SAYA kira tidak ada satu pun anak bangsa di Republik ini yang dapat membantah jika Reformasi 1998 merupakan buah dari gerakan moral yang bermula dari kampus. Para akademisi kritis mendorong lahirnya gerakan masyarakat sipil hingga lahirnya gelombang aksi para mahasiswa turun ke jalan. Suara perubahan dari kampus pada akhirnya menumbangkan kuasa 32 tahun Orde Baru.
Gerakan para mahasiswa kala itu tidak luput dari peran Forum Rektor Indonesia yang kemudian disingkat dengan FRI. Forum ini merupakan tempat berkumpulnya para cendekia dan rektor di berbagai universitas di Indonesia. Mereka pun turut menyuarakan gerakan moral memberantas kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) demi terciptanya arah perubahan bangsa yang lebih baik.
Para rektor perguruan tinggi yang mawas dengan kondisi bangsa dan gerakan mahasiswa akhirnya menghimpun beberapa kesepakatan penting. Di antaranya, mereka para rektor akan selalu bersama dengan mahasiswa dalam gerakan reformasi murni sebagai kekuatan moral dan intelektual. Para rektor berkomitmen untuk membela para mahasiswa yang tertindas dan terlanggar hak asasinya.
Salah satu kunci sukses gerakan reformasi adalah kepercayaan mutlak masyarakat Indonesia kala itu terhadap gerakan moral dari kampus. Kampus kala itu dipercaya sebagai benteng terakhir moral bangsa yang independen dan bebas kepentingan. Bahkan lebih dari itu, kampus dipercaya sebagai sumber kebenaran, tempat masyarakat mencari jawab atas segala persoalan bangsa yang ada.
Gerakan reformasi juga membuktikan dunia kampus di Indonesia bukanlah menara gading yang ragib dengan idealisme serta gagasan-gagasan besar namun teramat jauh dari realitas serta begitu berjarak dengan masyarakat sekitar kampus. Gerakan reformasi membuktikan komunitas kampus kala itu amat peka dengan suasana kebatinan bangsa dan kegelisahan masyarakat di luar kampus.
Dan patut pula kita ingat bahwa reformasi bukanlah kali pertama komunitas kampus berandil besar dalam menentukan arah perubahan bangsa. Pada tahun 1966 Orde Lama pun tumbang dan tidak lepas dari gerakan mahasiswa yang turun ke jalan menuntut amanat penderitaan rakyat. Bahkan baik gerakan 1966 maupun gerakan 1998 beberapa rekan mahasiswa tumbang dan menjadi martir.
***
Karena itu pula, kala pada Sabtu (20/8) lalu saya mendapati kabar salah seorang petinggi perguruan tinggi di Lampung tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka hati ini pun tak karuan rasanya. Jika kasus korupsi menghantam lembaga lain selain kampus, tentu otak ini akan mudah mencernanya. Kalau kasus sudah begini? Apa daya, nasi sudah benar-benar menjadi bubur.
Saya meyakini tak sendiri merasakan hal ini. Dan saya juga yakin anda pun merasakan hal demikian. Korupsi di dunia pendidikan, terutama kampus, ibarat petir di siang bolong. Bahkan dengan amat pahit saya katakan kasus ini tidak hanya berdampak personal bagi para pelaku jika terbukti bersalah, atau berdampak pada kampus terkait, tapi juga menjadi pukulan telak bagi masyarakat.
Saya tidak perlu mengupas lebih lanjut kasus ini karena beritanya sudah bergulir terus-menerus beberapa hari terakhir. Terlebih proses penyidikan oleh KPK juga masih terus berlangsung. Biarlah persoalan hukum menjadi ranah penegak hukum. Namun, ada baiknya kita merefleksikan kembali di balik persoalan ini adakah celah hingga rasuah begitu mudah meranggas nurani insan kampus?
KPK sendiri telah melakukan kajian mengapa rasuah berupa suap pada penerimaan jalur mandiri terjadi. KPK menilai proses seleksi mahasiswa baru melalui jalur ini tidak transparan. Kondisi ini diperparah dengan peran Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi yang menurut KPK terlalu minim atau bahkan tidak ada peran sama sekali memantau jalur mandiri di kampus.
