Biduk Lalu, Kiambang Bertaut

Sudjarwo Profesor Ilmu-Ilmu Sosial Unila PADA waktu Sekolah Rakyat tahun ’60-an, guru bahasa Indonesia sering menugaskan murid kelas VI untuk menghafal makna kiasan. Salah satu di antara tugas itu adalah mencari arti pribahasa “ Biduk Lalu, Kiambang Bertaut ” . Zaman dulu belum ada teknologi canggih. Dengan mesin pencari kata, kita dapat segera mendapatkannya hanya beberapa saat. Zaman old , kita harus mencarinya di perpustakaan. Itu pun tidak semua perpustakaan memilikinya. Makna kata itu sederhana sekali. Dari hasil penelusuran, ternyata memiliki dua arti harfiah. Makna pertama, perselisihan antara dua orang bersaudara tidak perlu dicampuri orang lain karena sebentar juga akan berdamai. Makna kedua, perselisihan antara dua orang beraudara, apabila dicampuri oleh pihak ketiga, segera berakhir dengan perdamaian, sedangkan pihak ketiga akan tersisih dan mendapatkan malu. Makna harfiah itu sepintas tidak mengandung makna apa-apa karena hanya menjelaskan makna kata yang terangkai dalam kalimat. Hanya akan menjadi berbeda jika kita menelisik secara filosofis apa sebenarnya makna yang terkandung di balik itu. Orang bijak mengatakan membaca fakta itu adalah biasa, membaca makna itu menjadi kaya, tetapi membaca rasa itu menjadikan orang luar biasa. Makna yang akan disampaikan peribahasa itu adalah upaya yang sia-sia jika ada dua bersaudara sedang berselisih, lalu kita mengadu domba. Sebab, dalam prinsip Jawa, tego larane ora tego patine . Maknanya mereka itu berselisih sampai seru, tetapi tidaklah akan mereka berpisah. Bahkan, jika ada sesuatu yang mengancam eksistensi persaudaraan mereka, mereka akan melupakan perselisihan dan bersatu padu untuk menghadapi ancaman bersama. Selanjutnya, bagaimana pemaknaan pada tataran rasa. Untuk yang satu ini, tidak bisa kita hanya melihat dari fakta dan makna, karena unsur hakikat menjadi sesuatu yang dominan dan itu merupakan domainnya. Pribahasa tersebut memiliki filosofi dalam, sehingga tataran rasa sering dikonotasikan pada dunia makrifat, walaupun sebenarnya pada beberapa berbeda eksistensinya. Mereka yang memiliki tataran rasa tingkat tinggi memaknai perbedaan sama dengan memaknai sesuatu perjodohan. Karena melihat siang, pasti kita ingat malam. Pada alam, rasa siang dan malam adalah jodoh; kedua-duanya tunggal. Karena perbedaan keduanyalah, memunculkan satu rasa kesamaan dan pemaknaan itu. Personifikasi Ide Pada tataran berpikir tersebut, jika dikaitkan dengan fenomena akhir-akhir ini dalam masyarakat, maka “efek ekor naga” yang diakibatkan oleh geliat pemilihan presiden yang baru lalu jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan pemilihan calon legislatif. Hal ini terjadi karena jika pemilihan calon presiden lebih kepada mempersonifikasi ide, sedangkan pemilihan calon legislatif hanya kepada personal. Dengan kata lain, pemilihan ide secara filosofis lebih kepada cara pandang dan atau sudut pandang, tata nilai, sistem berpikir, dan sikap hidup. Oleh sebab itu, sisa yang membekas dalam psikologis begitu menghujam dan mendalam. Kerentanan dari sistem personifikasi ide ini adalah bila ada informasi yang tidak sejalur dengan rekonstruksi berpikirnya, maka dianggap musuh. Celah ini kemudian dimanfaatkan ahli perang urat saraf dengan membangun hoaks sebanyak-banyaknya, sehingga garis tebal pemisah akan terbangun menjadi tebal yang berubah menjadi tembok pemisah. Narasi kebencian terbangun dari rekonstruksi personifikasi ide yang menyempit dan tidak jarang ini menjadi bahan baku terbangunnya stereotip. Sementara pemilihan legislatif lebih kepada bersifat personal, maksudnya ialah urusan ini menjadi wilayah domestik bagi pelaku. Jadi, tidak heran jika calon legislatif satu, tetapi “ juru kumpul suara ”-nya banyak. Hukum yang berlaku transaksional berkepentingan, bahkan hukum ekonomi lebih mengemuka. “ Dia dapat suara, saya dapat apa? ”. Negara ini memerlukan pemimpin, tetapi yang lebih penting adalah persatuan. Pemimpin kapan pun bisa kita ganti, sedangkan persatuan adalah harga mati. Pada waktu pemilihan legeslatif ini berlangsung, juru kumpul suara semua memiliki ponsel, uang diperoleh dari calon legislatif. Oleh sebab itu, bisa terjadi jika calon legeslatif gagal menunjukkan perilaku yang agak aneh. Sebab, dia berhitung berapa utang yang harus dibayar dan berapa harta yang sudah ludes. Tetapi, tidak ada seorang pun dari juru kumpul suara yang merasa tersakiti karena calonnya tidak menang. Justru mereka sekarang ramai-ramai menghilang. Menyikapi adanya keinginan untuk memisahkan pemilihan presiden dan legeslatif adalah sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Jika peserta pemilihan presiden hanya dua pasang, akan tetap terjadi bipolar. Akibatnya, ruang personifikasi ide menjadi berhadap-hadapan seperti saat ini. Hal ini memicu terjadinya luka sosial bagi mereka yang calonnya tidak terpilih dan lebih lanjut akan menjadikan penyimpangan perilaku sosial. Saat ini perilaku seperti itu memiliki media yaitu media sosial, sebagai wadah mereka menyalurkan kebencian personifikasi ide. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan bahwa peserta pemilihan presiden diatur harus lebih dari dua pasang calon. Untuk pemilihan legeslatif perlu adanya kaji ulang agar model broker seperti saat ini tidak perlu terjadi. Bagaimana bentuk dan mekanismenya, hal itu adalah wilayah teman-teman ahli tata negara. Dari konsep filosofis, hanya dapat menjangkau membedakan antara kehendak/keinginan dengan kebutuhan, baik dari sisi personal maupun dari sisi publik. Persatuan Harga Mati Belajar dari pengalaman berbangsa yang baru saja kita laksanakan, belumlah terlambat jika semua kita menyadari bahwa biduk, yang kita bangun dan kita layarkan membelah kita saat berlalu, setelahnya adalah menjadi kewajiban sosial kita semua untuk bertaut kembali bak kiambang dalam pribahasa tadi. Biduk itu akan kita lewatkan kembali lima tahun mendatang. Belajar dari semua itu adalah bagaimana agar kiambang yang akan dilewati tidak menjadi bercerai berai. Cukup berbeda sesaat kemudian bertaut kembali, karena perbedaan pilihan dan posisi bukan berarti mengubah kiambang menjadi rumput laut. Hakikat memilih dan dipilih adalah sesuatu keniscayaan. Tidak segaris dalam memilih bukanlah sesuatu dosa tanpa ampun, tidak segaris dalam memilih juga bukan berarti menarik garis dermarkasi untuk saling bermusuhan. Sebagai manusia yang berbudaya, mari kita jangan terjebak pada perilaku inferior, sehingga merendahkan harkat martabat kita sebagai manusia. Negara ini memerlukan pemimpin, tetapi yang lebih penting dari itu adalah persatuan. Pemimpin kapan pun bisa kita ganti, sedangkan persatuan adalah harga mati. Sejarah sudah mencatat kehancuran negara-negara besar yang pernah hidup di Bumi Nusantara ini, seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram, ternyata porak-poranda karena hancurnya persatuan di antara mereka. Syahwat politik dan kekuasaan di antara mereka adalah pintu masuk yang sangat rentan untuk terjadinya perpecahan. Mari, sebelum terlambat, jangan kita terperosok pada lubang yang sama, kecuali keledai yang mau melakukannya.

