k DETA CITRAWAN
deta@lampungpost.co.id
PENAMBAHAN stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) di Lampung harus melalui izin rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Area Manager Communication, Relation, and CSR Pertamina Regional Sumbagsel Tjahyo Nikho Indrawan, menyampaikan hal itu saat menanggapi usul penambahan SPBN di pesisir Kota Bandar Lampung.
“Untuk pembangunan SPBN mitra harus mendapat rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan kemudian akan ada proses oleh Pertamina,” ujar dia, Jumat (3/3).
Menurut dia, saat ini baru terdapat satu tempat SPBN di pesisir Kota Bandar Lampung yang oleh nelayan setempat untuk mendapatkan bahan bakar kapal berupa solar. “Di wilayah Pesisir Bandar Lampung terdapat satu SPBN, yakni SPBN 28.222.01 dengan alokasi biosolar 300 kl/bulan,” kata dia.
Pembangunan SPBN tersebut merupakan mitra dari Pertamina untuk menyediakan bahan bakar kepada seluruh nelayan setempat.
Permudah Akses
Sebelumnya, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Lampung Bayu Witara mendorong agar pemerintah segera memperluas SPBN di pesisir pantai yang ada di Sang Bumi Ruwa Jurai. Menurut dia, perluasan SPBN perlu segera mendapat realisasi melihat kebutuhan BBM jenis solar bagi nelayan sangat krusial.
“Permudah akses nelayan ke BBM solar. Jangan sampai mereka tidak bisa melaut hanya karena sulit mendapatkan solar dan beli dengan harga tinggi,” kata dia.
Instansi terkait harus mempermudah dan memperbanyak SPBN di lokasi yang banyak nelayannya. “Terutama tempat banyak nelayan, seperti di Pesisir Barat, Pesisir Bandar Lampung, dan Lampung Timur. Ini perlu jadi perhatian pemerintah,” ujar Bayu.
Dia menambahkan harga solar tinggi di pasaran akibat adanya oknum-oknum tertentu yang mempermainkan harga, terlebih bagi nelayan di pesisir pantai. “Harga solar di pesisir pantai atau sampai ke nelayan memang cukup tinggi. Hal itu karena banyaknya rantai yang perlu terlewati. Tidak heran lagi kalau harga solar tinggi sampai ke Nelayan,” ujarnya.
Tidak Cukup
Dia mengatakan lima SPBN di Lampung tidak cukup untuk memasok sekitar 17 ribu lebih nelayan yang hampir setiap hari beroperasi. “Pemerintah jangan hanya memberikan angin segar. Mereka ini didata kembali dibuatkan suatu wadah, agar lebih mudah dalam mendapatkan solar,” kata dia.
Bayu meminta persyaratan untuk membuat suatu wadah nelayan agar mendapatkan solar tidak dipersulit. Sebab, sumber daya manusia nelayan rata-rata menengah ke bawah.
“Kalau terlalu banyak persyaratan, nanti realisasinya lambat. Sekarang ini agar diberi rekomendasi dari dinas perikanan dan kelautan supaya nelayan jangan dipersulit ketika melaut,” ujar dia.
Adapun Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel berkomitmen memastikan ketersediaan BBM bagi para nelayan dalam kategori aman. Untuk diketahui, nelayan di pesisir pantai Bandar Lampung mengeluhkan BBM bersubsidi jenis solar mulai sulit didapat hingga tidak bisa melaut.
Mujadin, salah satu nelayan, mengatakan ia tidak bisa melaut bukan hanya karena cuaca ekstrem, seperti hujan deras dan angin kencang, melainkan juga karena sulitnya solar didapat. “Kalau solar saja susah, gimana mau melaut. Apalagi kalau kapal besar sekali ke laut minimal siap dua ratus liter,” ujarnya. (CK2/D2)