Dian Wahyu Kusuma
SUYONO dan Suwolo memandang erat jalan setapak di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS], Lampung. Kotoran gajah tampak masih tersisa di pinggir jalan, tempat kami berpijak. Jalan itu merupakan perlintasan satwa kunci.
Suyono dan Suwolo merupakan warga desa Margomulyo, Kabupaten Tanggamus. Desa ini berbatasan langsung dengan TNBBS. Desa penyangga, atau desa yang berbatasan dengan TNBBS memang memiliki peran yang penting bagi satwa kunci; harimau, gajah dan badak Sumatra.
Agus Setiawan, Dosen Konservasi Jurusan Kehutanan Unila menerangkan, peran desa penyangga di sekeliling kawasan TNBBS punya peran penting. Ia merinci fungsi pertama berupa fisik, penyangga fisik ini menyebabkan satwa tidak bisa lewat. Yang ekstrem misalnya pagar, bisa juga hutan lindung yang luas. Fungsi kedua, sebagai penyangga biologi atau ekologis. Ketiga penyangga sosial, maksudnya masyarakat berperan mengendalikan baik di luar dan di dalam kawasan. Masyarakat sebagai penjaga, tidak masuk ke kawasan— buffer zone.
“Biasanya warga di sana kenal satu sama lain. Jadi kalau ada orang asing masuk mereka bisa amankan, misal ada harimau mereka tanggap. Mereka bisa mengusir gajah atau harimau supaya tidak keluar kawasan.”
Lalu, masyarakat perlu mendapat insentif dari pemerintah. Masyarakat di sana perlu diperluas lapangan kerja. “Dilatih supaya kebutuhan ekonomi cukup sehingga tidak ambil sesuatu di kawasan hutan,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan Plt Kepala TNBBS Lampung, Ismono TNBBS dikelilingi 238 desa dengan 68 desa berbatasan langsung. TNBBS dikelola oleh 17 Resort dengan 111 personel.
Kawasan yang diawasi bervariasi mulai dari 7.000-33.000 ha per resort. Lalu, ada masyarakat mitra polisi hutan [polhut] dari 5 anggota masyarakat untuk membantu polhut yang dianggarkan dari APBN.
Total luas TNBBS sejumlah 313.572,48 ha. TNBBS telah terdaftar pada prasasti warisan dunia (UNESCO) pada 2004 lalu, yang menegaskan nilai universal yang luar biasa dari suatu budaya atau properti alam yang membutuhkan perlindungan untuk kepentingan seluruh umat manusia.
Mencari Jejak Badak
Jumlah badak sumatera diperkirakan jumlahnya tidak lebih dari 100 ekor saat ini. Agus Setiawan, Dosen Konservasi Jurusan Kehutanan menceritakan pengalamannya pada tahun 90-an, memasuki TNBBS ke wilayah Tampang berjalan kaki menuju Pemekahan. Dua pekan di taman nasional, Agus mendapati jejak badak sumatera bercula dua (Dicerorhinus sumatrensis).
“Saya camp, di antaranya ketemu hanya jejak dan kotorannya. Memang dia (badak) sensitif sekali. Dia tahu, keberadaan kita. Saya ke Belimbing kembali lagi ke Tampang,” ujar Agus.
Agus mengatakan saat ini jumlah populasi Badak di TNBBS sudah menghawatirkan. Menurutnya, pemburuan badak dilakukan dengan alasan untuk diambil culanya karena dipercaya punya khasiat. Karena biasanya, bila ditemukan bangkai badak tidak ada culanya.
Hal ini dibenarkan oleh Plt Kepala TNBBS, Ismanto bahwa sebagai species kunci, secara kasat mata badak sumatera nyaris tidak terlihat.
“Badak ini sensitif, penciumannya tajam, badak sudah jarang terlihat,” terangnya.
Menurut Ismanto, ini bisa jadi karena ada konversi lahan menjadi kebun kopi. Lalu adanya pengaruh 3 ruas jalan nasional yang melewati kawasan TNBBS yaitu Krui – Liwa sepanjang 15 km, Pugung Tampak – Menula 14 km, dan Sanggi – Bengkunat 11, 5 km.
