Dian Wahyu Kusuma
LIMA anak disabilitas asyik memukul alat musik tradisional cetik gamolan Lampung. Esa (16 tahun), Dito (19), Syafiq (10), Fahri (10), dan Rizky (19) tertawa bersama. Mereka terlihat senang ketika berkumpul. Ada yang memakai face shield dan masker. Mereka menyanyikan lagu sambil bermain cetik dan gendang.
Salah seorang anak bernama Dito sedang asyik memukul gendang. Badannya boleh saja berisi, tapi tangannya begitu lemas saat memukul gendang. “Karena jarang dilatih motorik kasarnya, jadi kurang begitu bertenaga kalau mukul gendang,” terang Ketua Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (Potads) Lampung, Armala Dewi saat mengawasi anak-anak latihan musik di gedung kesenian, PKOR Way Halim, Bandar Lampung, Selasa (18/8/2020).
Kegiatan fisioterapi pada anak down syndrome seperti Dito dan kawan-kawannya mesti dilakukan untuk memaksimalkan fungsi gerak tubuh yang belum bisa dilakukan anak secara mandiri. Misalnya, untuk melenturkan tangan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) ini, Armala mencontohkan bisa dengan meremas ampas kelapa yang diberi pewarna. Bahan ampas kelapa ini mudah didapat yang bisa menjadi pengganti plastisin.
Anak berkebutuhan khusus ini sulit untuk mandiri. Melalui fisioterapi, Anak berkebutuhan khusus akan diarahkan menjadi anak yang mandiri untuk perispan kehidupan di masa depan mereka. Rizky penyintas down syndrome misalnya, setelah mengikuti fisioterapi ia sudah bisa mandiri mencuci pakaian.

Bahkan, ada anak down syndrome yang sudah bisa menjahit. Di sekolah luar biasa Growing Hope, bahkan, anak sudah bisa menggambar pola daun pisang pada batik kain.
Terapis di Sekolah Growing Hope, menuturkan anak dengan gangguan autis membutuhkan terapis yang tak boleh berhenti. Jika berhenti, maka proses terapis akan berulang dari awal.
Belajar Lewat Daring
Pandemi Covid-19, tak ayal berdampak besar bagi kegiatan pembelajar ABK. Komunitas Potads misalnya, sebelumya mereka rutin melakukan pertemuan sepekan sekali. Namun setelah pandemi, komunikasi antar orang tua penyintas down syndrome dilakukan melalui daring dengan melibatkan orangtua di rumah.
Ariyanti wali murid Rizky, menuturkan guru kelas di SLB PKK Sukarame Bandar Lampung berkunjung ke rumahnya tiap dua kali dalam sepekan. Pembelajaran dilakukan mulai 11 Agusutus 2020 lalu. Rizky merupakan siswa kelas 3 SMA di sekolah itu.
Sejak Maret 2020, proses belajar dan mengerjakan tugas dilakukan secara daring. “Rencananya (belajar) mau bertatap muka, tapi masih polling,” tambah Ariyanti.
Pembelajaran lewat daring rupanya juga berlaku di sekolah luar biasa Growing Hope Bandar Lampung. Selama pendemi, pihak sekolah memutuskan melakukan proses belajar secara daring. Namun, jika ada murid yang ingin pergi ke sekolah, pihaknya membolehkan namun dengan standar protokol kesehatan. Jam sekolah pun dibatasi, biasanya 6 jam, sekarang hanya boleh dua jam di sekolah. Satu anak hanya bisa seminggu sekali ke sekolah. Lalu, kelas yang dipakai juga berjauhan sehingga tidak ada interaksi yang intens antar siswa di kelas lain.
Pagi itu, Senin (24/8/2020), Eni Sulistiawati, salah seorang guru di sekolah luar biasa terlihat sedang melakukan video call aplikasi WhatsApp dengan empat muridnya, Afif, Beatrik, Joefelix, dan Rama.