Karena itu pula, KPK mengeluarkan edaran untuk memperbaiki sistem penerimaan mahasiswa baru pada jalur mandiri di perguruan tinggi negeri. Menurut komisi antirasuah, informasi penerimaan jalur mandiri harus benar-benar transparan tanpa ada satu pun hal yang ditutup-tutupi dari tiap tahapan. Indikator penerimaan mahasiswa baru pada jalur ini harus bersifat kuantitatif dan terukur.
Penerimaan mahasiswa baru pada jalur mandiri tidak semestinya berdasarkan besaran sumbangan pengembangan institusi (SPI). Hal ini harus benar-benar tersosialisasikan dengan baik ke masyarakat. Itu artinya berapa pun besaran sumbangan legal yang disanggupi calon orang tua mahasiswa tidak menjadi bagian penilaian. Pemeringkatan kelulusan jalur ini tetap bersandar pada kemampuan akademik.
Karena itu pula, KPK menyarankan ujian mandiri harus menggunakan metode seleksi eksplisit, baik berupa metode passing grade, penentuan kuota dengan nilai terbaik, atau menggunakan kombinasi keduanya. Selain itu penyelenggara harus menyediakan kanal pengaduan (whistleblowing system) berbasis elektronik bagi masyarakat, sehingga mereka bisa berpartisipasi melakukan pemantauan.
Tidak kalah penting adalah menutup celah atau ruang remang-remang oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk memancing di air keruh. Perbedaan interval waktu ujian dan pengumuman yang terpaut terlampau jauh dapat menjadi ruang gelap untuk terjadinya lobi-lobi, jual beli bangku kuliah, dan praktik suap. Dengan menutup celah ini, peluang korupsi menjadi jauh lebih sulit untuk terjadi.
***
Alangkah elok jika berbagai rekomendasi itu menjadi bahan perbaikan kampus untuk berbenah diri. Jangan lah terburu-buru membela diri dan menyatakan sistem yang sudah ada saat ini paripurna dan minim celah. Sebab, dengan adanya kasus ini publik juga telah telanjur berpikir jika sistem yang digunakan sama maka amat mungkin sekali kasus serupa juga dapat terjadi di kampus lain.
Kegelisahan publik itu nyatanya amat dipahami Mas Menteri. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, menegaskan pihaknya akan memulai investigasi ke semua perguruan tinggi negeri (PTN) terkait potensi korupsi dalam proses penerimaan mahasiswa baru (PMB) di jalur mandiri. Langkah Mas Nadiem ini sudah amat tepat.
Mas Menteri paham betul apa yang terjadi di Lampung bukan persoalan bagi civitas academica di Kampus Hijau atau masyarakat di Bumi Ruwa Jurai saja. Ini menjadi persoalan besar bangsa. Sebab, sebagaimana yang saya utarakan sedari awal dalam tulisan ini, kasus korupsi yang terjadi kali ini menghantam institusi kampus yang telah ditahbiskan sebagai benteng terakhir moral bangsa.
Kepercayaan terhadap dunia kampus tentu tidak boleh runtuh, karena itu harus lekas dipulihkan. Pemulihan itu dapat dilakukan dengan langkah-langkah konkret dan tindakan nyata. Pembenahan-pembenahan tentu harus dilakukan. Investigasi menyeluruh ke seluruh antero kampus negeri yang turut menyelenggarakan ujian jalur mandiri amat perlu untuk dilakukan selain perbaikan sistem.
Memperbaiki sistem itu tentu tidak berarti menghapus jalur mandiri sama sekali. Ada pandangan jalur ini seolah mengomersialkan pendidikan tinggi di kampus negeri. Pandangan ini adalah benar manakala sistem seleksi mutlak mengedepankan kemampuan ekonomi ketimbang akademik si calon mahasiswa. Nyatanya toh tidak demikian. Nilai akademik tetap menjadi acuan melalui ujian atau tes.
Keberadaan jalur mandiri memiliki semangat bahwa investasi pendidikan tidak mutlak sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Jalur mandiri membuka peluang masyarakat turut andil membangun institusi kampus. Sebab, negara kita belum mampu menopang beban ini sendiri sepenuhnya. Namun, jangan pula semangat gotong royong ini disalahgunakan menjadi ladang korupsi. n