KAUM sarungan serta terkesan marginal identik dengan santri. Bahkan diolok-olok orang ndeso atau kampungan. Hari ini, anak-anak bangsa itu sudah ikut menentukan nasib masa depan negara. Banyak alumnus pondok pesantren mewarnai kebijakan republik. Adalah Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin yang kini sukses membonsai negeri ini menjadi bangsa beradab.
Ma’ruf adalah figur yang sangat unik. Dia adalah ulama, kiai, politikus, dan akademisi. Karakter kaum sarungan ini tidak diragukan lagi. Pimpinan Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara di Tangerang itu menerapkan model pendidikan pesantren miliknya berkonsep pesantren belajar 12 tahun dengan tingkat pendidikan sanawiah (SMP) hingga sarjana (S-1).
Karena kepiawaian soal ekonomi syariah, Kiai Ma’ruf dianugerahi gelar akademik guru besar kehormatan (honoris causa) bidang Ilmu Ekonomi Muamalat Syariah dari UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, pada Mei 2017. Jadi, sosok yang diidentikkan orang kampung itu, ternyata konseptor dan peletak dasar bagi pengembangan industri keuangan syariah di negeri ini.
Masih ingat di benak pada 1970-an. Kalau ada alumnus pondok pesantren ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sulit bersaing apalagi duduk di jabatan strategis. Mungkin karena dicap marginal–yang dikobarkan penjajah Belanda. Hari ini, santri-santri itu sudah merangsek ke berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sangat membanggakan! Lulusan pesantren berjibun yang menjadi profesor, perwira tinggi TNI dan Polri, jurnalis, dokter, insinyur, ahli hukum, politikus, birokrat. Bahkan terang-terangan ada beberapa perguruan tinggi negeri merekrut mahasiswa dari penghafal Al-Qur’an beberapa juz dari pesantren.
Para santri terus berprestasi membangun negeri ini dengan keutuhan cara beragama yang benar. Bukan agama abangan. Alumnus pondok pesantren (ponpes) mewarnai kehidupan mulai dari ekonomi, literasi keberagaman, moderasi beragama, kebudayaan, kesusastraan, hingga parlemen.
Wujud rasa syukur. Santri beberapa dekade sudah ikut menentukan arah kehidupan bangsa. Menginspirasi, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Keputusan Presiden No 22/2015 mengukuhkan eksistensi santri, dengan menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN).
HSN itu wujud negara menghargai santri. Sebab, para santri ikut andil dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Pada 22 Oktober, 76 tahun yang lalu adalah hari bersejarah— awal berkecamuk perang di Kota Surabaya. KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan maklumat yang dikenal dengan Resolusi Jihad. Salah satu pasalnya, bahwa santri yang berperang melawan Belanda dan sekutunya, kembali menjajah Tanah Air ini, nilainya sama jihad fisabilillah dan kematiannya adalah syahid.
Dari pada mati tiada arti, santri dengan garangnya melawan penjajah—saat itu ingin menduduki lagi negeri ini. Buah pikiran yang visioner datang dari sang kiai pondok. Santri dan para kiai memosisikan hubungan agama dan negara menjadi satu napas untuk merawat dan menjaga Indonesia.
Yang jelas, saat itu jihad yang dikobarkan para pimpinan pondok dan kaum sarungan sebagai upaya mengawinkan urusan negara dan agama. Bangsa ini perlu kembali kepada adab, politik nilai, keluhuran akal budi pekerti sehingga akan terlihat jelas ke mana arah negara ini berlayar.
Kini, pesantren sudah jauh lebih pesat mengikuti perubahan zaman. Dulu, pesantren hanya mempelajari ilmu agama. Hari ini mengajarkan ilmu-ilmu umum. Yang hebatnya lagi, pesantren sudah mengembangkan pendidikan hingga kepada jenjang strata dua dan tiga. Jika Ma’ruf hingga S-1, hari ini ada pesantren sudah membuka ruang belajar hingga ke jenjang doktoral.