Eni membuat garis di lembar kertas putih. Empat anak yang didampingi orangtuanya di rumah menirukan garis milik Eni, membentuk pola daun pisang dengan pensil. Ada sembilan daun pisang yang ia gambar. Beberapa diantaranya diberi warna. “Kami selalu menggambar daun pisang,” kata Eni, usai melaksanakan kelas seni budaya di Growing Hope, Yayasan Harapan Masa Depan Lampung.
Menggambar menurut Eni merupakan bagian pembelajaran sekaligus fisioterapi untuk melatih motorik halus. Sementara pemilihan gambar daun pisang bukan tanpa alasan, Saniyati Kepala Sekolah Growing Hope menjelaskan Sekolah yang ia pimpin ini memang sedang mengembangkan batik kain bermotif daun pisang sebagai salah satu bentuk pelatihan kemandirian anak. Ke depan anak-anak diharapkan memiliki skill membatik setelah mereka lulus.
“Ini nggak mudah bagi disabilitas, harus latihan terus dikertas, sebelum anak terjun ke dunia batik, ” terang Saniayati.
Mood

Eni melangsungkan pembelajaran itu selama 40 menit. “Ayo senyum manis, satu dua tiga,” tutur Eni sambil menyapa anak, sembari foto bersama melalui ponselnya.
Di aula lantai dua Growing Hope ia memusatkan perhatian kepada empat anak didiknya. Afif, Beatrik, Joefelix, dan Rama yang merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK) jenis tunagrahita atau intelectual disability (ID). Anak tuna grahita cenderung memiliki tingkayt kecerdasan IQ dibawah rata-rata 80.
Waktu menunjukkan pukul 10.00. Kelas telah berakhir, tapi masih ada satu siswa yang belum ikut bergabung, karena orangtuanya masih bekerja. Sore hari bila orangtua sudah dirumah, maka Eni akan melanjutkan pembelajaran yang sama yakni menggambar daun pisang.
“Jadi satu hari bisa dua kali sesi kalau orangtua ada yang belum bisa mendampingi anak dirumah, karena anak belajar membutuhkan orangtua,” ujarnya.
Mengajar anak berkebutuhan khusus atau disabilitas menjadi tantangan bagi Eni. Sejak pandemi corona virus desease (Covid-19), rutinitas belajar daring makin intens. Ia sadar bahwa pelajaran via daring menjadi PR baginya, karena tidak ada interaksi tatap muka langsung.
Ia bersama siswa-siswanya antusias melakukan pembelajaran, meski ia juga khawatir ada pesan yang belum tersampaikan lewat pembelajaran daring yang mestinya murid dapatkan. “Banyak materi yg tidak tersampaikan. Lebih enak tatap muka,” curhat Eni.
Antisipasi di Kala Pendemi
Data dinas pendidikan Lampung menunjukkan siswa SLB Lampung terus meningkat tiap tahunnya. Pada 2018 ada 1.666 siswa, 2019 ada 1.805 siswa, dan 2020 ada 2.130 siswa. Pelajar ini tersebar di 11 SLB negeri dan 17 swasta dengan total 28 sekolah. Pengawas PLB Dinas Pendidikan Propinsi Lampung ini menuturkan belum ada psikolog di SLB, baru terapis.
Yulianto Kabid Yankes Dinkes Propinsi Lampung menjelaskan selama Covid-19 memang ada surat edaran dari dinas untuk tidak melakukan layanan terapis tatap muka untuk mengindari kontak langsung tetap dengan melakukan protokol kesehatan yang ketat, memakai masker, menajga jarak dan rajin mencuci tangan. “Tapi sekarang sudah mulai (boleh) lagi,” terangnya.
“Difabel harus dibantu, pendampingnya harus cuci tangan, menggunakan hand sanitizer atau tisu basah, bila sulit menggunakan sabun,” ucapnya.
Yulianto mengatakan layanan fisoterapi sempat berhenti tiga bulan. Namun saat ini sudah diperbolehkan dilakukan dengan syarat layanan yang bersentuhan fisik dikurangi karena sangat berpotensi penularan Covid-19. “Jangan terlena hingga menimbulkan kluster baru, termasuk gurunya, konsekuensinya sekolah nanti bisa ditutup,” ungkapnya.
