DIAN WAHYU KUSUMA
SUWOLO menyalakan sakelar lampu. Tiga lampu berdaya 5 watt menyala cukup terang. Lampu yang menyala itu memanfaatkan energi surya yang tersimpan di baterai. Hari itu, cuaca cerah berawan, dan sedikit gerimis pada sore hari. Waktu menunjukkan 17.50 WIB pada Kamis (21/10) di Desa Margomulyo, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Suwolo dan istrinya, Umi Toyibah tinggal di ketinggian 538 mdpl, hidup bersebelahan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di Propinsi Lampung, situs warisan dunia yang diakui oleh UNESCO.
Suwolo sudah lima tahun ini memakai solar cell. Modul 125 watt dan baterai 70 ampere serta kabel ia beli seharga Rp2,5 juta. Sebelum menggunakan tenaga surya, ia menggunakan lampu minyak sebagai penerangan.

Lewat tenaga surya, ia bisa menghemat pengeluaran membeli minyak tanah, bahan bakar lampu sentir. Selama lima tahun ini, Suwolo baru dua kali mengganti baterai. Tanpa biaya bulanan layaknya pelanggan listrik negara, energi surya terbilang murah.
Suwolo mengatakan hari itu cuaca cerah, bulan Oktober di Margomulyo biasanya tiap hari hujan. Kalau tak ada panas maka Suwolo lebih memilih menghemat tenaga surya untuk penerangan malam saja, tak berani mencharger ponsel.

Kalau sudah hujan, jalanan ke desa Margomulyo dipenuhi lumpur tanah berwarna merah. Jarak dari jalan raya menuju desa Margomulyo mencapai 9 KM.
Pada Oktober 2021, warga desa banyak yang panen buah durian. Pagi sampai petang, jalan desa terus dilalui motor bermuatan buah durian. Kondisi jalanan pun makin parah karena terus dilalui motor bermuatan durian.
“Tinggal akses Jalan. Kalau bagus ya enak. Infonya dari Agustus September ada perbaikan jalan, tapi mundur,” kata Suwolo.
Sementara itu, pada April 2021 tiang listrik PLN telah masuk ke desa Margomulyo. Namun masih ada warga yang belum mau beralih menjadi pelanggan PLN.
Suwolo pun merasakan hal yang sama, ia belum memasang listrik PLN karena biaya instalasi awal tergolong masih mahal baginya.

Selain Suwolo, ada pula Suginem (40 tahun) warga Desa Margomulyo yang juga belum memasang listrik PLN. Saat ditemui, Kamis (21/10), ia bercerita masih membutuhkan biaya sekolah kedua anaknya yang kini duduk di bangku SMK.
Suginem membeli tenaga surya bekas seharga Rp2 jutaan. Untuk membantu ekonomi kelaurga, ia memanfaatkan pekarangan rumah dengan menanam sayur dan vanili.
Di Desa Margomulyo warga memiliki tiga pilihan sumber energi penerangan yakni energi surya, turbin energi air dan PLN. Plt Kepala Balai Besar TNBBS Ismanto Rabu (27/10) menjelaskan warga desa memanfaatkan izin energi air, dengan membangun pembangkit listrik tenaga air atau turbin. Izin tersebut diberikan bukan untuk tujuan komersil bagi warga desa. Menurutnya, pada pembangkit listrik tenaga hidro, warga harus rajin untuk pemeliharaan supaya energi listrik yang dihasilkan terus berlanjut.

Lampung Post/ Dian Wahyu Kusuma
Menariknya, satu rumah bisa menggunakan dua sumber penerangan contohnya pasangan suami istri Mujiati (27 tahun) dan Pujianto (32 tahun). Mereka masih menggunakan tenaga surya untuk penerangan lampu di rumahnya. Selain itu, ia juga sudah lima tahun memanfaatkan listrik dari tenaga air.
Tetapi satu pekan ini, energi listrik dari turbin tak mengalir ke rumahnya. Jika sudah begini, energi surya menjadi pilihan Mujiati. Dari energi surya itu, ia bisa menghidupkan lampu dan menyalakan radio saja. “Kalau menyalakan TV, energi surya belum kuat,” ujar Mujiati, karena ia masih menggunakan modul surya yang kecil.
