REMAJA laki-laki berseragam biru langit memusatkan perhatiannya pada kain tenun merah marun di hadapannya. Tangan kanannya naik-turun menusukkan jarum ke tenunan sepanjang satu meter itu. Sorot matanya melekat pada pola yang sedang dibentuk. Jemari kirinya meliuk-liukkan benang emas hingga menghasilkan motif mahkota bunga. Di bagian pinggiran, motif pucuk rebung memanjang bak bingkai yang mengelilingi bunga. Segulung benang emas di hadapannya menjadi senjata utama mempercantik wastra Lampung bernama tapis.
Dialah Ahmad Fahrur Roziq, siswa kelas VIII A SMPN 2 Merbaumataram, Lampung Selatan. Kehadirannya amat kontras di antara para siswi. Ahmad satu-satunya laki-laki yang turut dalam demo sulam tapis di pelataran Gedung Dewan Kesenian Lampung, Way Halim, Bandar Lampung, pada pengujung September 2022. Kehadiran mereka menyemarakkan perhelatan Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Tahun 2022 yang menyuguhkan ragam budaya dari seantero Lampung.
Kebolehan Ahmad dan teman-temannya menjadi tontonan menarik bagi pengunjung. Kemahiran menyulam tapis sudah menjadi keajaiban di tengah era serbadigital seperti sekarang ini. “Biasanya yang membuat tapis itu ibu-ibu, tapi di sini ada anak muda yang bisa menyulam sampai tapisnya siap pakai. Keren!” kata Wiji, pengunjung asal Kedaton, Bandar Lampung.
Kepada Lampung Post, Ahmad menuturkan kesukaannya pada sulam tapis. Sejak mengenal sulam tapis setahun lalu, hari-hari si sulung dari tiga bersaudara itu hingga kini diisi kegiatan menyulam tiada henti. Produk tapis yang dihasilkannya mulai dari sarung hingga peci. Untuk menyelesaikan satu sarung tapis, anak buruh tani itu membutuhkan waktu selama dua bulan. “Bikin satu sarung lumayan lama karena motifnya harus disulam secara manual dengan jarum,” kata dia.
Keuletannya menyulam tapis bukan tanpa alasan. Berasal dari keluarga prasejahtera, hal itu melecut semangatnya untuk menekuni keterampilannya menyulam. Ia pun mengaku beruntung karena terpilih mengikuti Program Pembinaan Life Skill Tapis dari Yayasan Pendidikan Astra Michael D Ruslim (YPA-MDR) di sekolah.
“Waktu awal belajar, jari saya sering tertusuk jarum. Tapi sekarang sudah tidak lagi,” Ahmad berkisah. Dalam menyulam, lanjut dia, pantang berputus asa. Setiap hari terus mempraktikkan bersama teman-temannya di bawah pengawasan guru pembimbing.
Ahmad mengungkapkan keinginan untuk menjadi pengrajin tapis sukses setelah menamatkan sekolah. Keterampilan menyulam tapis diharapkan bisa menjadi cara untuk mbantu orang tua mengais rupiah. “Saya kepingin punya galeri tapis biar bisa menyekolahkan adik-adik sampai sarjana dan membuat orang tua naik haji. Semoga bisa terwujud, amin,” ujarnya.
Guru pembimbing tapis di SMPN 2 Merbau Mataram, Ros, mengapresiasi ketekunan para siswa menyulam tapis. Meski belum lama diajarkan, siswa cepat memahami filosofi serta teknik sulam tapis. “Program pembinaan life skill tapis ini dimulai 2019. Di masa awal, fasilitator dari Sanggar Sangisu datang langsung memberikan pelatihan,” kata dia.
Pembinaan tersebut berjalan bukan tanpa tantangan. Belum lama bergulir, pelatihan itu harus berhadapan dengan pandemi Covid-19. Pembatasan interaksi fisik memaksa fasilitator menggelar pelatihan secara daring. “Kami juga dibekali video tutorial supaya bisa ditonton berulang-ulang,” ujar Ros.
Ia mengeklaim para siswa sudah menguasai teknik sulam dengan ragam motif seperti flora-fauna, pucuk rebung, dan tajuk berayun. Para siswa juga mendapat kebebasan berkreasi menentukan motif sulamnya.
Selain belajar sulam tapis, siswa juga dicerahkan dengan makna filosofis di kain tapis yang erat dengan hidup masyarakat Lampung. Menurut dia, pembinaan sulam tapis merupakan kecakapan hidup yang berdampak positif bagi pelestarian budaya Lampung. “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Pembinaan ini bukan cuma mempersiapkan siswa menjadi mandiri finansial nantinya, tetapi juga meregenerasi penyulam tapis baru untuk keberlangsungan tapis dari masa ke masa,” kata Ros. Program pembinaan YPA-MDR tersebut menjadi modal berharga bagi kemandirian para siswa kelak.
