PADA 31 Agustus, 25 tahun lalu publik dunia berduka atas kecelakaan yang menimpa Putri Diana di terowongan maut Place de I’Alma, Prancis. Dalam dinginnya pertengahan malam Kota Paris, Putri Wales itu meregang nyawa dalam kecelakaan hebat bersama kekasihnya, Dodi Al Fayed.
Ulah para fotografer lepas (paparazi) dituding menjadi pemicu petaka malam itu. Keduanya baru saja meinggalkan Hotel Ritz. Segerombolan paparazi bersepeda motor menguntit dan membabi buta memburu kendaraan yang tumpangi sepasang kekasih. Aksi kejar-kejaran pun terjadi.
Mobil Mercedes yang ditumpangi Putri Diana dan Fayed akhirnya kehilangan kendali hingga membentur tiang dan menumbur dinding terowongan Place de I’Alma. Sebelum menghembuskan napas terakhir, Sang Putri sempat dilarikan ke rumah sakit. Namun akhirnya, kabar duka itu pun tersiar. Diana wafat!
Dalam ranah jurnalisme, petaka di terowongan Place de I’Alma juga memicu perdebatan sengit. Paparazi, pemburu foto pesohor menjadi sorotan publik. Saat tragedi, alih-alih memberikan pertolongan pertama di lokasi. Mereka justru sibuk mengabadikan detik demi detik tragedi itu.
Bill Kovach, satu dari dua penulis buku The Elements of Journalism pun mengingat tragedi itu sebagai salah satu pemantik ia dan rekannya, Tom Rosenstiel menyusun buku yang menjadi referensi pegiat jurnalisme di seluruh dunia. Mereka menyimpulkan ada distorsi dalam jurnalisme.
Media infotainment kala itu tengah menjamur dan paparazi menjadi profesi ikutan nan menjanjikan. Ruang privat para artis menjadi buruan mereka. Informasi bombastis, mengedepankan sensasi, gosip, yang teramat jauh dari kepentingan publik jadi primadona.
Itu mengapa dalam bukunya, Kovach dan Rosenstiel menempatkan loyalitas wartawan kepada publik sebagai salah satu elemen penting dalam jurnalisme, membuat hal penting menjadi menarik dan relevan untuk diberitakan, serta mengedepankan disiplin verifikasi dalam pemberitaan.
Tidak ada ruang untuk bergosip dalam jurnalisme. Pun halnya kehidupan pribadi para artis tiada pentingnya bagi publik. Jurnalisme semestinya lebih berperan memantau kekuasaan, sekaligus menjadi corong kebenaran bagi mereka yang tidak berdaya. Kewajiban pertama jurnalisme ada pada kebenaran itu.
***
Seperempat abad berlalu, distorsi dalam jurnalisme tetap ada bahkan tumbuh subur dalam era disrupsi yang dipicu perkembangan dahsyat manusia dalam ranah teknologi, komunikasi, dan digital. Kecenderungan publik melahap informasi mulai berubah dengan adanya media sosial dan siber.
Berita bertitel clickbait menjadi resep utama agar cuan iklan menggunung. Di era digital, besaran iklan dihitung berdasarkan jumlah klik dan volume pengunjung. Portal berita kian latah menebar berita penuh sensasi demi mendulang traffic. Makin banyak traffic makin besar dolar mengalir.
Mereka tanpa malu menjilat bokong algoritma mesin pencari demi volume pengunjung situs. Berbagai pakem penulisan berita dalam jurnalisme mereka kesampingkan bahkan ditumbur demi ramainya pengunjung situs. Kualitas dan nilai berita dinomorduakan yang penting hasrat netizen terpuaskan.
Di era digital, situasi kian runyam dengan bertaburnya hoaks atau berita bohong pada platform media sosial. Tengok saja data Kementerian Komunikasi dan Informatika yang memutus akses 565.449 konten di berbagai situs media sosial lantaran melanggar peraturan perundangan pada 2021 lalu.
Namun waktu pula akhirnya yang menjawabnya. Disrupsi di era digital justru memberi peluang baru bagi para pelaku jurnalisme. Pada akhirnya publik mulai jengah dengan berbagai informasi dalam platform media sosial penuh hoaks. Jurnalisme arus utama kini kembali jadi pilihan.