Madi, Peneliti Turbin Angin, Mikrohidro, dan Arus Laut Institut Teknologi Sumatera (Itera) Lampung, Selasa (26/10) megatakan listrik dari sumber turbin yang tidak menyala banyak faktornya, salah satunya karena sumber air dan debit air.
Madi menjelaskan debit air bisa saja makin kecil, maka energi yang dihasilkan juga kecil. Indikasinya karena adanya sampah di sungai, debit air berkurang saat musim kemarau, sampai saluran penyaring tidak mampu menyaring sampah.
“Turbin ketika terdapat sampah sekecil apapun, mengganggu pergerakan turbin. Sehingga energi listrik yang dihasilkan menjadi kecil,” kata Madi.
Menurutnya, tubrin perlu ada perawatan berkala, harus ada manajemen operasi, petugas dari desa membersihkan turbin dari kotoran. Warga harus menjaga sumber air dengan kelestarian lingkungan atau pohon.
“Bisa jadi, sistem mekanik dari turbin atau generator gak dirawat, performa berkurang. Kalau turbin berkarat menggangu kerja,” tambahnya.

Warga desa Margomulyo yang sudah berlangganan PLN nyatanya masih menggunakan tenaga surya untuk energi cadangan bila listrik PLN padam.
Wagiat, Ketua RT 02, Dusun II, Desa Margomulyo menjelaskan tenaga surya memang utamanya difungsikan untuk menyalakan lampu saja. Meski sudah menggunakan listrik PLN, Wagiat juga masih menggunakan energi surya sebagai energi alternatif. Ia mengaku sudah memasang listrik PLN sejak April 2021 lalu.
Sapardi (65 tahun) tetua warga desa Margomulyo baru satu bulan ini menikmati listrik PLN. Ia juga masih tetap mempertahankan panel surya di rumahnya.
Asisten Manajer Komunikasi dan Management Stakeholder PLN Unit Induk Distribusi Lampung, Darma Saputra, Selasa (19/10) menjelaskan masih ada 11 desa yang belum teraliri listrik di Lampung. Kendalanya, pertama letak geografis. Lalu, akses jalan yang sulit ditempuh, kedua akses perizinan.
“Karena harus melewati TNBBS. Bagaimana jaringan kita bisa sampai ke desa melintasi TNBBS, menanam tiang, membuat jaringan. Ada regulasi yang membuat ada batasan tidak boleh masuk, ini yang lagi diurus,” terang Darma.
Darma melanjutkan saat ini sedang membangun jaringan PLN di balik bukit, Desa Nipah, kecamatan Kota Agung, Tanggamus. Membawa material ke sana dikatakannya cukup sulit. Material diangkut menggunakan mobil Jeep, sementara ada ribuan batang tiang listrik, dan sekali jalan hanya bisa diangkut dua (tiang).
Meski begitu, Darma menerangkan PLN masih meneruskan misinya menerangkan seluruh nusantara. Tujuannya 100 persen desa berlistrik, 100 persen elektrifikasi.
Darma menilai terkait PLTS, sebenarnya energi surya memang paling murah dan paling efisien. Tapi keberlangsungannya tergantung dari energi matahari. “Di hutan kan kadang matahari suka tertutup kabut, berpangaruh pada pengisian baterai. Tapi PLN listriknya 24 jam tanpa adanya pemeliharaan dari warga, cukup PLN yang memelihara,” ungkap Darma.
Marlistya Citraningrum Program Manager Sustainable Energy Access Institute for Essential Services Reform (IESR) Jumat (22/10) menuturkan energi surya adalah energi terbarukan yang paling potensial digunakan di Indonesia karena tersedia di semua lokasi. Sementara wilayah Indonesia Timur umumnya menerima irradiasi terbaik.
Menurutnya, sepanjang tidak berada di bawah bayangan (pohon/gedung) yang di sekitarnya sebenarnya tidak masalah energi surya dalam solar sell bisa dimanfaatkan.
Lalu, penggunaan energi terbarukan setempat sebaiknya dijadikan “default” atau pilihan prioritas pemerintah untuk penyediaan akses energi, tentunya dengan memastikan energinya berkualitas dan dikelola berkelanjutan. Setiap daerah memiliki potensi energi terbarukan yang dapat dieksplor.
“Kami pernah merekomendasikan juga usulan pengalihan subsidi listrik untuk rumah tangga kurang mampu dengan PLTS atap tersambung jaringan,” tambahnya.