Hal senada juga dikatakan oleh Suyono, anggota satgas Desa Margomulyo bahwa badak sudah jarang terlihat di wilayah TBBS yang berbatasan dengan Desa Margomulyo.
“Saya koordinasi dengan YABI, jarang sekali. Kalau dari smart patrol sudah terlampau jauh. Ini badak sifatnya liar. Kalau gajah berkelompok,” ujarnya.
Penangkaran Badak
Plt Kepala TNBBS Lampung, Ismanto mengatakan Pihak TNBBS berencana membuat penangkaran badak. “Badaknya masih kami cari,” ujarnya.
“Dalam penangkaran ini, Badak dibuat nyaman, enak kawin dan perbanyakan,” ujarnya.
“Disini masih sifatnya Pembahasan. Tertuang dalam rencana aksi darurat, yang punya badak tidak semua negara, badak sumatera ada di Sumatera dan Kalimantan.”
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI), Widodo S. Ramono menuturkan YABI berkomitmen untuk mendukung dan membantu pemerintah [TNBBS] dalam upaya pelestarian badak sumatera melalui salah satu program YABI yaitu perlindungan badak dan habitatnya di kawasan taman nasional dengan mengoperasikan Rhino Protection Unit (RPU).
Ia menjelaskan dalam pembangunan penangkaran badak banyak yang perlu diperhatikan. Paling tidak ada tiga hal besar yang perlu diperhatikan diantaranya: Untuk sarana penangkaran konservasi: kesesuaian habitat (air, tanah, lindungan), ketersediaan pakan alami mengingat tujuan penangkaran untuk nantinya dilepaskan kembali ke alam liar, dan keamanan. Lalu, untuk badak yang ditangkarkan diperlukan jumlah badak yang cukup dengan keanekaragaman genetik yang tinggi.
“Perlu diketahui perilaku kawin badak sumatera sangat unik antara lain siklus berahi, badak betinanya yang lama tidak kawin, [akan] mengalami masalah reproduksi,” tambah Widodo.
Untuk pengelolaan penangkaran konservasi diperlukan sistem yang terbina baik dokter hewan maupun keeper/pemelihara badak yang sungguh-sungguh berpengalaman untuk mengasuh badak. Kemudian, diperlukan terbentuknya jaringan pengelolaan satwa yang terancam punah. “Selain tiga hal tersebut tentunya memerlukan biaya yang besar dan kontinyu”.
Sementara itu, YABI diketahui mendampingi 5 desa penyangga kawasan TNBBS diantaranya Desa Bumi Hantatai, Tebaliokh, Ulok Mukti, Pemerihan dan Penengahan. Dari 5 desa, 4 desa tersebut sudah berkomitmen untuk melaksanakan kesepakatan konservasi desa di tingkat desa.
Kesepakatan ini merupakan peran aktif langsung dari masyarakat berjenjang ke atas untuk melestarikan kawasan budidaya, pemukiman dan kawasan TNBBS dengan mengakomodir kebutuhan masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan di masa depan.
Widodo mengatakan masih banyak yang harus dikerjakan mengingat masih banyaknya talang/umbulan yang ada jauh didalam kawasan Taman Nasional dengan potensi pemanfaat sumber daya alam hayati berlebih.
Ia kemudian menuturkan, hingga saat ini masih ditemukan tanda keberadaan badak sumatera di TNBBS, hanya cacah jiwanya belum diketahui.
Kondisi Intensif Protection Zone
TNBBS memiliki intensif protection zone [IPZ] sebagai bagian pengelolaan TNBBS. IPZ ini berada di bagian tengah kawasan dengan total 100.137 ha. “Disitulah berdasarkan data series dan dari mitra, banyak kehidupan liar. Data series banyak di bagian tengah. Di bagian utara juga ada data series. Lalu di selatan dibantu ada Tomy Winarta,” tambah Plt Kepala TNBBS Ismanto.