Media yang tetap setia kepada produk jurnalisme bermutu kini menjadi referensi publik. Survei Edelman Trust Barometer 2021 mencerminkan hal itu. Hasil survei menyimpulkan kepercayaan publik terhadap pers di Indonesia tertinggi di dunia dengan 72 poin, disusul Tiongkok (70).
Capaian itu tidak lepas dari kebebasan pers di Indonesia yang terus membaik. Reporters Without Borders (RSF) menyatakan kebebasan pers di Indonesia naik dari posisi 139 menjadi 113. Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Indonesia juga naik menjadi 76,02 poin pada 2021.
***
Kepercayaan masyarakat terhadap pers akan terus menguat manakala mampu menjaga muruahnya sebagai pers yang bermartabat juga berdaulat. Rapat Kerja Dewan Kehormatan (DK) PWI dalam menyongsong Hari Pers Nasional (HPN) 2022 menekankan pentingnya dua hal tersebut.
“Kehormatan anggota bisa dirampas ketika dia melakukan pelanggaran pada Kode Etik Jurnalistik dan Kode Perilaku, serta UU Pers No 40/1999,” ujar anggota DK PWI Pusat Tri Agung Kristanto dalam rapat kerja bersama DK PWI Provinsi se-Indonesia pada acara HPN, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/2).
Pun halnya dengan hasil Konvensi Nasional Media Massa pada HPN tahun ini yang juga menekankan hal tersebut. Pers Tanah Air perlu menyambut era digital, namun harus tetap mengedepankan kemandirian dan tidak menghambakan diri pada traffic pengunjung dan algoritma mesin pencari.
HPN tahun ini juga mengingatkan kembali pelaku media berbasis bisnis pers itu adalah kepercayaan pembaca. Kepercayaan pembaca akan hadir dengan sendirinya manakala pers menghadirkan konten dengan mutu jurnalisme tinggi. Sikap ini diyakini menciptakan ruang publik yang sehat.
Di era digital, media juga perlu menyeimbangkan antara pengunjung riil dan pengunjung tak langsung yang datang dari platform agregator atau media sosial. Pers Tanah Air harus mandiri dan tidak boleh bergantung pada program iklan platform global yang mengutamakan besaran klik.
Komunitas media massa di negeri ini juga perlu berkolaborasi antarmedia—konvergensi namanya. Kolaborasi dalam berbagai aspek kerja sama ini sangat penting untuk mereservasi jurnalisme berkualitas pada era epidemi disinformasi, serta untuk bersama-sama membangun model bermedia yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, komunitas pers di Indonesia harus kembali kepada khitah sebagai kekuatan keempat demokrasi dan ruang publik yang beradab. Untuk itu, berpegang teguh kepada jurnalisme berkualitas atau jurnalisme publik adalah mutlak harus dilakukan pada era disrupsi dan disinformasi ini.
Perbedaan mendasar antara produk pers dan media sosial adalah metode dan cara kerja menyajikan konten layak siar. Institusi pers tidak serta menyiarkan informasi yang belum tentu teruji akurasi dan kebenarannya. Itu pula mengapa berdisiplin dalam verifikasi adalah rangka baja institusi pers.
Lemah dalam verifikasi pula yang menyebabkan konten hoaks demikian mudah menjamur dan tumbuh subur pada platform media sosial. Disiplin dalam verifikasi menjadikan produk jurnalistik clear dari hoaks. Sebuah berita diproses berlapis dari reporter, editor hingga penanggung jawab, pemimpin redaksi.
Oleh karena itu, anak-anak bangsa sepakat dengan pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate yang mengungkapkan dunia pers harus menghadapi tantangan pada era digital ini dengan tetap bermartabat. Produk jurnalistik berkualitas menjadi kunci mendapatkan kepercayaan publik.
Sebaliknya, pers yang mengutamakan clickbait demi mendulang traffic lambat laun akan ditinggalkan pembacanya. Praktik membakar uang demi mendulang traffic tentu tidak relevan dengan konsep jurnalisme bermartabat. Kepercayaan pembaca tidak boleh disubstitusikan oleh algoritma mesin pencari. Selamat Hari Pers Nasional menuju era baru yang berkualitas. *