Biduk Lalu, Kiambang Bertaut

Gapai Cita-Cita dengan Beasiswa

Ikan Asin

Chairil Anwar

Ikan Asin

Mahasiswa Baru Rebut 535 Kursi Bidikmisi

Lepas Jemaah Calon Haji, Arinal Janjikan Embarkasi Penuh

Polda Dukung Penuh Sektor Wisata

Penyaluran DAK-Dana Desa Harus Akuntabel

BERITA TERBARU

TOP NEWS

Benang Merah Konflik Manusia dengan Satwa

23 Ribu Peserta Gagal Masuk SMA/SMK Negeri

Tembus Rp12,42 Miliar Ekonomi Syariah kian Kokoh

Jalur SPMB SMP Prioritaskan Jarak

Perencanaan Keuangan Kunci Kemapanan Finansial

Perkuat Akses Keuangan Inklusif

Kebingungan Peserta Warnai Hari Pertama SPMB

Buka Ekspor Sawit di Pasar Eropa

Perketat Pengawasan Truk ODOL

Kreatif Hadapi Efisiensi Anggaran

POPULAR POST

Koran Digital Lampung Post, Edisi Jum’at, 28 November 2025

Pelantikan Pimpinan DPRD Lampura Berlangsung Sederhana

Koran Digital Lampung Post, Edisi Selasa, 02 Desember 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Senin, 01 Desember 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Rabu, 03 Desember 2025

Tentang Kami

Alamat Kami

Iklan & Sirkulasi