HARUS diakui bahwa krisis ekologi merupakan persoalan pelik yang dihadapi oleh dunia dewasa ini. Praktik eksploitasi dan destruksi alam oleh pihak-pihak tertentu (baca: manusia) mengakibatkan kehancuran masif di berbagai belahan bumi. Hal itu semakin diperparah oleh merebaknya sistem kapitalisme dalam seluruh lini kehidupan yang mengedepankan rasionalitas ekonomi—keuntungan di atas segala-galanya—dan logika waktu pendek. Tak jarang aktivitas pabrikasi dituduh sebagai biang kerok kerusakan lingkungan, seperti pencemaran air, tanah, udara, dan suara. Lantas banyak orang mencemaskan kehidupan generasi muda sebagai penghuni planet Bumi di masa yang akan datang.
Ironisnya, kerusakan alam ternyata tidak semata-mata akibat sistem kapitalisme yang menyata dalam aktivitas pabrikasi. Jika ditelisik secara lebih mendalam, kerusakan alam juga ditengarai oleh eksistensi kaum muda. Tidak sedikit kaum muda rentan menimbulkan kerusakan lingkungan melalui perilaku negatifnya, seperti membuang sampah di sembarangan tempat dan cenderung menggunakan produk tak ramah lingkungan.
Kerusakan yang dilakukan oleh kaum muda lebih dominan terjadi di wilayah perkotaan. Tulisan ini berupaya untuk menguraikan masalah lingkungan dalam kaitannya dengan eksistensi kaum muda dengan lokus utama adalah wilayah perkotaan. Penulis merasa bahwa wilayah perkotaan berpeluang besar mengalami kerusakan lingkungan akibat ulah kaum muda.
Kaum Muda Kontra Ekologi
Tesis penulis terkait pengaruh kaum muda terhadap munculnya kerusakan lingkungan tidak berarti mengafirmasi satu pandangan bahwa kaum muda adalah pelaku tunggal perusakan lingkungan perkotaan. Terlepas dari itu, kita patut mencatat tiga alasan yang menjadi pertimbangan penulis bahwa kaum muda juga berpeluang merusak lingkungan.
Pertama, alasan demografi. Data statistik menunjukkan bahwa penduduk dunia sebagian besar adalah kaum muda dan kebanyakan dari mereka tersebar di perkotaan. Laporan itu sudah pernah dipublikasikan oleh BPS pada 2010 dan diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2045 (meskipun 2 tahun terakhir mengalami hambatan akibat pandemi Covid 19).
Dalam lingkup regional, tren demografi sangat tampak dialami oleh bangsa Indonesia. Laporan yang dirilis oleh Dukcapil Kemendagri per 30/06/2022, lebih dari 50% penduduk Indonesia didominasi oleh usia produktif yakni berkisar 15—64 tahun. Apabila batasan usia muda semakin diturunkan yakni 30 tahun ke bawah, jumlah itu akan semakin besar. Bisa dibayangkan peningkatannya sekarang.
Fenomena membludaknya jumlah pemuda di perkotaan bisa menimbulkan masalah kemiskinan jika tidak diimbangi oleh ketersedian lapangan pekerjaan dan keterampilan kerja. Hal yang sama juga bisa menimbulkan persaingan di antara kaum muda dalam memperoleh pekerjaan yang pada gilirannya menelurkan kesenjangan dalam akses terhadap lapangan pekerjaan. Yang tidak mendapatkan jatah pekerjaan akan rentan menjadi penganggur. Pada gilirannya, para penganggur bisa menjadi sumber terciptanya pemukiman-pemukiman kumuh yang tak ramah lingkungan.
Kedua, alasan urbanisasi. Migrasi penduduk dari desa ke kota terbukti lebih didominasi oleh kaum muda. Intensinya cukup jelas, yakni mencari pekerjaan, menempuh pendidikan, dan lain sebagainya. Permasalahan terjadi ketika urbanisasi tidak mendukung ketersediaan lahan hijau terbuka (LHT) di perkotaan. Semakin banyak populasi manusia di perkotaan, maka semakin banyak pula pemukiman yang dibuat. Akibatnya akan sangat sulit menemukan lahan hijau terbuka.
