni 2022.
Bocah berperawakan kecil itu tak lagi memperdulikan bekas luka sayatan di tangan dan tubuhnya yang mungkin masih terasa nyeri. Yang ia butuhkan adalah dekapan, belaian, dan kasih sayang dari seorang ibu. Itulah naluri seorang anak. Terlebih, Anak Lanang—sebut saja demikian untuk bocah berusia 11 tahun itu—, tak pernah lagi mendapat kasih sayang seorang ayah yang telah berpulang menghadap Sang Mahakuasa sejak beberapa tahun lalu.
Kelekatan ibu dan anak harus berjak sejak Ketua Majelis Hakim Raden Ayu Rizkiati menyatakan Evri Wanti (46), terbukti bersalah melanggar Pasal 80 ayat (2), (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama satu tahun dan dua bulan,” ujar ketua majelis hakim saat membacakan putusan pada 20 Juni 2022.
Majelis Hakim menilai hal yang memberatkan terhadap vonis adalah terdakwa sebagai ibu membahayakan anak kandung karena melakukan penyiksaan fisik, berupa penyatan di tubuh anak. Sementara hal yang meringankan yakni terdakwa mengakui serta menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi.
Ketok palu Majelis Hakim membuat babak baru kehidupan ibu dan anak meski hanya 14 bulan saja. Ini konsekuensi dari penegakkan hukum dan perlindungan terhadap anak.
Kasus di ranah privat ini (rumah tangga, ibu dan anak) terungkap karena peran kepedulian warga atas kejanggalan yang terjadi, juga atas bantuan dari Komnas Perlindungan Anak Bandar Lampung. Yakni lembaga independen yang konsen terhadap perlindungan anak beserta hak-haknya yang terbentuk sejak 1998.
Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA) Bandar Lampung Ahmad Apriliandi Passa yang terlibat mengawal peristiwa ini menyebut bahwa perbuatan yang dilakukan ibu kandung berinisial EW sangat keji. Menurutnya, anak yang seharusnya menerima pendidikan formal malah dipaksa untuk bekerja dan mengalami kekerasan fisik.
“Sangat miris dan prihatin, kami sangat mengecam keras atas kejadian ini. Anak yang harusnya belajar dan bermain harus dipaksa mencarikan nafkah untuk ibunya,” ujarnya.
***
Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Bumi Ruwa Jurai memang tak bisa dipandang sebelah mata. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Lampung, selama 2022 hingga Agustus tercatat terjadi 137 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Lampung. Dari kasus tersebut, 165 perempuan dan anak jadi korban.
Maraknya kekerasan terhadap anak dalam bentuk kekerasan fisik, seksual, eksploitasi, penelantaran anak, bullying dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak lainnya harus menjadi pecut agar pemerintah, baik provinsi maupun kota/kabupaten se-Lampung, serius melakukan penanganan secara sistematis dan terarah.
Perangkat yang ada seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta UPTD PPA harus dikuatkan baik peran, fungsi, infrastruktur, dan anggarannya. Termasuk peran dari sektor usaha, baik pemerintah maupun swasta, lembaga masyarakat dan juga peran dari media sebagai penyampai edukasi dan pengetahuan bagi masyarakat harus lebih disinergikan.
Ketua Komans PA Bandar Lampung menyebut maraknya kekerasan itu karena masih kurangnya tingkat pengetahuan dari orang tua, pengajar di sekolah, dan anak itu sendiri tentang kewaspadaan perlindungan terhadap anak. Juga lemahya pengawasan dari orangtua baik dari orang tua kandung maupun dari pengawasan serta perlindungan dari pengasuhan alternatif, seperti kakek, nenek, paman, dan lainnya.
Usia anak rentan terhadap kekerasan seksual adalah pada usia sekolah SD hingga SMP, tahun begitu juga dengan pelaku kekerasan terhadap anak dengan usia anak banyak terjadi pada usia tersebut.
Upaya menurunkan angka kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan pun menjadi komitmen Gubernur Lampung Arinal Djunaidi dengan menjamin serta mendukung pemenuhan hak-hak terhadap perlindungan anak serta pemberdayaan perempuan.
Komitmen Pemprov Lampung dalam memberikan perhatian terhadap anak-anak dibuktikan dengan diraihnya penghargaan Provinsi Layak Anak serta penghargaan KLA bagi kabupaten/kota se-Provinsi Lampung.
Penghargaan yang didapat itu ada amanah yang harus diemban. Tentunya jangan sampai penghargaan diperoleh, tetapi kasus kekerasan anak masih terus mengalir.
Untuk mencegah kian banyaknya kasus kekerasan pada anak, perlu kerja sama semua pihak, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Jalin kerja sama Komnas PA Kota Bandar Lampung dan Provinsi Lampung yang bersinergi untuk memberikan layanan alternatif kepada masyarakat yang terintergasi telah dilakukan melalui program “Simfoni” layanan pengaduan milik pemerintah melalui Kementerian PPPA layak dilanjutkan.
Juga perlunya dibentuk Satgas Kota Layak Anak, TPPO, Pencegahan Perkawinan Anak, dan sosialisasi ke sekolah tentang pemahaman terhadap perlindungan anak guna pencegahan kekerasan harus diberikan mulai dari pendidikan dasar hingga SMA.
Yang terpenting juga bahwa semua pihak harus berani transparan. Jika mendapatkan perlakuan yang tidak sebagaimana mestinya, baik kekerasan maupun pelanggaran hak-hak anak, harus berani mengadu atau melaporkannya ke lembaga pendampingan, kepolisian, dan lainnya.
Dengan adanya pelindungan dan keterbukaan ini, maka kasus kekerasan anak bisa segera diatasi atau dicegah. Anak merupakan harapan dan tumpuan bangsa ini kedepan. Sepatutnya mereka harus dijaga hak-haknya demi kemaslahatan bangsa ini kelak. *