Citra menjelaskan PLN atau ESDM punya peta jalan listrik desa (lisdes) yang sebenarnya bisa menggambarkan kebutuhan sama kondisi kelistrikan sasaran.
“Masalahnya data itu susah dikumpulkan, jadi bisa aja desa yang udah berlistrik mandiri itu dianggap belum berlistrik sehingga strategi melistrikinya menggunakan pendekatan perluasan jaringan. Jika sangat terpencil/jauh dari jaringan, PLN mempertimbangkan grid terpisah dengan energi terbarukan atau PLTD,” ujarnya.
Ia harap Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) baru akan menyebut bahwa lisdes akan mengutamakan energi terbarukan.
“Menurut kami, pemanfaatan energi terbarukan setempat, plus penyimpanan jika diperlukan, sebaiknya menjadi strategi utama. Dalam jangka panjang ini bisa menurunkan BPP karena jika pake PLTD, biaya bahan bakar pastinya besar,” katanya.
Diketahui pemerintah telah menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 secara nasional. Darma menjelaskan roadmap PLN harus mencari energi dari sumber lain, yakni membangun EBT, atau mengembangkan EBT yang sudah ada.
“Misal panas bumi, energi murah tinggal dimanfaatkan negara melalui PLN.
Dunia sudah mengurangi emisi, memanfaatkan energi dari alam. PLN arahnya sudah ke EBT,” ujarnya.
Dulu PLN belum mampu masuk jaringan ke desa, maka ada bantuan solar cell dari pemerintah, ada juga energi hidro yang dikembangkan oleh masyarakat.
Potensi listrik di Lampung sendiri ada energi air yang sudah dimanfaatkan untuk energi listrik yaitu melalui bendungan batutegi.
Darma menyatakan, Menteri BUMN dan Presiden memberi sinyal bendungan baru Way Sekampung di Pringsewu harus bisa digunakan untuk energi listrik.
“Kita belum tahu seperti apa langkahnya. Baru sekedar omongan, awalnya proyek bendungan untuk mengairi sawah,” tambahnya.
Regulasi di Daerah
Ade Utami Ibnu Anggota Komisi IV DPRD Lampung pada Senin (25/10) menjelaskan pihak PLN Lampung mencatat elektrifikasi Lampung, telah mencapai 98,21 persen. Meski demikian, situasi ini lebih rendah dibandingkan cakupan nasional, dimana elektrifikasi Indonesia hingga triwulan III 2021 mencapai 99,39 persen. Sementara di 2022 mendatang ditargetkan elektrifikasi Indonesia mencapai 100 persen.
“Tentu saja patut kita dorong melalui berbagai instrument, termasuk secara sistemik dengan aturan perundang-undangan/peraturan daerah,” ujarnya.
Diantara yang dilakukan di legislatif tangkat provinsi, atau DPRD Lampung dalam hal ini, masih proses pembahasan rancangan peraturan daera (Raperda) Inisiatif DPRD tentang Energi Terbarukan. Meski demikian tentu masih banyak hal yang harus disempurnakan.
“Diantaranya, catatan-catatan yang mengemuka, termasuk kami usulkan pada saat pembahasan, bahwa penting bahwa Raperda tersebut mendorong hadirnya Avatar/ pengendali air, api, bumi dan angin, agar bermanfaat bagi kebutuhan energi nasional, terlebih di Sai Bumi Ruwa Jurai,” ujarnya.
Maksud Ade Utami yakni dengan hadirnya raperda tersebut, legislator di DPRD Lampung mendayagunakan berbagai potensi yang ada: air, udara, gelombang laut, panas bumi, dan surya termasuk problem sampah.
“Apakah memungkinkan dengan keberadaan sampah di Provinsi Lampung, bisa dijadikan sebagai sumber energi? Maksudnya adalah jangan sampai ingin menuntaskan problem sampah lantas diolah sedemikian rupa, kemudian menghasilkan energi setrum, namun malah jadi problem baru,” tambahnya.
Kemudian, dari catatannya raperda tersebut harus sejalan atau konkruen dengan Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT. PLN Tahun 2021 Sampai Dengan 2030.
