NEGERI ini sudah banyak menerbitkan peraturan dan institusi demokrasi. Tapi, tidak semuanya dijalankan dengan baik dan benar, berkeadilan, berkeadaban. Hari ini masih berlangsung praktik korupsi, oportunis, berita bohong, intoleransi, dan radikalisme. Maka itu, segudang peraturan yang dibuat tidak akan membawa perubahan untuk rakyat. Apa yang salah?
Mentalitas
Mentalitas masih jadi pertaruhan. Presiden Jokowi dalam artikel, Revolusi Mental (Kompas, 10/5/2014), ingin memperjuangkan negeri ini menjadi negara yang berkepribadian secara sosial budaya, berdaulat secara politik, kemandirian ekonomi. Revolusi mental yang dibangun di negeri merdeka 73 tahun ini, harus dimulai dari diri sendiri.
Keterbelakangan yang masih dirasakan–banyak disebabkan mental yang tidak ingin maju dan hidup malas. Lima tahun terakhir, sikap ingin maju itu dibangunkan serentak sejagat Indonesia. Mulai membangun birokrasi yang bersih, memperkuat desa karena pertanian didatangkan dari desa.
Paling penting, tidak menciptakan program mimpi indah di siang bolong. Bangsa ini akan rusak akibat banyak mimpi. Mimpi tidak akan membuat kenyataan. Boleh bermimpi tapi dibuktikan dengan kerja nyata! Seorang temanku bernostalgia bagaimana Soeharto memimpin negeri ini menjadi terdepan di mata rakyat. Jokowi pun membangun dari kebutuhan rakyat, meningkatkan daya saing menghadapi persaingan global.
Sangat dirasakan rakyat Aceh dan Papua. Harga bahan bakar minyak (BBM) dijual dengan satu harga. Kalau di Pulau Sumatera harga premium Rp7.000 per liter. Di Papua–di ujung timur juga dijual dengan harga yang sama. Selama ini, rakyat di Bumi Candrawasih belum terasa merdeka.
Contohnya, harga BBM terjadi ketimpangan dengan Jawa dan Sumatera.
Belum lagi pembangunan infrastruktur. Dahulu hanya di Jawa merasakan nikmatnya jalan tol. Hari ini, Sumatera sudah merasakannya. Anak-anak bangsa yang melintas jalan tol di Lampung dan Palembang terasa ia berada di Jawa. Belum lagi dana desa yang terus meningkat setiap tahun–untuk membangun pinggiran dan memperkuat ekonomi. Memangkas subsidi BBM untuk menambah biaya pendidikan dan kesehatan anak bangsa.
Belum lagi memerangi korupsi, membasmi narkoba, menjaga netralitas TNI/Polri. Itu dilakukan untuk membangun negeri ini agar lebih berdaulat lagi. Tapi keinginan luhur itu tidak semua ditanggapi positif dan lapangan dada oleh sebagian anak bangsa. Adalah, contohnya menyebarkan berita bohong dan kebencian secara masif untuk merusak tatanan yang saat ini lagi ditata dan dibangun Jokowi.
Pekan lalu beredar foto meme di media sosial yang merusak tatanan Polri sebagai penegak hukum yang netralitas. Polisi pasti menelusuri pembuat dan penyebar pertama posting-an hoaks. Meme berpose dua jenderal polisi–putra Lampung itu sedang salam L (Lampung). Foto diklaim mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2019.
Tidak Elok
Cara-cara seperti itu tidak elok. Mental belum mau berubah. Rakyat terlena dibuatnya. Foto meme yang beredar di aplikasi WhatsApp (WA), pekan lalu menampilkan Irjen Ike Edwin dan Brigjen Tomsi Tohir. Mabes Polri memastikan narasi dalam foto itu tidak benar, bohong. Alangkah naifnya, meme tersebut disebarkan oleh orang-orang paham, tetapi tidak mau tahu bahwa narasinya pembohongan publik. Rakyat dibuat jadi sesat.
Secara tegas Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Penmas) Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan foto itu menampilkan narasi yang tidak benar atau hoaks. “Tidak tersebar di media sosial, tapi dari WhatsApp Group disebar. Tim Cyber Polri langsung memberi stempel hoaks,” kata Dedi, Rabu lalu (21/11/2018).
Menurut Dedi, foto tersebut adalah foto lama sebelum pengambilan nomor urut calon presiden dan calon wakil presiden. Adapun pose dua jari yang dilakukan Ike dan Tomsi dalam foto itu merupakan inisial huruf ‘L’ yang merupakan kata ‘Lampung’ sebagai putra daerah. “Foto itu, foto saat Korps Raport Kenaikan Pangkat Brigjen Tomsi akhir tahun 2017,” tegas Dedi.
Polisi
Yang jelas, pihak kepolisian mencari pelaku penyebaran foto dan informasi meme hoaks tersebut. Sebelumnya, Mabes Polri menangkap pelaku dan penyebar di media sosial yang memelintir kegiatan peringatan Hari Santri Nasional di Sekolah Polisi Negara (SPN) di Mojokerto, Jawa Timur. Dalam media sosial, dipelintir kegiatan SPN mendukung calon presiden nomor 2.
Tidak cukup di situ. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Lampung menyerahkan informasi meme hoaks kepada polisi untuk mengusutnya. “Itu bisa dipidana karena melanggar Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” kata Komisioner Divisi Hukum Bawaslu Lampung, Tamri Suhaili.
Bawaslu harus bekerja keras menangkal hoaks karena rakyat dibuatnya jadi bodoh. Berkampanyelah secara santun, tidak menyebar hoaks, berhenti menebar kebencian. Anak bangsa cerdas adalah mengadukan kampanye hitam kepada aparat. Memang, disadari atau tidak, hidup dan berkembangnya berita bohong akan meningkat menjelang Pemilu 2019.
Bahkan, hoaks menjadi ladang bisnis baru di negeri ini. Online abal-abal menebar hoaks dan kebencian. Rakyat menjadi mabuk. Saat ini terjadi perubahan pola konsumsi berita berteknologi supercanggih. Orang tua hingga anak-anak demam dibuatnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, konsumsi melalui digital terus melesat.
Di sini ada orang yang mengambil keuntungan untuk kepentingan sesaat. Berkembangnya berita bohong karena mentalitas. Hidup tidak bisa terlepas dari situasi politik yang kotor. Sangat menjijikkan. Menghalalkan segala cara. Mata dan telinga tidak mau lagi mendengar kebenaran.
Jadi sangatlah wajar, di awal Jokowi menjabat presiden, berkumandang bahwa kalau Indonesia ingin maju dan beradab, perlu gerakan bernama revolusi mental. Dari budaya korupsi jadi hidup bersih. Hidup malas jadi rajin. Dari budaya bohong jadi anak bangsa yang amanah. Dengan tekad itu, pasti negeri ini makin kuat, makmur, dan sejahtera!