Konsekuensi dari ketiadaan LHT ialah semakin berkurangnya produksi oksigen, suhu menjadi sangat panas, banjir terjadi di mana-mana dan masih banyak persoalan lain yang akan terjadi. Selain itu, permasalahan juga muncul ketika populasi manusia yang meningkat tidak didukung oleh produksi produk-produk alamiah yang cukup seperti sayur-mayur, buah-buahan, serta bahan makanan lainnya.
Ketiga, alasan mentalitas dan gaya hidup kaum muda yang tidak ramah lingkungan. Tak dapat dimungkiri bahwa perkembangan dunia yang semakin canggih telah mencederai mentalitas dan gaya hidup kaum muda. Akhir-akhir ini, telah tumbuh di kalangan kaum muda mental instan dan perilaku konsumtif. Hal tersebut menyata dalam penggunaan barang-barang hasil industri yang tidak ramah lingkungan.
Kaum Muda Proekologi
Berhadapan dengan beberapa persoalan yang dikemukakan sebelumnya, penulis menawarkan dua langkah solutif. Pertama, refleksi filosofis Filsuf Martin Heidegger tentang cara berada manusia di dunia. Ada dua cara berada manusia menurut Heidegger, yakni labor (kerja) dan care (peduli).
Labor atau kerja terungkap dalam interaksi dan intervensi. Ia menegaskan tentang bagaimana posisi penguasaaan manusia atas alam (objek). Manusia menjadi subjek utama yang memiliki kuasa untuk menindas dan mencaplok alam demi pemenuhan kebutuhannya sendiri. Manusia (khususnya kaum muda) cenderung melihat alam sebagai pemenuhan kebutuhan mereka semata.
Oleh karena itu, kaum muda perlu menyadari akan cara berada yang kedua yakni peduli. Sementara cara berada care (peduli) mengandung makna kesatuan, persahabatan, pengabdian, kerja sama dan relasi antarsubjek. Kaum muda perlu menyadari bahwa relasinya dengan alam bukan sekadar pemenuhan akan kebutuhan atau subjek-objek, melainkan juga relasi antarsesama saudara yang perlu dihargai, dihormati, dan dilindungi.
Kedua, perlunya pola konsumsi berbasis kearifan lokal. Hal ini penting mengingat produk-produk lokal pada dasarnya tidak merusak lingkungan karena berasal dari alam itu sendiri dan jauh dari campuran bahan-bahan kimia. Dalam kaitannya dengan mentalitas instan dan gaya hidup konsumtif dari kaum muda, maka usaha untuk menghidupkan kearifan lokal dapat dijadikan sebagai langkah solutif.
Misalnya kecenderungan kaum muda untuk mengonsumsi produk-produk (bahan makanan) kemasan harus perlahan-lahan diimbangi dengan konsumsi produk-produksi alamiah. Lain halnya juga penggunaan bahan plastik untuk menyimpan sesuatu perlu diganti dengan penggunaan tas atau keranjang yang terbuat dari anyaman rotan atau bahan alam lainnya.
Dengan mengangkat fenomena-fenomena kerusakan lingkungan di perkotaan karena pengaruh kaum muda, kecenderungan untuk menganaktirikan aktivitas industri perlu dipertimbangkan. Memang ujung-ujungnya industri yang dipersalahkan, tetapi perlu diketahui bahwa manusia juga punya pengaruh meskipun terbilang kecil. Jika aktivitas industri dapat diperhadapkan dengan pola-pola konsumsi yang baik, niscaya kerusakan lingkungan dapat diminimalisasi. Menjadi petaka ketika pola konsumsi manusia (kaum muda) juga mendukung aktivitas industri yang ada.