Wandi Barboy Silaban
Wartawan Lampung Post
MESKIPUN sudah tua bangka, tua renta, jalan sudah merangkak-rangkak, pakai tongkat, kalau melihat kanvas putih saya langsung berdiri sabet kuas. Kanvas bisa berbicara, revolusi belum selesai. Jangan lupakan cita-cita revolusi belum selesai. (Djoko Pekik)
Demikian Djoko Pekik memperkenalkan dirinya saat diwawancara Wisnu Nugroho, jurnalis Kompas.com, yang tayang di laman YouTube akun Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, dalam video The Legend yang tayang di Metro TV tertera lugas siapa sosok Djoko Pekik. Tulisan dalam poster itu mengguratkan Djoko Pekik adalah seniman lukis Indonesia yang terkenal dengan karya berjudul “Berburu Celeng.” Gaya lukisannya adalah realis ekspresif dan sarat nilai-nilai kerakyatan.
Ketika Indonesia terkena pandemi Covid-19, Pekik terus melukis. Usia yang kian sepuh tidak menghalanginya untuk terus berkarya.
“Dengan tangan gemetar, saya masih pameran tunggal bertema “Gelombang Masker Sedunia”. Saya melukis 25 lukisan di Bentara Budaya Yogyakarta. Karya selama pandemi,” ujarnya.
Maestro lukis itu kini telah berpulang pada 12 Agustus 2023. Makamnya terletak di Taman Makam Seniman Giri Sapto, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Jurnalis senior sekaligus budayawan Kusni Sulang, yang akrab disapa JJ Kusni, bercerita banyak tentang sosok Djoko Pekik. Begini percakapan saya dengan Pak Kusni melalui aplikasi perpesanan WA messenger.
Kenal Djoko Pekik
Saya memang mengenal Djoko Pekik sejak ia sedang mengembangkan diri di Sanggar Bumi Tarung. Ia waktu itu masih belajar melukis di bawah pimpinan Amrus Natalsya, pematung dan pelukis. Misbach Thamrin dan Isa Hassanda—kawan Pekik satu sanggar—pada waktu itu jauh lebih berada di atas Pekik dalam dunia pemikiran dan seni lukis.
Pekik jadi lebih tersohor setelah mereka keluar dari penjara. Pekik melukis lebih berdasarkan perasaan, menurut pernyataan dia sendiri, sedangkan Amrus dan Misbach menggunakan rasio, teori, analisis, dan emosi seperti juga yang dilakukan oleh Soedjojono, Hendra Gunawan, misalnya.
Hasilnya tecermin dalam lukisan-lukisan mereka. Hal yang sama pada mereka adalah keteguhan memegang prinsip seni untuk rakyat. Saya kira sampai akhir hayatnya, Pekik setia dengan prinsip ini.
Apakah Pekik lebih “besar” dari yang lain? Saya kira besar-kecil bergantung pada sudut pandangan dan keadaan yang melingkari seseorang pada waktu tertentu. Hal ini bisa dibahas dari segi ilmiah dengan mengulas berbagai unsur dalam seni yang digeluti.
Peristiwa September 1965 membuat kami terpencar lama sekali. Terakhir saya jumpa Pekik pada 1990 di rumahnya di Gampingan. Saya kemudian mengikuti perkembangannya melalui media, beda dengan Amrus, Misbach, dan Issa Hasanda (sekarang di Bali, sakit-sakitan).
Yang tidak terlupakan, masa-masa awal membangun Sanggar Bumi Tarung, kami pernah sama-sama lapar. Lukisan belum ada yang laku. Yang berjasa menolong kami adalah ibu-ibu warung sekitar ASRI. Oleh karena itu, saya selalu katakan bahwa seni rupa Yogya berkembang ada jasa ibu-ibu warung. Untuk makan kami, saya harus meloakkan koran-koran arsip saya.
Demikianlah JJ Kusni mengenang seorang Djoko Pekik. Sang maestro lukis itu tidak lagi memekikkan suaranya melalui kanvas. Ia telah terbaring tenang di haribaan-Nya.n