ATIKA OKTARIA
PARA petani di Desa Ataili, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur harus memikul hasil pertanian dengan berjalan kaki puluhan kilometer sambil meniti jalan setapak di bibir tebing curam untuk dapat mengakses pasar. Adapun komoditi para petani setempat seperti, kemiri, kelapa, kakao, ubi, sayur sayuran.
Apolonaris Ilin, warga desa Ataili, menjelaskan, ada dua ruas jalan setapak di daerah curam, sebagai nadi perekonomian warga desa setempat. Setiap hari warga yang rata-rata bermata pencaharian petani, pergi dan pulang kebun, jalan kaki lewat di ‘Idan’ dan ‘gripet ataili’.
“Kalau pergi mudah tetapi pulang pasti ada bahan jualan, seperti sayur, kemiri, kelapa, ubi, pisang, kakao, mente, dan hasil kayu. Jadinya sangat sulit. Kalau masih muda tidak masalah tetapi kalau semakin tua, kami sulit sekali bawa barang dan lewat jalan itu,” kata Apolonaris Ilin, Senin (18/10).
Tebing terjal itu harus di lalui melalui tangga kayu yang dipasang warga untuk dapat memanjati bibir tebing yang sangat curam.
Sebagaimana disaksikan Media Indonesia (Grup Lampung Post), Gripet Ataili merupakan jalan setapak yang di buat disepanjang tebing. Ruas jalan berbahaya ini letaknya di bagian Timur Desa Ataili. Bagi warga desa setempat, meniti jalan setapak Gripet, di atas tebing dengan ketinggian lebih dari 20 meter, sudah menjadi hal lumrah. Meski begitu, sudah banyak warga setempat kerap tergelincir di jalur itu.
Dibutuhkan ekstra kehati-hatian bagi orang yang baru meniti ruas jalan setapak ini, agar tidak tergelincir ke jurang yang menganga.
Jalan Utama
Yeremias Ali Atun, warga desa setempat, menjelaskan dulunya, Gripe Ataili menjadi ruas jalan utama yang menghubungkan Desa Ataili dengan ibu kota Kecamatan Atadei maupun kota Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Tidak ada pilihan lain selain berjalan kaki, melewati ruas jalan itu.
“Ini jalan utama sebelum akses jalan raya dibuka melalui jalur pantai pada tahun 2000 an. Tetapi saat ini Gripet Ataili ini menjadi urat nadi ekonomi karena jalan ini menghubungkan kampung dengan kebun warga yang rata-rata bermata pencaharian petani. Hanya jalur ini, tempat petani membawa pulang hasil kebun dan hutan untuk dijual ke pasar,” ujar Yeremias.
Dia mengatakan, masih ada ruas jalan ekstrem yang juga menjadi urat nadi perekonomian warga desa yakni Idan. “Idan ini juga jalan setapak yang menyusur tebing setinggi lebih dari 50 meter. Tebing terjal itu harus di lalui melalui tangga kayu yang dipasang warga untuk dapat memanjati bibir tebing yang sangat curam,” ujar Yeremias Ali.
Menurutnya, tidak ada pilihan lain bagi petani setempat untuk beraktivitas kemudian membawa hasil di kebun, tanpa melewati ruas jalan itu setiap hari. Yeremias pun berharap, adanya intervensi anggaran dari Pemerintah agar lokasi memanjat tebing di ‘Idan’ ini dapat dipasangi tangga permanen atau tebing tersebut di rubuhkan agar dapat di akses kendaraan. (MI/D2) atika@lampungpost.co.id