Menyoal intensive protection zone untuk memantau keberadaan badak di TNBBS, Direktur Eksekutif YABI Widodo menuturkan saat ini survey dan monitoring sedang dilakukan secara intensif untuk mengetahui keberadaan badak sumatera dengan tujuan untuk menyelamatkan badak sumatera yang tersisa di kawasan TNBBS.
“Ini merupakan salah satu Rencana Aksi Darurat (RAD) badak sumatera,” ujarnya.
Dilain pihak, menanggapi IPZ di kawasan TNBBS, dosen Konservasi Universitas Lampung Agus Setiawan mengkiritik zona inti atau zona di tengah itu. Menurutnya sekarang tidak ada zona yang tidak dimasuki manusia. Misal badak ada zona inti atau zona tengah, tetapi daya dukung di dalam hutan menurun atau terlampaui maka hewan bisa keluar dari hutan.
Daya dukung yang dimaksud Agus yakni, misal dalam satu kawasan hutan bisa untuk 5 ekor badak untuk makanan dan kubangan, sehingga areal itu mendukung 5 ekor badak.
“Nah sekarang habitat rusak. Dia [badak] makan harus cari di luar”
Lalu, ia mencontohkan populasi bertambah menjadi 10 ekor badak, tapi kawasan hanya bisa menampung 3 ekor, kondisi inipun menjadikan badak bisa keluar hutan. Badak soliter, berkeluarga, biasanya hanya 3 ekor, berbeda dengan gajah yang hidup berkelompok, biasanya 40 kelompok besar.
TNBBS Berstatus Bahaya
Pada 2011, TNBBS ditetapkan statusnya berbahya. Diketahui, permasalahan atau ancaman dalam pengelolaan TNBBS diantaranya adalah perubahan tutupan hutan.
Menurut Ismanto tren perubahan tutupan hutan pada berbagai kelas ketinggian di kawasan TNBBS dalam periode 17 tahun (2000-2017), terjadi deforestasi seluas 42.251 ha, dengan rata-rata laju deforestasi cenderung konstan di dua periode tahun 2011–2015 dan tahun 2015–2017 sebesar 0,47%.
Lalu, hutan dataran rendah lebih banyak mengalami pengurangan luasan dibandingkan dengan kelas ketinggian perbukitan dan pegunungan bawah. Sementara hutan pegunungan atas di TNBBS tidak mengalami pengurangan.
Pengurangan luas hutan dataran rendah juga disebabkan ekspansi invasif species mantangan (merremia peltata). Invasif mantangan rata-rata penambahan luasnya sebesar 338 ha/tahun.
Menurut Ismanto mengelola kawasan TN ini harus dengan prinsip 3P yakni perlindungan— sistem penyangga kehidupan; Pengawetan— keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar; dan pemanfaatan secara lestari— sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Upaya yang telah dilakukan TNBBS diantaranya pertama memperbaiki tutupan hutan dengan rehabilitasi dan pemulihan ekosistem (rehabilitasi dan restorasi) seluas 26.991 ha.
Pihaknya telah membuat kesepakatan pengelolaan kopi berkelanjutan dengan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat, OKU Selatan, Olam Internasional, Mayora Internasional, Nesstle, HRNS International, GDE Global Asia, Berindo Exportir, dan Indocafco.
Kedua, membuat plot eradikasi mantangan tahun 2013 bersama Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Ketiga, jejak 2015 beberapa daerah mengalami reforestasi yakni di daerah Resort Sukaraja (688 ha) dan Way Nipah (310 ha) sebagai dampak dari Smart Patrol yang intensif dan restorasi.
Lalu, pada konflik manusia-satwa liar pihaknya membuat pelatihan mitigasi dan adaptasi penanggulangan konflik manusia dan satwa liar. TNBBS juga mengadakan pelatihan persiapan survei fecal DNA gajah sumatera di TNBBS, membuat menara pantau gajah (swadaya masyarakat), serta pembangunan jalan dalam kawasan.