MEMBELI minyak goreng (migor) amat susah dalam tiga bulan terakhir! Faktanya, di sejumlah minimarket, bahkan pasar tradisional di Lampung maupun hampir di seluruh Tanah Airminyak goreng menghilang. Kalaupun ada, harganya melangit dari harga eceran tertinggi (HET).
Minyak goreng satu harga Rp14 ribu sangat diburu konsumen. Sejak subuh hingga toko minimarket dibuka, sudah berbaris sepeda motor dan pembeli berkerumun menunggu minyak goreng dijual. Karena satu harga juga, para pedagang pasar tradisional pun mengeluh sepi pembeli. Kosumen memilih belanja minyak goreng bersubsidi di supermarket.
Dalam hitungan jamminyak goreng satu harga di sejumlah toko ritel atau modern diserbu pembeli. Dan di beberapa tempat bahkan berpekan-pekan, minyak goreng menjadi langka dan mahal. Inilah memicu hukum ekonomi mulai berlaku. Ada permintaan banyak, harga ikut naik tinggi. Tumbuh subur praktik spekulanpenimbun mulai ada di mana-mana.
Kelangkaan dan mahal ini membuat produsen minyak goreng memasang strategi jitu juga. Di Sumatera Utara ditemukan satu gudang menumpuk minyak goreng. Tidak ketinggalan di Lampung. Ditemukan gudang berisi ratusan dus minyak goreng yang siap pakai. Balakang tumpukan minyak goreng itu milik perusahaan pabrik sawit bernama CV Sinar Laut.
Apa pun alasannya, seperti stok yang siap didistribusikan ke konsumen. Kalau sudah digeledah saat barang langkaitu namanya penimbunan. Lembaga yang diminta mengawasi peredaran minyak goreng iniantara lain Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman RI yang sigap menggeledah, memberi solusi terhadap menghilangnya migor.
Patut dicatat! Indonesia adalah negara dengan lahan kelapa sawit terluas di dunia. Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2020, luas lahan perkebunan sawit lebih dari 14,6 juta hektare. Provinsi Riau diikuti Kalimantan Barat dan Tengah memiliki lahan luas sawit yang mencapai 46,52%. Termasuk juga di Lampung, sebagian lahannya ditanami kelapa sawit.
Pada 2020 itu juga tercatat, produksi kelapa sawit mencapai 51,58 juta ton. Angka ekspornya 34 juta metrik ton dengan nilai ekspor setara Rp321,5 triliun, atau naik 13,6%. Silakan dicek saja bahwa lahan yang ditanami sawit di bumi pertiwi ini dikuasai investor dari Singapura dan Malaysia. Artinya, luar negeri masih mengendalikan sumber daya alam Nusantara.
Sehingga harga jual sawit sangat dikendalikan Bursa Malaysia Derivatives (BMD). Bahkan, harga minyak sawit di dalam negeri mengacu pada bursa komoditas di Belanda. Maka itu, walaupun negeri ini sejak 2006 menjadi produsen minyak sawit berbesar di dunia, tetap tidak bisa memiliki kekuatan untuk menentukan harga jualnya. Makanya, produsen berulah karena diimpit kekuatan pemilik modal dan asing!
Harga diri bangsa harus tegak lurus dengan kepentingan rakyat! KPPU dan Ombudsman memanggil asosiasi perusahaan ritel mengusut ihwal dugaan kartel minyak goreng. Faktanya ditemukan 1,1 juta liter minyak goreng di gudang pabrik milik PT Salim Ivomas Pratama Tbk di Deli Serdang.
Jika menelisik ke belakang, KPPU juga pernah melaporkan industri minyak goreng di Indonesia dikuasai empat produsen besar. Buktinya? Konsentrasi pasar minyak goreng hanya 46,5%. Artinya, setengah pasar komoditas itu, dikendalikan empat produsen minyak goreng. Ini namanya; yang kaya makin kaya, yang miskin kian miskin!
Sebenarnya anak bangsa yang lagi memburu minyak goreng satu harga, tidak memikirkantidak mau tahu siapa pemain di belakang langka dan mahalnya bahan pokok itu. Pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng ini juga pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO hingga produsen. Dari hulu ke hilir dikuasai pemodal kuat!
***
Untuk menstabilkan harga dan pasokan minyak goreng di pasaran, maka digelarlah pasar murahoperasi pasar. Ternyata, upaya niat baik itu tidak membuahkan hasil yang baik. Karena imbas dari kenaikan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dunia sehingga berpengaruh pada produksi dalam negeri.
Yang jelas minyak goreng sengaja dibatasi. Itu kata lembaga pengawasan pelayanan publik, Ombudsman RI. Sejumlah temuannya terkait kelangkaan stok minyak goreng di Tanah Air. Mulai dari indikasi pembatasan pasokan hingga penyusupan minyak goreng yang dilakukan oknum.
Indikasi pembatasan pasokan itu terlihat disimpan di gudang-gudang pasar ritel modern. “Ada juga stoknya tidak ditampilkan di etalase. Lalu, agen distributor menghentikan pasokan kepada toko ritel modern. Ini ada di tujuh provinsi. Apakah ada indikasi penimbunan? Ini didalami lebih lanjut lagi oleh Satgas Pangan,” beber anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dalam konferensi pers, Selasa (22/2).
Pembatasan pasokan minyak goreng terjadi tidak hanya di Sumatera Utara, Jakarta, Jambi, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Papua. Juga di Lampung. Lagi-lagi, fakta berbicara ditemukan ribuan kantong minyak goreng dengan stok lama yang ditumpuk di gudang. Bahkan, Ombudsman juga menemukan penyusupan stok minyak goreng.
Contohnya, karyawan ritel modern menjual migor ke luar dari gudang ke pedagang ritel tradisional. Distributor menjual di atas HET. Temuannya terjadi di tujuh provinsi, yakni Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.
Jadi wajarlah kenaikan harga migor yang terjadi sejak November 2021 lalu itu, pelan tapi pasti yang membuat ketersediaan kian langka pula. Sudah harganya mahal, susah dicari. Dalam kasus migor, termasuk kelapa sawit, perlu dilihat bagaimana moralitas pelaku usaha dan pembuatan kebijakan.
Siapa yang akan diselamatkan negara jika migor terus langka dan mahal? Apakah investor, toko, pedagang atau rakyat yang lagi susah antre migor berjam-jam yang terjadi di mana-mana. Butuh waktu berapa lama lagi agar stok migor berlebih di pasaran, juga harga dijamin stabil? Karena sudah empat bulan ini rakyat menanggung kegilaan migor yang digoreng pemilik modal, pengusaha migor yang menguasai dari hulu ke hilir..
Negara tidak boleh menutup mata! Bahan baku melimpah terhampar di bumi Nusantara, juga produksi minyak goreng dilakukan di dalam negeri. Mengapa harus mengalah dengan pemilik modal, apalagi yang datang dari luar negeri. Bangsa kaya sumber daya alam ini dijajah investor asing.
Celah yang dimanfaatkan pemain migor karena komoditas ini memiliki elastisitas tinggi. Maksudnya, meski harga mahalnya, masyarakat tidak akan berhenti memburu dan mengonsumsinya. Di tengah harganya mahal dan langka, kini muncul pula penimbunan dan pengoplosan. Dampaknya sudah ke mana-mana. Kini rakyat sudah menanggung deritanya. ***