Mahar Politik dan Hukum yang Tertinggal

Rudy Pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung DEMOKRASI Indonesia diwarnai dengan penyakit korupsi. Beberapa pengamat menyatakan keserakahan adalah sebabnya, sedangkan pengamat lainnya menyatakan bahwa ongkos politik untuk bermain dalam demokrasi sangatlah tinggi. Salah satu ongkos politik tersebut adalah mahar politik, khususnya untuk membeli “kendaraan politik” dalam bermain dalam pemilu atau pilkada. Mahar politik dengan demikian menjadi sangat relevan bagi Provinsi Lampung dengan adanya pilkada serentak tahun depan. Di Lampung, delapan daerah akan menggelar pemilihan kepala daerah serentak pada 2020. Kedelapan daerah itu adalah Bandar Lampung, Pesawaran, Lampung Selatan, Metro, Lampung Tengah, Lampung Timur, Pesisir Barat, dan Way Kanan. Walaupun belum memasuki tahun 2020, gaung pilkada sudah ditabuh pada tahun ini. Karena diperlukan kendaraan politik untuk kontestasi tersebut, mahar politik sudah harus disiapkan untuk itu. Meskipun di satu sisi isu mahar politik sulit dibuktikan dan sejak era pilkada secara langsung, baik KPU maupun Badan Pengawas Pemilu belum pernah menjatuhkan sanksi terkait mahar tersebut. Penelitian KPK tahun 2016 menemukan bahwa calon wali kota atau bupati rata-rata mengeluarkan uang Rp20 miliar—Rp30 miliar dan ongkos politik yang dikeluarkan calon gubernur lebih besar, sekitar Rp100 miliar. Penelitian KPK tahun 2016 ini diperkuat dengan hasil survei KPK tahun 2018 yang menegaskan hasil yang sama. Di Lampung sendiri pada pergelaran pilkada serentak tahun 2015 diduga mahar politik harus disiapkan dengan nominal rata-rata 250 juta per kursi sehingga bisa dihitung betapa mahalnya biaya mahar politik dalam pencalonan pilkada. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan mahar politik bukanlah suatu isu, tetapi kenyataan yang sulit dibuktikan. Pertanyaannya adalah bagaimana hukum memandang mahar politik itu sendiri. Hukum yang Tertinggal KPK memberikan perhatian yang sangat khusus untuk mahar politik. Hal ini terbukti dari kegiatan penelitian KPK dalam beberapa tahun terakhir yang khusus menyoroti mahar politik dalam pergelaran pilkada serentak. Namun, UU Tipikor maupun KUHP tidak bisa menjerat mahar politik. Hal ini dikarenakan UU Tipikor mensyaratkan unsur pegawai negeri dalam jabatannya dan unsur kerugian negara untuk dapat dikategorikan dalam tindak pidana korupsi atau khususnya gratifikasi. Hal ini tidak dapat dikenakan pada pimpinan parpol yang bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Sementara itu, KUHP hanya mengatur tindak pidana pemilu dalam aspek kecil pelaksanaan pemungutan suara. Bahkan, mahar politik yang sumber keuangannya dari hasil korupsi tidak bisa menjerat pimpinan parpol dalam pusaran tindak pidana korupsi karena terkendala unsur tersebut. Jerat pidana korupsi bisa dikenakan dalam konteks kegiatan korupsi sehingga menghasilkan uang mahar tersebut dan bukan tindakan memberikan atau menerima mahar politik itu sendiri. Hal ini sangatlah dipahami jika melihat bahwa hukum positif memang selalu tertinggal oleh fenomena kemasyarakatan atau kenegaraan yang bergerak lebih cepat dari pembentukan undang-undang. Keadaan ketertinggalan hukum ini sudah banyak dibahas tuntas oleh ahli-ahli hukum terdahulu seperti Hart dan Dworkin. Mahar politik beririsan langsung dengan aspek penyelenggaraan negara. Uang yang digunakan untuk mahar politik bisa bersumber dari keuangan negara yang didapat melalui tindak pidana korupsi. UU Tipikor yang dibentuk pada tahun 1999 misalnya terakhir kali diubah pada tahun 2001, hampir 20 tahun yang lalu. Kejahatan dan model kejahatan korupsi pada 20 tahun yang lalu tentu sangat berbeda dengan keadaan saat ini. Terlebih jika kita membicarakan KUHP yang memang merupakan bentukan kolonial Belanda yang belum banyak mengenal demokrasi. Sinar terang untuk menjerat mahar politik terlihat pada pengaturan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang mengatur bahwa setiap “ Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Selain Undang-Undang TPPU, pengaturan mengenai mahar politik dapat kita temui dalam Undang-Undang Pilkada. Undang-Undang pilkada baru mengatur ketentuan mengenai mahar politik ini pada tahun 2016 dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pengaturan dalam UU TPPU dan UU Pilkada ini tentunya merupakan respons hukum terhadap model kejahatan demokrasi yang semakin beragam. Kita melihat bahwa hukum selalu tertinggal. Untuk mengejar kebutuhan masyarakat dan negara, idealnya hukum harus bisa diubah dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dekat dengan Korupsi Dengan mendasarkan pada sifat dasar hukum positif yang selalu tertinggal tersebut, maka beberapa hal harus dipersiapkan guna pengaturan ius constituendum atau hukum di masa depan. Berkelindannya demokrasi dan kejahatan korupsi juga harus disikapi oleh hukum agar hukum bisa menjangkaunya. Terlebih, mahar politik beririsan langsung dengan aspek penyelenggaraan negara. Uang yang digunakan untuk mahar politik bisa bersumber dari keuangan negara yang didapat melalui tindak pidana korupsi. Bahkan, kemenangan calon kepala daerah yang melakukan mahar politik akan berimbas pada penyelenggaraan pemerintahan daerah yang rawan korupsi. Dapat dibayangkan bahwa para donatur akan menagih komitmen pemberian mahar politik ketika calon kepala daerah berhasil dalam kontestasi pilkada. Oleh karena itu, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi harus diubah secara terbatas. Dengan perkembangan sampai hampir 20 tahun, sudah selayaknya Undang-Undang Tipikor tentunya harus dirubah untuk bisa menjangkau perkembangan kejahatan politik yang berkelindan dengan korupsi. Pilihan ini adalah sangat ideal karena KPK sudah terbukti berhasil dalam menjerat pelaku korupsi di Indonesia baik yang teri maupun yang kakap. Kita tidak bisa hanya berharap pada UU Pilkada dalam penindakan mahar politik karena best practice Bawaslu dalam kasus mahar politik belum terbukti. Kasus mahar politik dalam Pilkada 2018 bahkan berakhir antiklimaks. Padahal, kasus-kasus itu sempat menyita perhatian masyarakat luas karena melibatkan banyak orang penting di Indonesia.