Untuk membuka terapis bagi ABK, Yulianto melanjutkan sekolah perlu mendapat izin dari gugus tugas penanggulangan Covid-19 Lampung. Tentunya dengan syarat kerjasama layanan kesehatan puskesmas terdekat serta memenuhi standar protokol kesehatan.
Di Growing Hope misalnya, sebelum masuk ke sekolah, murid wajib mandi lagi di sekolah. Anak juga harus sarapan sejak dari rumah. Pihak sekolah juga memastikan anak tidak mengalami gejala sakit demam, membawa bekal makanan, mencuci tangan, memakai masker dan mengganti baju setelah mandi di sekolah. “Minimal anak membawa dua stel pakaian,” terang Kepala Sekolah Growing Hope, Saniyati.
“APD disipakan dari rumah, kalau ada batuk kita pulangkan,” lanjutnya.
Bukan hanya murid, para guru juga wajib mandi di sekolah. Masker menjadi aksesoris yang wajib dipakai. Jika ada guru yang lupa membawa masker, pihak sekolah menyediakan masker. Masker yang tersedia di sekolah itu sengaja dijual.
“Supaya tidak lupa bawa masker tujuannya,” sambung Perempuan berusia 40 tahun ini.
Membuat siswa nyaman memakai masker memang bukan perkara mudah. Awalnya, siswa memang sulit memakai masker, namun pendampingan orangtua di rumah juga menjadi penentu. Sehingga saat ini siswa sudah terbiasa memakai masker di sekolah.
Kepala sekolah ini menuturkan selama pandemi, guru telah memberikan pembelajaran tentang hidup sehat. “Saling kerjasama menjaga kesehatan menjadi prioritas belajar.”
Abdul Halim, Pengawas PLB Dinas Pendidikan Propinsi Lampung menuturkan sekolah luar biasa tidak melakukan tatap muka selama Covid-19. “Kami terapkan sekolah jarak jauh,” ujarnya.
Akan tetapi, memasuki new normal, jika sekolah siap melakukan tatap muka maka pihak sekolah bisa mengajukannya ke gugus tugas Covid-19 dengan syarat khusus seperti ada kerjasama dengan puskesmas terdekat.
Saat ini ada pula SLB yang gurunya mendatangi rumah siswa. “Di daerah yang siswanya kategori ekonomi menengah ke bawah, mereka memang kunjungan ke rumah. Kadang orangtua ambil tugas seminggu sekali ke sekolah,” ujar Abdul.
Inovasi di Kala Pendemi
Saniyati bercerita banyak orangtua stres dengan anak belajar di rumah. Hal ini menjadi tantangan pula bagi sekolah. Ia dan tim sekolah akhirnya berinisiatif memberi kegiatan belajar yang mudah dilakukan ABK dan orang tua di rumah.
“Kami menewarkan materi pembelajaran yg bisa dilakukan bersama orangtua dengan media yang gampang dicari. Misal, bina diri dengan berpakaian sendiri,” ujarnya.
Selanjutnya, bisa juga belajar memetik bayam yang akan melatih motorik kasar. “Kami pengelola SLB sudah berpikir bahwa jangan sampai anak dan orangtua stress. bagaimana anak nyaman di sekolah, nyaman juga di rumah,” ungkapnya.
Ia melanjutkan 60 persen dari 70 murid di sekolahnya merupakan anak dari keluarga kurang mampu. Mekanisme sekolah dengan melakukan pembayaran subsidi silang. Saat pandemi, Saniyati khawatir akan kondisi ekonomi wali murid, sehingga pembayaran spp tiap bulan juga tak mungkin dipaksakan seperti sebelum pandemi. Apalagi pembelajaran dilakukan lewat daring. Untuk menyiasatinya, pihak sekolah membuat inovasi. Mereka membuat kanal Youtube pembelajaran, memberdayakan kantin sekolah dengan menjual jamu, ayam frozen, dan aneka kue. “Kunyit asem dan ayam laos jadi favorite,” tambahnya.