SETIAJI BINTANG PAMUNGKAS
PEMBANGKIT Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang dibangun Suratman (70), mampu menerangi warga Dusun Batu Saeng, Desa Sinar Jawa, Kecamatan Air Naningan, Tanggamus.
Ia mengatakan awal mula dibangun pembangkit yang mengandalkan arus air tersebut karena selama bertahun-tahun masyarakat di dusun setempat tidak pernah merasakan listrik secara utuh. “Kalau mau nonton televisi hitam putih harus pakai aki,” kata dia kepada Lampung Post, baru baru ini.
Ia pun berupaya membangun PLTMH berbekal pengetahuan seadanya. Pada prosesnya, Suratman dibantu beberapa warga yang memiliki visi dan misi yang sama untuk bangkit dari kegelapan. Berkat gotong-royong, pada 2007, PLTMH pun selesai digarap. Komponennya dibeli dari Kabupaten Pringsewu yang jaraknya sekitar 1,5 jam lebih dari dusun.
Menurutnya, proses pembuatan turbin hingga bisa digunakan hanya memakan waktu 20 hari. Sementara biaya yang dihabiskan sebesar Rp40-45 juta. “Itu pakai dana patungan dari para anggota,” ujar dia.
Pada awalnya, Suratman mengajak warga dan hanya terkumpul 25 orang untuk membangun dan menjadi anggota pengelola PLTMH. Setiap anggota menyumbang Rp2 juta selama 2 kali angsuran untuk membangun PLTMH.
Sebelumnya, posisi PLTMH berada di bawah, namun karena diterjang air bah pada 2011, bendungan dan turbin rusak parah. Akhirnya unit dipindahkan ke atas yang lebih aman dan bertahan hingga saat ini.
Dia mengenang sebelum adanya PLTMH, warga begitu menderita. Setiap malam hanya mengandalkan lampu tempel. Bahkan ketika menggelar hajatan. Setelah pembangkit dioperasikan, warga mulai menikmati penerangan untuk 4 sampai 5 lampu di setiap rumah.
Bersamaan dengan itu, minyak tanah sebagai bahan bakar lampu tempel mulai langka dan mahal. Beruntung inisiasi PLTMH dapat terwujud dan memberi manfaat bagi masyarakat setempat. “PLTMH bisa menerangi 25 KK dengan bentangan kabel untuk menyambung ke rumah-rumah panjangnya 4 km,” katanya.
PLTMH yang diberi nama Turbin Tirta Cahaya Emas itu telah menjadi lentera untuk warga yang tinggal di pelosok Tanggamus. Warga cukup merogoh kocek Rp10 ribu setiap bulan sebagai biaya pemeliharaan pembangkit. “Uang itu untuk beli gemuk (pelumas) dan sebagai dana kas kalau sewaktu-waktu ada kerusakan,” ujarnya.
Arus Sungai
Ia menjelaskan, turbin PLTMH bergerak mengandalkan arus sungai Ulu Air Lehek yang mengalir ke Sungai Induk Sang Arus. “Dari sungai Air Lehek kita bendung dan membuat lajur air baru untuk mengarahkan air ke turbin,” katanya.
Namun, pintu air pada aliran pengalih masih menggunakan papan kayu yang dilapisi terpal. “Jika hujan pintu air yang terbuat dari kayu ditutup agar debit air tidak besar. Kalau debit besar mengakibatkan energi berlebih dan bisa merusak alat elektronik, lampu bisa putus,” ujarnya.
Sementara, piranti PLTMH hanya dinaungi gubuk dari kerangka kayu dan asbes. “Idealnya pakai coran semen pilarnya, jadi bangunannya kuat dan tahan lama,” kata dia.
Kendala yang dihadapi yakni saat hujan, jalur air ke turbin tersumbat sampah berupa potongan kayu yang hanyut dari hulu. Jika lajur ke turbin tertutup maka debit air akan menurun sehingga turbin tidak bergerak maksimal. Saat kemarau, arus sungai melemah. “Kalau hujan kami bergotong-royong membersihkan sampah yang menutupi jalan air ke turbin,” kata dia.
“PLTMH bisa menerangi 25 KK dengan bentangan kabel untuk menyambung ke rumah-rumah panjangnya 4 km”
Selain itu, ia membutuhkan pintu air hidrolik, karena saat ini masih menggunakan papan kayu dan terpal untuk menutup jalur air ke turbin. Jika sedang melakukan pemeliharaan turbin, air harus dikeringkan dengan ditutup. “Tapi kalau manual berat sekali itu, kita harus nyebur dulu untuk pasang papan kayu penutup,” ujarnya.
Perubahan yang dirasakan setelah adanya PLTMH setiap rumah memiliki televisi dan menggunakan mesin penanak nasi. “Kalau sekarang alhamdulilah bisa melihat informasi di televisi, yang malas cari kayu bakar bisa pakai rice cooker untuk masak nasi,” katanya sambil tertawa.
Suratman sadar bahwa energi yang mereka nikmati berasal dari alam. Untuk itu, ia bersama anggotanya memastikan daerah aliran sungai (DAS) di hulu tetap terjaga kelestariannya. Ratusan pohon berbatang keras mereka tanami seperti durian, coklat, dan kopi sebagai ikhtiar menjaga resapan air menuju aliran sungai terus berlanjut. “Setidaknya bisa bantu menjaga alam,” katanya. (D2)
aji@lampungpost.co.id







