SPDB Pangeran Edward Syah Pernong
Sultan Sekala Brak Yang Dipertuan Ke-23 Kepaksian Pernong Lampung,
Mustasyar PW NU Lampung
MUKTAMAR ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) yang dilaksanakan di Lampung pada tanggal 22—23 Desember 2021, memiliki beberapa nilai penting. Nilai penting pertama adalah muktamar ini merupakan era penutup seabad NU.
Setelah muktamar Lampung, NU akan memasuki usia seabad. Bagi sebuah organisasi, usia satu abad merupakan usia yang menyiratkan kemampuan manajerial dan kemampuan adaptif yang telah teruji. Hanya sedikit organisasi di Tanah Air yang sanggup menjalankan roda organisasi dengan segala tantangannya hingga mencapai usia satu abad.
Nilai kedua adalah muktamar ini dilaksanakan di saat dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Hal ini mengisyaratkan perlunya para ulama dan agamawan untuk ikut mencari solusi terhadap persoalan peradaban global. Oleh karena itu, sangat tepat tema yang diangkat dalam muktamar ini 100 tahun NU: Kemandirian dalam berkhidmat untuk membangun peradaban dunia. Nilai penting terakhir, adanya relasi nilai antara masyarakat Lampung dan NU.
Lampung memiliki filosofi dasar Sang Bumi Ruwa Jurai, yang bermakna satu bumi dengan dua kebudayaan. Filosofi dasar Provinsi Lampung tersebut lahir dengan latar belakang sejarah, budaya, dan gagasan besar yang hendak dicapai masyarakat Lampung. Dua kultur yang dimaksud adalah kultur asli dan kultur pendatang. Artinya, masyarakat Lampung sejak lama sudah memahami proses akulturasi, akulturasi, dan asimilasi kultural.
Filosofi Sang Bumi Ruwa Jurai atau oleh generasi milenial sering disebut Sang Bumi Lampung, sejalan dengan prinsip-prinsip NU. Berangkat dari pemahaman kaidah fiqh al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah, yang artinya melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik. Sejalan dengan kaidah fiqh tersebut, masyarakat Lampung selalu adaptif dengan perubahan, sepanjang perubahan itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, tradisi, budaya, dan adat istiadat yang ada.
Filosofi itu menggambarkan proses yang berlangsung terus-menerus selama berabad-abad pada masyarakat Lampung, menjadikan masyarakat Lampung sebagai masyarakat yang terbuka dalam menerima orang lain, atau menerima kultur lain. Dan, hal terpenting, dari filosofi Sang Bumi Ruwa Jurai itu mengandung harapan akan kondisi ideal masyarakat Lampung yang aman, damai, berbeda dalam persatuan dan bersatu dalam perbedaan. Atau dengan kata lain, bersikap akomodatif.
Sikap akomodatif tersebut juga merupakan ciri NU sehingga sebagai organisasi NU bisa berusia sampai satu abad. Dan, pada jammah, sikap akomodatif itu ditunjukkan dengan sikap para kiai dan ulama serta anggota NU yang mudah diterima oleh masyarakat, serta mampu mewarnai kehidupan sosial-politik bangsa ini. Sikap akomodatif NU itu tidak terlepas dari paham keagamaan yang dianut, yaitu tawasut (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan ammar ma’ruf nahi mungkar.
Paham keagamaan yang tawasut, tasamuh, tawazun, dan ammar ma’ruf nahi mungkar, sama dan sebangun dengan tata perilaku masyarakat Lampung, yang terformulasikan dalam piil pesengiri. Piil pesengiri sebagai falsafah hidup orang Lampung sudah terbentuk sejak tertatanya masyarakat adat Lampung. Piil (fiil=arab) artinya perilaku, dan pesenggiri maksudnya bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, tahu hak dan kewajiban. Piil pesengiri itu terdiri atas : Juluk-adek, Nemui-nyimah, Nengah-nyappur, dan Sakai-Sambaiyan.
Juluk-adek (gelar adat) merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi orang Lampung. Nemui-nyimah, bermakna sikap santun, terbuka, suka memberi, dan menerima (tawasut). Nengah-nyappur bermakna sikap toleran (tasamuh). Sakai-Sambaiyan bermakna tolong-menolong, bersikap seimbang (tawazun).
