PERDHANA WIBISONO
PEMERINTAH Desa Sidowaluyo mendukung Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tusuk sate yang ada di desa tersebut.
Kepala Desa Sidowaluyo Haroni menjelaskan bentuk dukungan dari pihaknya dengan memberikan bantuan empat mesin serut. “Kami berikan empat mesin bantuan untuk menunjang kinerja UMKM,” kata dia, Rabu (9/3).
Empat mesin tersebut dikelola UMKM tusuk sate yang memberdayakan warga sekitar, untuk keuntungan dibagi sesuai dengan hasil yang didapat.
“Sistemnya borongan, di bayar perkilo dari hasil serutan tusuk sate,” ujar dia.
Warga yang mengerjakan tusuk sate menggunakan mesin proses serut, dibayar pemilik UMKM sebesar Rp1.200/kg, dengan pembagian Rp200 untuk Pendapatan Asli Desa (PADes) Sidowaluyo.
“Ini kerjaan nyambi, bisa dikerjakan di waktu luang, sehari bisa mengerjakan 30-40 kg,” katanya.
Tusuk sate itu sendiri dijual dalam kemasan berat sekitar 4 ons di banderol Rp8 ribu, sedangkan untuk kodian tumpul Rp13 ribu, tajam Rp15 ribu dengan rincian satu kodi 20 ikat dan satu ikat 50 batang.
“Dijual dengan harga grosir, karena langsung ke pengelola makanan sate, sosis dan nuget,” ujarnya.
Dua Tahun
Sementara itu salah seorang warga Dusun Jogja, Desa Sidowaluyo, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan Agus Supriyanto (30) mengaku memanfaatkan pekarangan belakang rumahnya untuk menghasilkan keuntungan dari usaha pembuatan tusuk sate yang ditekuninya sejak dua tahun silam.
Pemilik usaha tusuk sate itu mengatakan UMKM berbahan baku bambu tersebut kebanjiran pesanan dari penjual sate dan makanan olahan yang saat ini sedang banyak digandrungi masyarakat.
“Kami berikan empat mesin bantuan untuk menunjang kinerja UMKM,”
Proses pembuatan tusuk sate sepanjang 22 cm dilakukan semi manual, karena tidak semuanya mengandalkan mesin, seperti proses awal potong dan membelah bambu masih mengandalkan tangan.
Menurut dia dalam sepekan, pihaknya bisa menghasilkan empat kuintal tusuk sate yang sudah ditunggu pembeli yang banyak berasal dari Bandar Lampung. “Dalam sepekan menghasilkan empat kuintal tusuk sate,” kata dia.
Adapun bahan baku tusuk sate, yakni semua jenis bambu yang di dapat dari masyarakat sekitar seharga kisaran Rp10-12 ribu/batang. “Bambu jenis apa saja yang penting sudah tua,” ujar dia.
Setelah bambu dipotong dan dibelah, diproses menggunakan mesin irat, disortir dan dijemur selama dua hari, lalu diproses lagi menggunakan mesin serut.
“Ada beberapa mesin yang digunakan untuk menjalankan tusuk sate,” katanya.
Setelah proses serut, lantas masukan ke mesin potong lidi, lalu ke mesin poles dan peruncing, terakhir sortir dan packing. “Melalui proses yang panjang, hingga menjadi tusuk sate,” ujarnya.
Ada dua jenis tusuk terbuat dari bambu yang di produksi yakni tajam untuk tusuk sate dan tumpul untuk tusuk nuget dan sosis. “Tusuk sate yang tajam lebih mahal, ketimbang tumpul,” kata dia.
Awal usaha pembuatan tusuk sate, sempat alami kendala modal, karena harus membeli beberapa mesin agar hasil produksi lebih bagus dan cepat. “Terkendala pengadaan mesin, tapi bisa diatasi dengan kerjasama pihak pemerintahan desa,” ujar dia. (D2)
perdhana@lampungpost.co.id