POLYMERASE chain reaction atau PCR adalah pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri atau virus. Saat ini, PCR digunakan untuk mendiagnosis penyakit Covid-19, yaitu dengan mendeteksi material genetik virus tersebut.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio menjelaskan untuk melakukan pemeriksaan di laboratorium atau PCR, lebih dahulu mengambil sampel dari pasien. Dan saat ini, untuk pengambilan sampel PCR di Indonesia ada dua cara, yakni dengan metode swab dan saliva.
“Pada prinsipnya pemeriksaan PCR swab dan PCR saliva itu sama, yang beda cuma pengambilan sampel saja,” ujarnya, Jumat (9/7).
PCR swab merupakan metode pengambilan sampel dengan cara diusap pada bagian antara hidung dan tenggorokan yang disebut nasofaring atau bagian antara mulut dan tenggorokan yang disebut orofaring.
Sampel dahak, lendir atau cairan dari nasofaring dan orofaring dinilai lebih sensitif dan akurat sehingga menjadi gold standard diagnosis Covid-19.
Sementara PCR saliva dengan mengambil sampel air liur bukanlah gold standard, meski pemeriksaannya juga dilakukan di laboratorium. Artinya, sensitivitas dan keakuratan tes ini masih lebih rendah dari PCR swab.
“Kalau membandingkan sensitivitas atau tidak, pernah dilakukan studi itu gold standard tetap nasofaring dan orofaring. Artinya untuk memudahkan pengambilan sampel, tapi tetap pengerjaannya di lab dan ini tidak menggantikan PCR yang gold standard,” ujarnya.
Meski demikian, Aman mengatakan PCR saliva memiliki keunggulan. Metode tersebut dinilai lebih mudah nyaman bagi pasien. Sensitivitas dan akurasinya pun lebih tinggi dibandingkan tes antigen atau antibodi.
Lantas, untuk memperluas cakupan testing, tracing, dan treatment, maka saliva bisa sangat diandalkan. Karena kemudahannya mungkin bisa lebih meningkatkan kepatuhan pasiennya, pasien lebih mau diperiksa,” ujarnya. (MI/S1)