PLUIT tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ditiup sangat panjang. Ini pertanda, pesta demokrasi terbaru bagi bangsa yang beradab dan beretika dimulai. Harapannya, tidak ada lagi politik identitas dan oligarki. Saatnya, Indonesia memilih pemimpin yang benar-benar berorientasi kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok apalagi individu.
Makanya, perlu dikibarkan bendera politik gagasan dan kebangsaan dalam memilih presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah! Jadi penyelenggara, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus meningkatkan kualitas pesta demokrasi 2024. Ini juga akan menjadi teladan bagi dunia bahwa Indonesia lebih maju dibanding negara lainnya.
Kualitas seperti apa yang diinginkan bangsa yang bermartabat ini? KPU dan Bawaslu haruslah mewujudkan tingkat partisipasi pemilih lebih dari angka partisipasi Pemilu 2019 sebesar 81%. Lalu, penyelenggara pesta juga memberikan pendidikan politik yang masif, agar rakyat paham hak-haknya dalam pemilu, karena anak bangsa ikut menentukan perjalanan bangsa.
KPU dan Bawaslu harus juga belajar dari pemilu masa lalu. Pesta pahit yang menyeret penyelenggara masuk bui dan ada yang meninggal dunia karena kelelahan. Ini juga jangan terulang lagi! Perlu dibenahi tata kelola pemilu yang akuntabel serta mempersempit ruang konflik. Ingat! Pesta 2024 akan menghabiskan duit rakyat Rp76,6 triliun. Belum lagi duit rakyat di daerah.
Jadi, sangat pantas jika pesta demokrasi nanti — seluruh rakyat di negeri ini membangun narasi kebangsaan. Sudahilah politik identitas, kawan! Jualan yang menggadaikan etnis, suku, budaya, agama, dan juga kelompok kapital pun harus dihabisi. Sejak lama negara kesatuan ini menolak politik identitas, yang dieksploitasi dan dipolitisasi bernarasi ekstrem di panggung politik.
Jika menilik sejarah muasalnya, politik identitas. Praktik culas itu lahir dan berkembang dari Benua Biru, Eropa dan Negeri Paman Sam, Amerika. Dari dua benua itu, politik identitas yang menjelma gerakan memperjuangkan kesetaraan dari kelompok minoritas yang terhegemoni mayoritas. Semisal kelompok kulit hitam, pejuang gender, dan kelompok marginal lainnya.
Perjuangan Barack Obama menjadi presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat atau perjalanan Marthin Luther King dalam memperjuangkan hak-hak sipil nonkekerasan, adalah contoh politik identitas yang berkonotasi positif. Sayangnya gerakan politik ini bergeser makna bahkan meruncing ke perbedaan untuk dibawa ke permukaan.
Ini pernah dialami Indonesia. Politik identitas menjurus konflik suku, agama, ras, dan antargolongan pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Luar biasa narasi yang dipertontonkan dieksploitasi berbagai isu-isu sebagai menu utama kampanye. Akhirnya anak-anak bangsa di negeri ini terbelah dan terpolariasi dengan kepentingan sesaat.
Mereka terkotak-kotak pada kepentingan dan identitas. Mereka pun jauh dari semangat Bhinneka Tunggal Ika. Pemilu adalah arena kompetisi, tapi dijadikan pertempuran antaranak bangsa. Mengingatkan, pemilu sebagai festival demokrasi. Kampanye harus dipakai mengadu ide, gagasan dan mempertontonkan prestasi serta reputasinya ke rakyat.
Pengamat seperti Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti pernah menyatakan politik identitas lebih berbahaya dibandingkan politik uang. Politik uang bersifat temporal sedangkan dampak politik identitas menebar kebencian, membekas usai kontestasi. Rakyat pun terpolarisasi dan sangat sulit mencapai titik rekonsiliasi.
***
Harus disadari oleh partai yang saat ini sudah bersafari bahwa dampak dari jualan isu politik identitas. Sangat lugas bahwa polarisasi merusak dan merugikan rakyat juga partai. Padahal banyak persoalan pelik yang harus dijawab dengan ide kreatif dan inovatif. Bukan akrobat politik melalui pencitraan dengan memasang baliho, padahal belum waktunya. Rakyat kian cerdas menilai calon pemimpin dan wakilnya di parlemen.
