INDONESIA memasuki usia yang ke-79 tepat pada 17 Agustus 2024. Momentum ini terasa spesial mengingat untuk pertama kalinya perayaan ulang tahun akan dilaksanakan di dua kota yang berbeda, yakni Jakarta dan Ibu Kota Negara yang baru yaitu Ibu Kota Nusantara (IKN). Perayaan ulang tahun di IKN dapat diklaim oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai keberhasilannya untuk memindahkan Ibu Kota Negara yang sudah diwacanakan sejak pemerintahan Soekarno. Selain itu, perayaan ulang tahun di IKN juga menjadi ajang perpisahan bagi Jokowi karena secara resmi kedudukannya sebagai presiden Indonesia akan berakhir pada 20 Oktober 2024.
Keberhasilan dan kegagalan silih berganti selama 10 tahun menjabat. Berbagai visi dan misi selama kampanye sudah diupayakan semaksimal mungkin. Pro-kontra mengenai berbagai kebijakan yang dilaksanakan menjadi hal yang lumrah antar-lawan politik, hal ini dikarenakan Indonesia menganut paham negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) sekaligus negara demokrasi yang berlandaskan hukum (constitutional democracy). Pembangunan infrastruktur yang masif, terutama di wilayah timur Indonesia, tak dapat dipungkiri menjadi potret keberhasilan Pemerintahan Jokowi. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang cukup konsisten di angka 5,3 %, serta yang paling terlihat mengesankan yakni etos kerja Jokowi yang tanpa kenal lelah sedikit pun.
Keberhasilan ini juga dibuktikan melalui survei kepuasaan masyarakat terhadap Jokowi yang masih cukup tinggi di angka 75,6%, sebagaimana dilansir pada artikel Kompas.id pada 20 Juni 2024. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepuasaan terhadap Presiden Jokowi yang paling besar dibandingkan presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Kondisi dan situasi yang demikian sekali lagi tidak terlepas dari pembangunan infrastruktur yang semakin merata di berbagai wilayah Indonesia, kemudian program kesejahteraan, utamanya bantuan sosial, yang anggarannya dari tahun ke tahun semakin meningkat, serta Jokowi sebagai presiden pertama yang mencetuskan program dana desa.
Inkonsistensi Sikap Jokowi
Namun, di tengah berbagai keberhasilan yang dicapai, juga terdapat catatan kritis dan evaluasi terhadap Pemerintahan Jokowi. Pertama, berkaitan dengan utang negara yang meningkat. Kedua, indeks persepsi korupsi yang stagnan dan peringkatnya menurun. Ketiga, ambiguitas program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), serta yang paling terasa bagaimana hukum tidak lagi berdaulat pasca-Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung “diobrak-abrik”.
Ambisi membangun politik dinasti jusru menimbulkan stigmatisasi bahwa Jokowi “haus jabatan”. Kepentingan untuk memajukan kesejahteraan rakyat seakan menjadi klise karena terdapat udang di balik batu, yakni “kepentingan keluarga”. Sikap Jokowi tidak lagi menggambarkan seorang negarawan yang menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan negara.
Alih-alih memikirkan kepentingan bangsa dan negara, tetapi sejatinya politik yang dijalankan oleh Jokowi semata-mata berorientasi pada keuntungan diri dan keluarganya. Tak dapat dipungkiri bahwasanya kekuasaan memang memberikan suatu kenyamanan, akan tetapi jangan sampai kekuasaan itu disalahgunakan (detournement de pouvoir), bahkan lebih jauh lagi melampaui batas kewenangan (excess de pouvoir).
Pengkhianat Demokrasi
Politik dinasti merupakan kultur toksik yang harus dihindari. Sebagai pemimpin, maka harus terdapat patron ataupun landasan yang kuat untuk mengeliminasi kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan bangsa dan negara harus menjadi yang utama, stabilisasi politik menjadi instrumen fundamental dalam mencapai kehidupan yang selaras dan harmonis.
Lebih lanjut, putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung berkaitan dengan perubahan batas usia calon presiden dan wakil presiden serta batas usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menunjukkan adanya andil dan intervensi dari pihak penguasa. Etika dan moralitas tidak lagi dijunjung tinggi. Program dan kebijakan yang seharusnya mengutamakan kepentingan bangsa dan negara justru disalahgunakan demi keuntungan pribadi dan keluarga.
Berbagai problematika muncul karena politik dinasti yang semakin kuat, seperti adanya pembatasan kebebasan pers melalui revisi undang-undang (UU Penyiaran), berikutnya revisi UU Polri dan TNI yang ugal-ugalan, wacana perubahan nomenklatur Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menunjukkan adanya sesat pikir yang harus ditinjau ulang. Jika tidak, paham negara hukum yang demokratis sekaligus negara demokrasi yang berlandaskan hukum hanya akan menjadi retorika semata.
Demokrasi yang seharusnya menjamin kebebasan dan kenyamanan masyarakat justru dinodai dengan tindakan pengkhianatan. Bagaimana tidak, pemilu dan pilkada yang seharusnya menjadi pesta demokrasi rakyat, sebaliknya menjadi alat untuk membungkam publik melalui intimidasi dan paksaan. Kontestasi pemilu yang seyogianya menjunjung tinggi prinsip jujur dan adil justru dininabobokkan oleh pihak penguasa. Padahal, partisipasi politik diperlukan agar semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik dan demokrasi.
Kebijakan publik diterapkan untuk menjamin kualitas pelayanan publik dan kesempatan yang sama bagi semua orang. Akuntabilitas menjamin bahwa para pemimpin dan pemerintah harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Pilar demokrasi Indonesia telah berhasil membantu Indonesia tumbuh menjadi negara demokratik yang stabil. Namun, menjelang pemilu dan pilkada berbagai pilar tersebut justru mengalami kemunduran. Oleh karena itu, para stakeholder memegang peranan penting dalam menjamin Indonesia dapat bertahan sebagai negara demokratik.
Dinamika politik menjelang pemilu dan pilkada memang selalu sarat akan kepentingan, tetapi nilai kepantasan dan kejujuran harus dijunjung tinggi sehingga tidak mengakibatkan trust issue di kalangan publik. Dengan kata lain, kepercayaan publik harus dijunjung tertinggi yang tentunya akan membantah dalil Lord Acton yang sangat terkenal, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan yang berlebihan pasti korup).
Mengacu pada hal tersebut, maka politik dinasti dapat menghancurkan integrasi bangsa mengingat kepentingan segelintir pihak akan menjadi yang utama, padahal tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni memajukan kehidupan bangsa dan kesejahteraan umum dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Bukan justru sebaliknya, hanya memikirkan kepentingan golongan, keluarga ataupun pribadi.
Oleh karena itu, tepatlah apa yang disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie, yang mengatakan bahwa “Jika hukum diibaratkan kapal, etika adalah samuderanya. Jika samudera etikanya kering, kapal hukum tak akan pernah berlayar mencapai pulau keadilan.” *