Lampungpost.id: MAHKAMAH Konstitusi (MK) akhirnya memutus gugatan mengenai sistem proporsional terbuka pemilihan legislatif (pileg) dalam Undang-Undang No 17/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Mahkamah menyatakan setiap sistem proporsional dalam pemilihan legislatif, baik terbuka maupun tertutup memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, pada putusannya, Mahkamah memberikan sejumlah panduan untuk perbaikan penyelenggaraan pemilihan umum.
Mahkamah menolak permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 itu karena dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum. Oleh karenanya, sistem pemilihan legislatif tetap menggunakan sistem terbuka.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya, ” ujar Ketua MK Anwar Usman pada sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6).
Dari delapan hakim MK, Arief Hidayat memiliki perbedaan pendapat (dissenting opinion). Sementara Pada pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah berpendapat Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 tidak menyebut secara eksplisit sistem pemilihan umum dalam memilih anggota DPR dan DPRD. Namun, Mahkamah melacaknya dari risalah pembahasan original intent dalam perumusan pasal tersebut.
Mahkamah menegaskan jika perbaikan sistem yang berlaku saat ini, pembentuk UU harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu pertama tidak terlalu sering melakukan perubahan. Kedua, kemungkinan untuk melakukan perubahan harus tetap untuk menyempurnakan sistem pemilu. Ketiga, perubahan harus lebih awal sehingga tersedia waktu yang cukup untuk melakukan simulasi. Keempat perubahan harus menjaga keseimbangan antara peran parpol dan prinsip kedaulatan rakyat. Kelima, apabila ada perubahan tetap melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu.
Pemohon
Pemohon pengujian UU Pemilu adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Para pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah bermakna adanya pembajakan oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal populer dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, menurut para pemohon seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Individualisme
Selain itu, para pemohon menilai bahwa pasal-pasal tersebut telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Pemohon mendalilkan proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu.
Para pemohon merasa rugi karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak sehingga pemilu berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Sistem proporsional terbuka, Pemohon menilai menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal tersebut batal akan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.
Para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan antara lain frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Lalu kata “proporsional” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak bermakna “sistem proporsional tertutup”. (MI/L1)