Mahar Politik dan Hukum yang Tertinggal

Edisi Minggu, 15 September 2019

Troya

Chairil Anwar

Troya

Badak Lampung FC VS PSM Makassar

Harga Bumbu Dapur Berangsur Turun

Mekarmulya Siapkan Dana Penanggulangan Bencana

Pembangunan Lantai Irigasi Terkesan Asal Jadi

BERITA TERBARU

TOP NEWS

Perketat Pengawasan Truk ODOL

Kreatif Hadapi Efisiensi Anggaran

Pendaftar Jalur SNBP Itera dan Unila Terus Bertambah

Perhotelan Turun hingga 50 Persen Akibat Efisiensi Anggaran

Panitia Universitas Tak Bisa Tangani Kasus Gagal PDSS

Efisiensi Anggaran ke Daerah Berlaku untuk DAK dan DAU

Eva Dwiana Resmikan JPO Milenial

Optimalkan Ekonomi Biru dan Hijau untuk Tingkatkan Kebijakan Fiskal

Penanganan Korupsi Berlanjut

Awasi Kebijakan Harga Singkong di Lapangan

POPULAR POST

Koran Digital Lampung Post, Edisi Jum’at, 30 Mei 2025

Pelantikan Pimpinan DPRD Lampura Berlangsung Sederhana

BPK RI Periksa Keuangan Polres Lampung Timur

Koran Digital Lampung Post, Edisi Senin, 09 Juni 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Selasa, 10 Juni 2025

Tentang Kami

Alamat Kami

Iklan & Sirkulasi

Selamat Datang kembali!

Ambil kata sandi Anda