Bermanuver dengan memasang baliho terkesan bahwa para politikus dipaksa dengan murah senyuman manis memperkenalkan diri sebagai bakal calon presiden, gubernur, wali kota, bupati, juga anggota legislatif. Ingat, negeri ini belum sembuh dari pandemi Covid-19! Rakyat dipaksa dan dijadikan objek akrobat tidak sedap. Mengapa? Karena mereka miskin empati.
Harusnya memberikan solusi bagi anak bangsa yang di tengah dililit krisis ekonomi. Tapi mereka justru sibuk melakukan promosi di tengah kesulitan isi kocek rakyat. Foto-foto dijejer di jalan-jalan protokol bahkan merusak keindahan kota. Ada yang berkedok imbauan, ada juga terang-terangan menyatakan ingin mencalonkan diri di pesta demokrasi 2024.
Mungkin para politikus lupa bahwa mayoritas pemilih pada 2024 adalah anak-anak muda yang rasional. Pemilih yang menjadi bagian dari generasi milenial. Bonus demografi itu adalah pemilih cerdas dan kritis, serta tidak mudah dipengaruhi oleh pesan, pepesan kosong dari baliho.
Hasil survei Charta Politika yang pernah dirilis menegaskan baliho tidak memiliki korelasi nanpositif dengan elektabilitas tokoh politik. Sosok yang terpampang di baliho memang dikenal rakyat, tetapi tak mampu mengerek elektabilitas, malah menimbulkan sentimen negatif.
Ingatlah kawan! Pemilih rasional mampu memilih dan memilah informasi terkait rekam jejak calon presiden, kepala daerah, juga anggota legislatif. Generasi milenial membutuhkan pemimpin yang kerja nyata membawa masa depan mereka lebih baik lagi. Lebih efektif menarik simpati dengan turun ke lapangan, bukan menghamburkan duit dengan memasang baliho.
Seperti dikemukakan Carolyn J Lynn, Carolyn J Heinrich, dan Laurence Hill (2000) bahwa semua tindakan pejabat di muka publik tidak terlepas dari motif rasionalitas ekonomi. Dalam konteks politik, apa pun simbol juga justifikasi yang digunakan, perilaku elite selalu diikat kepentingan politik.
Lebih mudah ditafsirkan lagi bahwa maraknya silaturahmi serta salaman para elite pada tahun politik ini, lebih mencerminkan kebutuhan dukungan elektoral daripada dukungan moral publik. Apalagi menggelar deklarasi dukung-mendukung yang membentuk koalisi. Ini manuver memengaruhi publik untuk kepentingan pencalonan menjadi pemimpin.
Negara harus hadir memberikan solusi dan sosialisasi, mengedukasi, juga literasi pemilu bermartabat, menjaga etika, toleransi, moderasi beragama, menjaga persatuan bangsa. Akrobat elite bersandar pada kepentingan pragmatis mencapai kekuasaan. Pesta masih dua tahun lagi. Sangat elok, apabila pascapandemi Covid-19 ini untuk mengerem syahwat politik. Sebab, rakyat masih bergulat untuk keluar dari kesulitan ekonomi.
Anak-anak bangsa harus menyadari bahwa pemilu merupakan tolak ukur yang nyata menegakkan panji demokrasi. Terlebih negeri ini menyimpan sejak lama sikap tepo seliro dan toleransi di tengah perbedaan–merajut keberagaman, merawat eksistensi negara, serta menjaga reputasi bangsa yang bermartabat, berpolitik nan cerdas.
Berpolitiklah secara elegan menghadirkan ide dan gagasan yang visioner. Bukan menabur bibit kebencian dengan narasi memecah belah rakyat, juga menghamburkan duit yang tidak bermanfaat. Pesta yang memilih presiden, anggota legislatif, kepala daerah tidak mengoyak-ngoyakan isu kebinekaan. Karena para pendiri bangsa ini sudah berdarah-darah merajut, merawat, dan menjaga agar Indonesia tetap utuh selamanya. ***