TRIYADI ISWORO
PENANGANAN kasus kekerasan perempuan dan anak di Lampung belum komprehensif dan inklusi. Bahkan, pada korban disabilitas hingga kini belum ada mekanisme penanganan kasus secara khusus.
Direktur Lembaga Advokasi Perempuan Damar Ana Yunita Pratiwi menyampaikan hal tersebut menanggapi masih banyaknya kekerasan yang terjadi pada anak dan perempuan di Lampung. Menurutnya, melalui leading sector dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) provinsi, pihaknya tengah mendiskusikan untuk membangun mekanisme layanan perempuan dan anak korban lintas stakeholder selama pandemi. Penanganan kasus ini urgen.
“Kami juga memastikan penanganan anggaran bagi perempuan dan anak yang komprehensif,” kata Ana Yunita melalui percakapan WhatsApp, Selasa, 19 Januari 2021.
Ia juga menyatakan pihaknya sejauh ini telah melakukan pendidikan-pendidikan kritis yang menyasar kelompok perempuan, perempuan muda, laki-laki muda terkait tubuh dan kesehatan seksual reproduksinya yang harus bisa terangkat tanpa malu-malu.
Kedua, membangun kesadaran wirausaha untuk kemandirian ekonomi sehingga perempuan memiliki posisi tawar dan berani mengambil keputusan. Damar menganalisis perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kadang sulit mengambil keputusan untuk berpisah karena kehawatiran pemenuhan ekonomi. Ketiga, advokasi kebijakan di tingkat desa, kabupaten, provinsi dan nasional untuk adanya kebijakan yang komprehensip. Hal ini untuk memberikan pemenuhan dan perlindungan perempuan korban seperti pencegahan, penanganan dan rehabilitasi.
Pemprov
Pemerintah Provinsi Lampung terus berupaya untuk melakukan antisipasi dan pencegahan terjadinya kasus kekerasan perempuan dan anak di Bumi Ruwai Jurai. Tercatat sebanyak 328 kasus kekerasan pada perempuan dan anak tercatat di Lampung hingga November 2020. Persoalan tersebut menjadi atensi oleh berbagai pihak. Ini juga menjadi bahan evaluasi dari Pemerintah Provinsi Lampung.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Lampung, Fitrianita Damhuri merasa prihatin masih maraknya kasus dan korban kekerasan pada perempuan dan anak di Lampung. Pihaknya juga terus melakukan upaya-upaya agar persoalan tersebut tidak terjadi di kemudian hari atau minimal dapat menurun setiap tahunnya.
“Kami punya program perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM) yang harapnya terus berkembang untuk mengantisipasi potensi kasus. Jadi sebelum terjadinya kasus masyarakat harus aware melakukan antisipasi. Upaya prefentif terus dilakukan. Kemudian di 15 Kabupaten/Kota sudah terbentuk UPTD PPPA yang terus melakukan pendampingan,” katanya melalui telepon beberapa hari lalu.
Laporan
Sesuai laporan data kekerasan pada perempuan dan anak di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Lampung berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI – PPA) tahun 2020 hingga November 2020 terdata ada 328 kasus di kabupaten/kota. Perinciannya ada 398 korban yaitu 115 korban laki-laki, dan 283 kasus korban perempuan.
Kota Bandar Lampung pada peringkat pertama dengan 93 kasus, kemudian Tulang Bawang Barat dengan 59 kasus, Pringsewu 33 kasus, Lampung Timur (25), Way Kanan (22), Tanggamus (19). Kemudian, Tulang Bawang (18), Lampung Utara (15), Pesawaran (14), Lampung Selatan (13). Selanjutnya, Metro (7), Lampung Tengah (4), Pesisir Barat (4), Lampung Barat (2) dan Mesuji (0).
Selanjutnya, jumlah korban menurut jenis kelamin dan umur ada 398 kasus. Perinciannya, 332 kasus anak dan 66 kasus dewasa atau 115 menimpa laki dan 283 perempuan. Selanjutnya lokasi korban berdasarkan tempat kejadian yakni rumah tangga ada 192 kasus dan 203 korban, sekolah 27 kasus dan 77 korban. Kemudian, fasilitas umum 54 kasus dan 21 korban, lembaga pendidikan kilat 21 kasus. Selain itu, 35 korban serta lokasi lainnya ada 34 kasus dan 62 korban.
Kemudian, jumlah korban berdasarkan jenis kekerasan yang dialami ada 521 korban. Perincian fisik (93), psikis (102), seksual (289), eksploitasi (2), trafficking (1), penelantaran (10) dan lainnya (24). Selanjutnya, jumlah korban berdasarkan pelayanan ada 150 korban. Adapun rincian pengaduan (37), kesehatan (82), bantuan hukum (12), penegakan hukum (1), rehabilitas sosial (9), reintegrasi sosial (2), pendampingan rokoh agama (6) dan pemulangan (1).
“Tidak semua operator menginput layanan yang diberikan oleh instansinya sehingga jumlah layanan lebih sedikit dari jumlah korban. Pada umumnya korban mendapat lebih dari 1 jenis layanan,” katanya.
triyadi@lampungpost.co.id