Mental Kekerasan Siswa kian Parah

DETA CITRAWAN deta@lampungpost.co.id MENTAL kekerasan rupanya kian merasuki anak usia remaja di Indonesia. Setiap tahunnya, sejumlah kejadian mengagetkan lantaran tidak masuk akal selalu saja ditemukan. Kejadian paling anyar, seorang siswa SMP Baiturrahman di Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung, Jawa Barat pingsan usai dirundung kawan-kawan sekelasnya saat jeda jam pelajaran. Dalam video berdurasi 21 detik yang tersebar di media sosial, korban yang tengah duduk di kursi dipaksa mengenakan helm, kemudian salah seorang pelaku menendang kepala korban hingga siswa tersebut jatuh ke lantai. Peristiwa lainnya, sekelompok siswa berseragam Pramuka turun dari sepeda motor dan melakukan kekerasan terhadap seorang nenek yang diduga orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) di Tapanuli Selatan. Bahkan, seorang siswa dalam video viral itu menendang tubuh nenek tersebut hingga ambruk ke tanah. Dua peristiwa yang terjadi dalam sebulan terakhir itu kian menggenapi maraknya aksi kekerasan dan perundungan yang melibatkan pelajar baik sebagai pelaku maupun korban. Di tahun-tahun sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama periode 2016-2020 ada 655 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan. Rinciannya, 506 anak melakukan kekerasan fisik dan 149 anak melakukan kekerasan psikis. Jumlah anak yang berhadapan dengan hukum ini konsisten berada di atas 100 orang per tahun selama 2016-2019. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti menilai dunia pendidikan telah gagal dalam membentuk karakter siswa-siswa tersebut. "Berarti pendidikan yang diterima anak-anak tersebut gagal membentuk karakter Pancasila yang mengajarkan nilai welas asih pada sesama dan peduli pada orang-orang yang menderita atau yang diperlakukan tidak adil," kata Retno, Senin (21/11). Retno menegaskan kekerasan dalam bentuk apa pun tidak dibenarkan. Dia menilai siswa-siswa tersebut tidak memiliki empati. "Tidak ada empati dan simpati pada nenek yang sudah renta dan dalam kondisi mengalami gangguan jiwa. Apalagi mirisnya, alasan melakukan kekerasan hanya sekadar iseng," tutur dia. Retno menyebut anak-anak yang tega melakukan kekerasan, umumnya ialah korban kekerasan dalam lingkungannya. Dia menduga kuat pengasuhan dalam keluarga pelaku ialah pengasuhan negatif yang menerapkan disiplin dengan kekerasan, sehingga terjadi peniruan. Peran Guru dan Orang Tua Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Kota Bandar Lampung, Ahmad Apriliandi Passa mengatakan, bullying bisa timbul karena ada rasa superioritas terhadap orang lain. "Bullying masih kerap terjadi di lingkungan anak dan remaja. Salah satu penyebabnya adalah ketidaktahuan dan pemahaman yang rendah," ujar Passa. Menurutnya, peran orang tua dan guru sangat vital dalam mencegah aksi perundungan yang kian marak terjadi dan memakan korban anak-anak jenjang pendidikan dasar hingga menengah atas. "Baik perundungan di dalam lingkungan sekolah, maupun di luar sekolah," kata dia. Ada tiga tahapan yang penting dilakukan dalam upaya mencegah tindakan perundungan. Pertama, kata Passa, anak-anak harus diedukasi tentang pengertian, bahaya, serta langkah pencegahan kasus bullying. "Kedua, guru atau pengajar di sekolah penting untuk mengajarkan tentang bahaya dan pencegahan bullying agar jangan terjadi di sekolah. Sedangkan ketiga, orang tua dapat diberikan pemahaman tentang bullying agar bisa mencegah terjadinya perundungan yang dilakukan anak-anak," katanya. Koordinator Advokasi Kebijakan dan Kampanye Publik LAdA DAMAR Lampung, Eka Tiara Chandrananda menyebut tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku perundungan merupakan korban yang ingin melampiaskan dendam. "Bisa jadi karena pelakunya dulu pernah menjadi korban bullying, sehingga ia cenderung melakukan pengulangan bagi orang lain. Atau adanya perilaku mencontoh atau role model dari tindakan yang pernah dilihat sebelumnya," ujar Eka. Faktor lainnya, perundungan bisa terjadi karena aktivitas siswa kurang maksimal. Sehingga, lanjut dia, energi yang dimiliki tidak tersalurkan melalui kegiatan positif di sekolah. Eka juga mengatakan kehidupan di era digital termasuk faktor menguatnya tindakan perundungan. Sebab, semua orang lintas usia dapat dengan mudah mengakses konten, termasuk video, foto, atau berita tentang kekerasan. "Masalahnya tidak semua orang mampu menyerap atau memfilter apa yang dilihat dengan baik. Bisa jadi justru konten itu menginspirasinya untuk melakukan tindakan negatif," kata dia. (MEDCOM.ID/DET/CK7/E1)

Mental Kekerasan Siswa kian Parah

Peran orang tua dan guru sangat vital dalam mencegah aksi perundungan yang kian marak terjadi.

Bermodal Sertifikasi Halal

Satukan Persepsi Mantapkan Dapil Pemilu

Sobih Adnan

Satukan Persepsi Mantapkan Dapil Pemilu

Cianjur Berduka

Ginjal Akut Berpeluang Seret Tersangka Perorangan

Gubernur Raih Penghargaan atas Hak Penyandang Disabilitas

Tersangka Dana KONI Diprediksi Lebih dari Satu Orang

BERITA TERBARU

TOP NEWS

Benang Merah Konflik Manusia dengan Satwa

23 Ribu Peserta Gagal Masuk SMA/SMK Negeri

Tembus Rp12,42 Miliar Ekonomi Syariah kian Kokoh

Jalur SPMB SMP Prioritaskan Jarak

Perencanaan Keuangan Kunci Kemapanan Finansial

Perkuat Akses Keuangan Inklusif

Kebingungan Peserta Warnai Hari Pertama SPMB

Buka Ekspor Sawit di Pasar Eropa

Perketat Pengawasan Truk ODOL

Kreatif Hadapi Efisiensi Anggaran

POPULAR POST

BPK RI Periksa Keuangan Polres Lampung Timur

Pelantikan Pimpinan DPRD Lampura Berlangsung Sederhana

Koran Digital Lampung Post, Edisi Jum’at, 25 Juli 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Kamis, 24 Juli 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Sabtu, 26 Juli 2025

Tentang Kami

Alamat Kami

Iklan & Sirkulasi

Selamat Datang kembali!

Ambil kata sandi Anda