Pemberlakuan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan mandat pemenuhan seluruh hak-hak penyandang disabilitas. Misalnya, dalam Pasal 5 (1) poin (t) dan Pasal 24 yang menyebutkan penyandang disabilitas memiliki hak berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh Informasi melalui media yang mudah diakses.
Secara normatif pemegang tanggung jawab pemenuhan hak informasi (right to now) bagi penyandang disabilitas memang pada ranah negara. Namun, pers sebagai pilar tegaknya demokrasi memiliki tanggung jawab yang tak kalah pentingnya dalam pemenuhan hak informasi.
Pada kenyataannya, peran penting penyediaan informasi itu masih belum bisa berjalan secara ideal. Hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2024 menunjukkan masih terpinggirkannya penyandang disabilitas dalam perlindungan hukum. Indikatornya hanya berada di angka 68,43 dari interval 100 yang menunjukkan status perlindungan hukum penyandang disabilitas berada pada status cukup bebas (ada dalam interval 61-80).
Akar utama rendahnya nilai IKP ini adalah cara pandang para jurnalis yang masih menganggap penyandang disabilitas sebagai kelompok yang menjadi masalah sosial. Penyandang disabilitas tidak memiliki peran dalam kehidupan, kecuali hanya menjadi beban sosial dan keluarga.
Dampak dari cara pandang ini, pelaku pers merasa tak perlu memberikan akses informasi secara khusus kepada kelompok penyandang disabilitas. Meski sudah ada buku panduan peliputan ramah disabilitas dari Dewan Pers, tetapi ternyata belum semuanya mengikuti aturan tersebut.
Misalnya, pada poin 7 peraturan itu menyatakan akses berita kepada penyandang disabilitas diberikan dengan menyediakan juru bahasa isyarat, skrin pembaca, takarir (subtitle), dan teknologi yang membantu akses informasi bagi penyandang disabilitas, yang dilakukan sesuai dengan kemampuan perusahaan media.
Problem dari pedoman peliputan ramah disabilitas ini adalah tidak bersifat mandatoris sehingga tak ada pelaporan pelaksanaan di lapangan. Dewan Pers pada akhirnya tidak memiliki database penerapan peraturan pemberitaan ramah disabilitas. Tentu saja, dengan begitu Dewan Pers tidak bisa melakukan evaluasi terhadap peningkatan media yang inklusi, apalagi memberikan sanksi bagi pers yang tidak menerapkannya.
Problem lain, posisi penyandang disabilitas hanya dianggap sebagai objek atau narasumber pemberitaan. Pada saat media memberitakan isu-isu penyandang disabilitas, pers masih melihat penyandang disabilitas dari sudut pandang belas kasihan, kesedihan, ketidakberdayaan, ketergantungan, dan pandangan lain yang bersifat stigmatik dan diskriminatif.
Misalnya, saat penyandang disabilitas perempuan menjadi korban kekerasan seksual, media masih melihat tindakan itu sebagai tindakan normal, dan tidak menjadi isu besar sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Seakan-akan penyandang disabilitas tidak memiliki hak untuk bebas dari segala macam tindakan kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi lainnya.
Dengan model pemberitaan seperti ini, akhirnya masyarakat memiliki pandangan yang sama dengan media massa. Bahkan, tidak hanya masyarakat umum, tetapi keluarga penyandang disabilitas pun memiliki berada dalam pengaruh narasi media massa yang sama pula.
Tidak jarang keluarga menyembunyikan anggota penyandang disabilitas dari perjumpaan dengan masyarakat dengan alasan melakukan perlindungan agar tidak mengalami perundungan dari lingkungan sekitarnya. Bahkan, sebagian keluarga melakukan pemasungan secara tidak manusiawi dengan berkilah untuk menutupi aib keluarga.
Pada situasi seperti ini, penyandang disabilitas semakin jauh dari akses informasi yang bermanfaat dalam peningkatan kapasitasnya sebagai warga negara. Terbatasnya informasi terus-menerus menempatkan penyandang disabilitas dalam posisi yang rentan dalam berbagai ranah penghidupan. Kemiskinan dan ketergantungan menjadi bayang-bayang sepanjang kehidupan penyandang disabilitas.
Tanpa disadari, media massa telah melakukan kesalahan besar dengan menyiarkan narasi yang keliru kepada publik. Alih-alih mengubah perspektif negatif masyarakat terhadap penyandang disabilitas, tetapi malah melanggengkan cara pandang stigmatik dan diskriminatif.
Dewan Pers sebagai institusi memang memiliki tanggung jawab dalam memantau dan mengontrol perkembangan pers di Indonesia. Namun, ternyata tidak melakukan tindakan-tindakan bersifat strategis dan langsung menyentuh lembaga-lembaga pers di Indonesia dalam percepatan menciptakan media yang inklusi.
Buktinya, meski indikator lingkungan hukum bagi penyandang disabilitas selalu menempati tingkat rendah selama 6 tahun terakhir, dalam dokumen IKP 2024, Dewan Pers ternyata tidak juga memberikan rekomendasi ke pihak mana pun untuk memperbaiki situasi ini. Kenapa? *