ALIANSI Satu Visi (ASV) menyesalkan sikap DPR RI yang kembali menunda pembahasan atas Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU–PKS) dengan alasan untuk mengurangi target legislasi dalam pelaksanaan Prolegnas RUU Prioritas tahun 2020.
Komang Sutrisna, Ketua Pengurus ASV) dalam keterangan tertulis Kamis (9/7/2020) menuturkan sejak diajukan sebagai RUU pada 2017 dan masuk prolegnas pada 2018, penundaan pembahasan RUU-PKS ini sudah dilakukan berulang kali. Hal ini membuktikan bahwa DPR RI tidak bersungguh-sungguh berkomitmen untuk membahas RUU–PKS serta tidak sensitif melihat fakta tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia sebagai situasi darurat kekerasan seksual yang perlu penanganan hukum secara khusus.
ASV memandang pentingnya menyegerakan pembahasan dan pengesahan RUU-PKS diantaranya jumlah perempuan dan remaja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia meningkat terus setiap tahunnya.
Berdasarkan data yang didokumentasikan oleh Komnas Perempuan selama 12 tahun (2007-2019), Catahu Komnas Perempuan merekam kenaikan kasus kekerasan seksual hingga 792 persen atau hampir 8 kali lipat. Dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas perempuan 2020, terdapat 4.898 laporan kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2019.
Selanjutnya, data terbaru tahun 2019 untuk kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan komunitas, tercatat 58% merupakan kekerasan seksual, yakni pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus). Sementara itu, persetubuhan sebanyak 176 kasus, dan sisanya percobaan pemerkosaan dan persetubuhan. Ini artinya dalam 4 jam setidaknya ada 1 perempuan mengalami kekerasan seksual.
Sedangkan berdasarkan data BPS pada 2018, tercatat jumlah kasus perkosaan mencapai 1.288 kasus, pencabulan tercatat 3.970 kasus dan kekerasan seksual tercatat 5.247 kasus.
Komang menuturkan selama pandemi Covid-19, kekerasan seksual meningkat, hal ini didasarkan pada data LBH APIK yang mencatat kenaikan sebesar 300% atau tiga kali lipat dari biasanya.
Ia menuturkan organisasi-organisasi anggota ASV yang bekerja melakukan pendampingan psikologis, hukum dan layanan HKSR bagai korban kekerasan seksual diantaranya kasus kekerasan seksual sangat sulit diproses secara hukum karena definisi kekerasan seksual dan unsur-unsur pidana dalam KUHP sangat terbatas sehingga tidak menjamin perlindungan bagi hak korban kekerasan seksual.
“Oleh karena itu, pelaporan kasus kekerasan seksual, banyak yang berhenti hanya sampai tingkat kepolisian,” ujarnya.
Selanjutnya dalam catatan Komnas Perempuan, dari 13.611 sekitar 22% dari jumlah total kasus yang diterima Lembaga layanan diproses sampai tingkat pengadilan. Konteks-konteks khusus dari latar belakang korban, seperti disabilitas, lokasi geografis, maupun ragam kekerasan yang tidak memiliki payung hukum menyebabkan halangan-halangan tersebut semakin nyata.
Data dari Cahaya Perempuan WCC dan Rifka Anissa mencatat tidak ada kasus kekerasan seksual yang dilanjutkan ke ranah hukum sepanjang 2020.
Defirentia One Muharomah selaku Direktur Eksekutif Rifka Annisa sekaligus Anggota ASV menjelaskan kekerasan seksual berdampak pada kesehatan mental korban, mulai diantaranya korban mengalami trauma yang mendalam karena dipersalahkan dan dianggap aib keluarga, korban mengisolasi diri, hingga banyak yang akhirnya menjadi depresi dan keinginan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
Data Rifka Annisa pada Januari-Mei 2020 terdapat 279 kasus kekerasan terhadap perempuan 53 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan didampingi. Cahaya Perempuan WCC Bengkulu mencatat 48 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, 11 diantaranya adalah kasus kekerasan seksual dengan 80% kasus terjadi pada usia anak.
Untuk itu, ASV mendesak agar DPR RI membatalkan pencabutan RUU P-KS dari prolegnas prioritas dan melakukan pembahasan RUU-PKS dengan mendengarkan masukan dari organisasi masyarakat sipil untuk menyegerakan pengesahan RUU-PKS; DPR RI untuk melakukan jajak pendapat dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, ahli hukum dan pendamping korban kekerasan seksual untuk memastikan terakomodirnya kebutuhan korban kekerasan seksual; serta pemerintah untuk mendukung pembahasan RUU-PKS dengan mendesak DPR RI untuk memprioritaskan pembahasan RUU-PKS.
ASV pun mengajak agar masyarakat sipil mengawal dan memastikan pembahasan RUU-PKS di Prolegnas sebagai wujud partisipasi aktif warga dalam pemerintahan. (RLS)