Piil pesengiri masyarakat Lampung yang sejalan dengan sikap keberagamaan NU itu merupakan alat untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Lampung selama ini berjalan dengan aman dan damai, praktis tanpa menimbulkan gejolak yang berarti.
NU dan Tantangan Global
Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU berpegang teguh pada dua rujukan utama, yaitu Al-Qur’an dan sunah. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. Menyatakan, “Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal yang kamu sekalian tidak akan tersesat setelah (berpegang) keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunahku (HR Al-Hakim)”.
Kedua rujukan tersebut berisi muatan nilai normatif dan etis yang ada dalam Al-Qur’an dan sunah, dipahami sebagai gagasan “langitan” atau samawi. Agar gagasan “langitan” itu dapat membumi diperlukan upaya-upaya pemaknaan (interpretasi), internalisasi, dan pemaknaan (implementasi) oleh umat Islam. Upaya interpretasi, internalisasi dan implementasi itu merupakan tugas kesejarahan muslim pascaera kenabian, agar pesan-pesan Al-Qur’an dan sunah dapat diterapkan dalam realitas kehidupan. Tujuannya yaitu mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Adapun upaya-upaya tersebut di atas, terutama upaya interprestasi, membawa konsekuensi logis. Konsekuensi logis dari aktivitas pemaknaan nash Al-Qur’an dan As-sunah akan melahirkan paham keagamaan yang beragam, dan di antara paham keagamaan yang lahir dari interpretasi Al-Qur’an dan sunah adalah paham keagamaan moderat atau yang disebut ahlussunnah wal jamaah (aswaja) yang menjadi sifat dasar NU.
Muktamar ke-34 NU ini merupakan tonggak penting bagi jammiyyah untuk memperkuat paham ahlussunnah wal jamaah yang moderat dan adil, di tengah isu-isu radikal dan paham keagamaan transnasional. Penting bagi NU untuk memperkuat komitmen kebangsaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan memperhatikan keragaman budaya sebagai jati diri Nusantara.
Dalam sejarahnya, NU telah berkontribusi pada dinamika pembangunan bangsa, melalui peran kiai, pesantren, dan tokoh-tokoh NU lainnya. Sebagai organisasi yang berdiri pada 1926, Nahdlatul Ulama mengambil peran sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, yang berikhtiar melalui bidang dakwah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan. Ikhtiar tersebut dilakukan dengan berdasarkan pada ajaran Islam menurut paham ahlusunnah wal jamaah.
Muktamar ke-34 ini menjadi penting untuk menegaskan keindonesiaan dengan kultur Nusantara dan keislaman dengan paham moderasi. Kedua hal tersebut sebagai pilar kokoh untuk menjaga NKRI. Oleh sebab itu, melihat kohesivitas NU dan masyarakat adat, NU dan masyarakat adat perlu duduk bersama untuk merumuskan kebudayaan Nusantara di era digital. Perlu dirumuskan pola penerimaan peradaban digital, tetapi penerimaan tersebut tidak meninggalkan budaya Nusantara. Bila hal itu dapat dilakukan oleh NU dan masyarakat adat, Indonesia akan dapat menjadi negara yang maju, unggul, menjadi pemimpin dunia.
NU dan masyarakat adat perlu bersinergi memperkuat NKRI, menentang segala upaya untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Hal itu dapat dilakukan, mengingat (1) baik NU maupun masyarakat adat ada di semua wilayah Indonesia; (2) memiliki pemahaman yang sama tentang kultur Nusantara yang toleran dan adaptif; (3) NU dan masyarakat adat sama-sama merawat kebinekaan; (4) NU dan masyarakat adat memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme yang terbangun sejak awal. Dengan berbagai kesamaan itu, untuk makin menegaskan jati diri keindonesiaan, NU dan masyarakat adat perlu bekerja sama, melanjutkan fondasi kokoh yang sudah dibangun oleh nenek moyang, demi memenuhi cita-cita menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang maju, berkeadaban, menjunjung tinggi hak asasi manusia, toleran, inklusif, serta melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. ***