***
Ini kemajuan besar dan berpikir visioner, membawa pondok pesantren jadi lembaga paling konkret membangun kecerdasan anak bangsa. Apalagi para kiai dan santri sudah terdidik hidup mandiri, memberi minuman bagi warga yang kehausan ilmu agama. Ingat! Pondok pesantren sebagai penjaga akhlak serta adab serta moral. Makanya harus terus dirawat.
Apalagi di era digitalisasi, berharap wawasan santri kian terbuka dan luas. Sebab, negeri ini membutuhkan lulusan pesantren berilmu kekinian untuk menjaga muruah bangsa. Jika dia seorang dokter, insinyur, juga pengusaha yang tidak korup–mengisap uang rakyat. Karakter yang dibangun pondok dengan ilmu umum dan agama membawa kehidupan akan lebih baik lagi.
Santri zaman now juga paling tidak mampu mengubah peradaban dengan nilai-nilai religius, beriman, dan bertakwa. Pimpinan pondok pesantren juga harus memikirkan masa depan santrinya—mampu bergaul, mengelola organisasi. Ma’ruf sudah membawa Indonesia ke kancah internasional karena menggagas ekonomi perbankan dan keuangan syariah.
Dalam buku berjudul The Ma’ruf Amin Way, ditulis Sahala Panggabean dan Anwar Abbas (2019) disebutkan, konsep ekonomi keumatan atau ekonomi syariah dalam kerangka berpikir seorang Ma’ruf harus bersifat bottom-up yang berorientasi pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
Ekonomi syariah yang dimaksud Ma’ruf adalah ekonomi yang berkeadilan, yang dirasakan semua kalangan. Bukan pemilik modal. Ini jelas arah kiai. Apalagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf sudah menggabungkan berbagai perbankan syariah pelat merah menjadi satu, yakni Bank Syariah Indonesia (BSI). Santri pun harus mengawal karya ini sehingga Indonesia kian kuat.
Karena santri terbiasa mandiri, paling tidak di era industri 4.0 serbadigital harus beradaptasi menjadi new content creator. Targetnya menghasilkan ide, karya, serta produk kreatif digital berkualitas. Berharap pesantren bisa mengikuti kemauan zaman, maka kehidupan lulusan pesantren lebih baik. Program Santri Digitalpreneur Indonesia yang gadang oleh negara adalah meningkatkan kemampuan dan keterampilan para santri.
Mengutip pidato Presiden Jokowi pada Hari Santri Nasional 2021 serta peluncuran logo baru Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) di Istana Negara, Jakarta, pada pekan lalu, menginginkan pesantren dan santri lebih banyak mengembangkan wirausaha untuk kekuatan ekonomi syariah.
Sangat jelas dan tegas, negara ingin pendidikan di kalangan pesantren, madrasah, serta pendidikan tinggi agama Islam harus mencetak lulusan yang inovatif dan berkewirausahaan, menciptakan lapangan kerja, juga bersaing di pasar kerja, serta menjadi wirausaha sosial yang sukses.
Hari ini ekonomi syariah yang datang dari kaum sarungan ternyata tak lagi sekadar menjadi pilihan bagi komunitas muslim, tetapi sudah menjadi salah satu penopang kekuatan ekonomi nasional. Dan lembaga pendidikan Islam–pondok pesantren juga mampu mencetak penerus para kiai dan tokoh dakwah yang beradaptasi di tengah arus derasnya digitalisasi.
Dan sebagai kado milad Hari Santri Nasional 2021 ini, negara hadir lagi dengan menerbitkan Peraturan Presiden No 82/2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Negeri ini secara khusus mengatur dana abadi pondok pesantren dalam upaya meningkatkan kualitas kaum sarungan.
Dengan begitu, tidak ada lagi radikalisme dan terorisme yang diajarkan di pesantren. Rakyat kian cerdas memilih dan menitipkan anaknya di lembaga pendidikan, karena mengenyam ilmu agama moderat, serta ilmu umum yang mengikuti perkembangan zaman. Sehingga kaum sarungan bernyali memiliki wawasan kebangsaan, merawat dan menjaga keutuhan Indonesia. ***