Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
Bagong Suyanto
MESKI diwarnai protes dari berbagai pihak, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap keukeuh pada keputusan mereka. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah memutuskan untuk menarik rem darurat, yakni kembali menerapkan kebijakan PSBB seperti awal pandemi covid-19 menyerang masyarakat Ibu Kota. Mulai 14 September mendatang, kebijakan PSBB kembali akan dilaksanakan dan berlaku di semua kawasan DKI Jakarta. Konsekuensi diberlakukannya kebijakan PSBB ini, seluruh usaha perkantoran ditiadakan, kecuali hanya untuk aktivitas yang termasuk esensial, seperti kegiatan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan energi, pangan, kesehatan, transportasi, logistik, dan jasa utilitas.
Masyarakat diimbau untuk tinggal dan mengerjakan berbagai hal di rumah. Gubernur DKI Jakarta sendiri telah meminta agar masyarakat tidak melakukan kegiatan publik di luar rumah, seperti pengumpulan massa, kerumunan, dan acara pertemuan lain. Mengingat potensi besar penyebaran covid-19 salah satunya berasal dari aktivitas kerumunan, Pemprov DKI Jakarta dengan tegas akan melarang semua bentuk kegiatan yang mendatangkan kerumunan.
Dilematis
Bagi Pemprov DKI Jakarta, keputusan untuk menerapkan kebijakan PSBB jilid 2 sesungguhnya ialah hal yang dilematis. Di satu sisi, pemerintah sadar bahwa membiarkan aktivitas publik kembali marak akan membuat ancaman penyebaran covid-19 menjadi makin meluas. Namun, di sisi yang lain, memberlakukan kembali kebijakan PSBB niscaya akan membuat geliat aktivitas perekonomian yang pelan-pelan bangkit menjadi kolaps kembali. Seperti dilaporkan, jumlah kasus positif covid-19 di DKI Jakarta telah mencapai 48.811 pasien atau sekitar 24% dari total kasus nasional yang telah mencapai 203.342 pasien.
Positivity rate di DKI Jakarta, atau perbandingan jumlah orang positif covid-19 dengan yang dites juga sudah mencapai 13,2%– yang berarti telah melebihi ambang batas aman yang ditetapkan WHO sebesar 10%.Warga masyarakat yang terindikasi terkena covid-19 yang dirawat di rumah sakit (RS) diprediksi juga akan terus meningkat dan membuat daya tampung RS penuh dalam waktu tidak lebih dari sepekan. Bisa dibayangkan jika laju kenaikan korban covid-19 terus bertambah, sementara daya tampung RS tetap, bisa diprediksi, tingkat kematian pasien covid-19 justru akan naik.Memberi kelonggaran masyarakat kembali beraktivitas secara normal asalkan memenuhi protokol kesehatan, selama ini dipilih dengan harapan upaya mencegah meluasnya covid-19 dan upaya memberdayakan kembali aktivitas ekonomi masyarakat berjalan berseiringan. Namun, ketika masih banyak warga masyarakat yang melanggar protokol kesehatan, tidak ada pilihan lain yang bisa diambil Pemprov DKI Jakarta.
Seberapa pun intens dan kuat aktivitas perekonomian pulih, jika penyebaran covid-19 tetap masif dan bahkan makin menggila, hasilnya niscaya akan sia-sia. Cara pandang seperti inilah yang membuat Gubernur DKI Jakarta akhirnya memilih opsi memberlakukan kembali kebijakan PSBB. Plus-minus dari dampak pemberlakuan kebijakan PSBB tentu sudah dikalkulasi dan keputusan ini tampaknya dipandang sebagai keputusan terbaik dari sekian banyak alternatif buruk lain yang tersedia. Benarkah demikian?
Kuncinya Keputusan Gubernur DKI Jakarta memberlakukan kembali kebijakan PSBB sesungguhnya bukan tanpa risiko. Seperti diingatkan Borio (2020), di sebuah negara yang menutup kembali aktivitas perekonomian karena covid-19, yang dihadapi bukan hanya ancaman banyak usaha akan kolaps yang melahirkan peningkatan korban PHK dan pengangguran. Namun, yang paling parah ialah dampaknya pada kemungkinan terjadinya resesi di Indonesia.Kondisi perekonomian DKI Jakarta sendiri pada kuartal II 2020 telah berkontraksi 8,22%.
Sementara itu, untuk perekonomian nasional, telah berkontraksi sebesar 5,32%. Dengan pemberlakuan kebijakan PSBB jilid 2, bisa dipastikan kontraksi perekonomian yang terjadi akan makin dalam: pertumbuhan ekonomi amat mungkin minus karena konsumsi rumah tangga yang terganggu. Berbeda dengan kebijakan PSBB jilid 1 ketika sebagian besar pelaku ekonomi masih memiliki tabungan dan modal yang cukup untuk menutupi kebutuhan selama masa pandemi covid-19, saat ini dengan pemberlakuan kebijakan PSBB jilid 2, daya tahan dan penyangga ekonomi yang dimiliki pelaku ekonomi sudah nyaris habis.Sisa-sisa modal dan tabungan yang dimiliki niscaya tidak akan mencukupi kebutuhan hidup dan kelangsungan usaha yang mereka tekuni. Pada titik ini, proses pendalam an kemiskinan dan kebangkrutan kembali dunia usaha niscaya hanya tinggal menghitung hari.
Untuk mencegah agar efek kebijakan PSBB jilid 2 tidak mempercepat terjadinya resesi dan proses pendalaman kemiskinan, kini yang bisa dilakukan hanyalah kebijakan tarik-ulur. Keputusan DKI Jakarta memberlakukan kebijakan PSBB jilid 2 seyogianya tidak harus ditetapkan kaku selama dua minggu. Evaluasi dampak kebijakan ini perlu dilakukan dalam hitungan hari sehingga dalam tempo yang tidak terlalu lama, kebijakan ini bisa dicabut dan diberlakukan kebijakan yang lebih lunak.
Kunci untuk mencegah agar masyarakat tidak makin terpuruk sekarang ini ialah pada peran dan keterlibatan proaktif masyarakat (DKI Jakarta) itu sendiri dalam penerapan protokol kesehatan (Nicola et al., 2020). Jika rentang waktu menunggu vaksin anticovid-19 diproduksi sekitar Januari 2021, ada waktu tiga bulan yang perlu dipastikan mencegah agar penyebaran covid-19 tidak makin meluas.
Melakukan sosialisasi dan menggugah kesadaran masyarakat yang dikombinasikan dengan pengawasan yang ketat ialah dua hal yang harus dikembangkan secara paralel, mencegah ruang gerak virus covid-19 agar tidak makin menggila. Dalam kondisi seperti sekarang ini, tidak semua yang dilakukan harus langkah yang benar-benar ideal.
Peran peneliti dan perguruan tinggi yang terus berikhtiar menghasilkan obat dan vaksin anti covid-19 ialah bagian dari upaya untuk mencegah bangsa ini tidak digerus resesi. (MI)