Dalam RUPTL tersebut dijelaskan bahwa Lampung memiliki kekayaan alam guna mewujudkan 100 persen elektrifikasi, bahkan mampu menjadi lumbung energi nasional misalnya Geothermal atau panas bumi.
Lalu, Sekincau 1 dan Sekincau 2 diproyeksi memiliki kapasitas masing-masing 55 Megawatt dan 165 Megawatt. Termasuk yang telah masuk dalam List PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) dan termasuk dalam program konsolidasi Geothermal di PLTP Ulubelu 1-2, dengan kapasitas 2 x 55 Megawatt.
Ia melanjutkan, adapula potensi tenaga air di Besai 2 dan Semuong yang berpotensi masing-masing 24 Megawatt dan 30 Megawatt.
“Potensi mikro hidro memang tak boleh dilupakan karena telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi Pembangkit Listrik Mikro Hidro,” ujarnya.
Ia melanjutkan, tantangan energi listrik diantaranya adalah letak geografis. Kemudian energi listrik termasuk sebagai kategori investasi tinggi di awal serta butuh infrastuktur energi yang relatif besar.
“Namun ketika sudah berjalan, tentu manfaatnya jauh lebih besar. Baik dalam konteks sosial maupun pertumbuhan ekonomi, termasuk bagi penyedia energi tersebut. Dalam hal ini adalah PLN. Tentu kami berharap juga ada sumbangsih dari dan bagi daerah,” ujarnya.
Terkait regulasi, pihaknya masih melakukan proses pembahasan Raperda Provinsi Lampung tentang Energi Terbarukan.
“Mudah-mudahan dengan berbagai dinamika yang ada, termasuk harmonisasi dengan aturan perundangan yang lebih tinggi, mudah-mudahan ada langkah positif melalui dorongan kebijakan terkait energi baru terbarukan atau EBT di Provinsi Lampung,” ujarnya.
Tantangan Energi Baru Terbarukan
Chrisnawan Anditya selaku Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Rabu 6 Oktober 2021, pada agenda Busines Forum: Energi Surya Atap untuk Sektor Komersial dan Industri di Jawa Tengah, yang diselenggarakan IESR Indonesia mengatakan tantangan dan upaya yang dilakukan EBT dari Kementerian ESDM diantaranya pertama kemampuan industri solar PV dalam negeri baru pada tahap assembly atau perakitan. Lalu, modul surya atau solar cell masih diimpor dari luar negeri.
Ia melanjutkan, pengembangan industri solar PV dalam negeri ada pada skala ekonomi yang kecil sehingga tidak kompetitif. Harga panel surya dalam negeri masih 30 – 45% lebih mahal dibandingkan modul surya impor. Kemudian, salah satu komponen PLTS yang penting, yaitu inverter masih belum dapat diproduksi di dalam negeri.
Selanjutnya, teknologi penyimpanan energi (baterai) yang masih mahal, membuat PLTS saat ini belum dapat dijadikan pembangkit baseload seperti pembangkit fosil yang dapat beroperasi 24 jam, sementara PLTS dengan baterai dapat menjadi solusi untuk permasalahan intermittent.
“Kemampuan produksi dalam negeri yang masih terbatas untuk mendukung proyek PLTS skala utilitas/besar, misalnya size modul produksi,” ujarnya.
Sementara itu, langkah yang telah dan akan dilakukan KESDM diantaranya menciptakan pasar PLTS dengan meningkatkan kapasitas pengembangan PLTS dalam kebijakan dan perencanaan; meningkatkan kualitas modul surya produksi dalam negeri melalui SNI wajib sesuai Permen ESDM No. 2/2021; dan bersama Kemenperin melakukan fasilitasi terkait kebijakan TKDN antara pengembang dan industri PLTS dalam negeri.
Pihaknya mendata kapasitas PLTS Atap di Lampung sampai dengan Agustus 2021 yakni 1 MWp. Sementara secara nasional, kapasitas PLTS Atap di Indonesia mencapai 36,74 MWp dengan 4.133 pelanggan.
Saat ini warga Desa Margomulyo di Lampung masih memanfaatkan energi surya dan anergi hidro sebagai penerang desa di waktu petang. Desa Margomulyo merupakan contoh desa yang memanfaatkan energi baru terbarukan dari tenaga surya dan energi air melalui energi bersih. Suwolo dan warga Margomulyo berharap desa mereka bisa terang sepanjang malam.***