DENI ZULNIYADI
PERJANJIAN internasional yang melarang senjata pemusnah massal (nuklir) akan mulai berlaku dengan beberapa ratifikasi terakhir yang diharapkan dapat diselesaikan dalam beberapa minggu. Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir—yang melarang penggunaan, pengembangan, produksi, pengujian, penempatan, penimbunan, dan ancaman penggunaan senjata semacam itu—diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Juli 2017 dengan persetujuan 122 negara.
Sejak itu, 84 negara telah menandatangani perjanjian, yang akan berlaku 90 hari setelah 50 dari penandatanganan itu meratifikasi dokumen tersebut.
Peringatan 75 tahun serangan bom nuklir di Nagasaki dan Hiroshima, yang diperingati pada Agustus, telah menyaksikan gelombang negara meratifikasi dalam beberapa bulan terakhir. Mereka termasuk Nigeria, Malaysia, Irlandia, Malta, dan yang terbaru Tuvalu pada 12 Oktober, sehingga jumlahnya menjadi 47.
Perjanjian itu akan melengkapi larangan senjata pemusnah massal.
Negara ke-48 diperkirakan meratifikasi dalam beberapa hari mendatang. Kemudian, negara lainnya diperkirakan melakukan hal yang sama dalam beberapa minggu. “Ini adalah masalah yang sangat besar bahwa perjanjian akan mulai berlaku,” kata Direktur Eksekutif Kampanye Internasional untuk Menghapuskan Senjata Nuklir (ICAN), Beatrice Fihn.
“Bisa jadi dalam beberapa hari. Ini sangat dekat, kami pikir,” ujarnya.
ICAN, sebuah koalisi organisasi nonpemerintah, memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 2017 atas peran utamanya dalam mewujudkan perjanjian itu. “Bahwa negara-negara ini telah melakukannya, meskipun terjadi pandemi dan tekanan yang sangat besar dari negara-negara bersenjata nuklir, sungguh sangat mengesankan,” kata Fihn, kepada wartawan di Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa.
“Ini akan menjadi tonggak sejarah. Perjanjian ini akan melengkapi larangan senjata pemusnah massal. Itu akan berdiri di samping larangan senjata biologis dan senjata kimia,” kata dia.
Thailand, Meksiko, Afrika Selatan, Bangladesh, Selandia Baru, Vietnam, dan Vatikan adalah beberapa negara yang telah meratifikasi perjanjian itu.
Belum Tanda Tangan
Adapun negara-negara pemilik senjata nuklir, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Tiongkok, dan Rusia, belum menandatangani perjanjian itu. Fihn mengatakan lonjakan ratifikasi di peringatan 75 tahun serangan Hiroshima dan Nagasaki lantaran banyak negara ingin melihat perjanjian itu diterapkan dalam masa hidup para penyintas yang tersisa. “Mereka harus melihat hari ketika senjata nuklir dilarang,” ujar dia.
Namun, para juru kampanye berharap pemberlakuan akan memiliki dampak yang sama seperti perjanjian internasional sebelumnya, tentang ranjau darat dan amunisi tandan. Hal itu membawa stigma pada penyimpanan dan penggunaannya. Dengan demikian, akan mengubah perilaku bahkan di negara-negara yang tidak mendaftar.
Negara-negara bersenjata nuklir berpendapat persenjataan mereka berfungsi sebagai pencegah dan tetap berkomitmen pada Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, yang berupaya mencegah penyebaran senjata nuklir. (MI/D1) deni@lampungpost.co.id