Sebagai langkah awal menuju kemandirian tersebut, siswa membuat produk fesyen tapis untuk dipasarkan. Selain itu, siswa juga membuat badge tapis untuk disematkan di seragam. “Siswa bangga mengenakan badge hasil buatannya sendiri,” kata dia. Total sekitar 600 produk sudah dihasilkan siswa SMPN 2 Merbaumataram sejak program pembinaan itu digulirkan.
Para guru ditantang bukan hanya mampu membimbing siswa menyulam, tetapi juga menjadi garda depan promosi serta pemasaran produk. “Guru harus melek teknologi. Setiap ada produk baru yang dihasilkan, guru harus mem-posting di medsos sebagai ajang promosi dan pemasaran. Dengan begitu sekolah binaan juga bisa mandiri dan tidak terus-terusan bergantung pada bantuan YPA-MDR,” ujar Ros.
Program pembinaan tersebut menginspirasi Ros untuk menggalakkan kembali sulam tapis di sekolahnya. Ia menginisiasi sulam tapis masuk muatan lokal. “Saya proyeksikan sulam tapis ini jadi proyek, khususnya untuk siswa kelas VII dalam Kurikulum Merdeka,” ujar Ros.
Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung
PIC Seni Budaya YPA-MDR Rahayu mengatakan program pembinaan tersebut merupakan bagian dari upaya pelestarian budaya tiap daerah. “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Karena itu, kami membina sekolah di sejumlah daerah di Lampung Selatan untuk merawat budaya lokal, dalam hal ini tapis,” ujarnya.
Rahayu memerinci sekolah binaan di Merbaumataram sebanyak lima sekolah dan di Tanjungsari enam sekolah. “Tiap sekolah menyertakan sekitar 20 siswa dan minimal dua guru pendamping dalam pembinaan kecakapan hidup ini,” ujarnya.
Selain siswa, pembinaan juga menyasar para guru pendamping. Pelatihan guru diberikan secara berkelanjutan. “Untuk guru ada jenjang pelatihannya. Bagi yang sudah mumpuni di satu teknik dan motif, akan mengikuti pelatihan lanjutan dengan materi yang lebih rumit,” kata Rahayu.
Program tersebut merupakan bagian dari pencanangan Sekolah Peduli Budaya Lampung. Selain sulam tapis, pihaknya juga memberikan pembinaan seni musik cetik dan rebana, serta tari tradisional seperti sigeh pengunten, halibambang, muli sigeh, dan bedana.
Bukan sekadar membina, Astra juga membantu pemasaran produk tapis siswa. “Kami punya Galeri Anak Nusantara di Jakarta. Semua produk life skill, termasuk tapis, dijual di galeri itu. Dan dalam berbagai event serta pameran, tapis karya hand made siswa Lampung ditampilkan,” ujarnya.
Wakil Gubernur Lampung Chusnunia mengapresiasi semangat siswa menyulam tapis. “Ini menjadi nilai plus siswa, di usia belia sudah mahir membuat tapis. Semoga siswa-siswa ini nantinya bisa membawa tapis semakin dikenal luas semua kalangan,” kata dia.
Founder Tapis Sai Wawai Febriansyah Putra Djaya Indra mengatakan saat ini tapis Lampung makin tergerus zaman. Lampung krisis penyulam tapis muda. Tidak banyak milenial yang tertarik mempelajari tapis. “Perajin di sini hampir semua perempuan setengah baya. Paling Cuma satu atau dua orang remaja yang mau jadi penyulam tapis,” kata dia.
Padahal, ujar Febri, peluang usaha tapis amat potensial. Tapis kini kerap dikenakan dalam ajang kecantikan seperti Miss Universe dan Miss World oleh kontestan Indonesia. Ditambah lagi, lanjut dia, Harga jual yang relatif mahal karena dibuat hand made menjadi keunggulan bisnis tersebut. “Saya sangat mendukung lahirnya para penyulam tapis remaja. Memang sudah seharusnya begitu, anak-anak di Lampung dikenalkan pada tapis sejak dini hingga muncul rasa suka dan bangga pada kain khas daerahnya,” ujarnya.
Febri mengapresiasi YPA-MDR yang turut mencetak penyulam tapis milenial. “Tanggungjawab melestarikan budaya bukan cuma di pundak pemerintah. Itu tugas semua pihak. Pembinaan YPA-MDR ini jadi angin segar untuk industri tapis Lampung,” kata dia. (DELIMA NATALIA NAPITUPULU)