Khitah Negara pada Sastra Masuk Kurikulum

BAGAIMANA Syahrazad menyembuhkan pria edan yang berkuasa? Hikayat Seribu Satu Malam memberitahu kita: melalui cerita. “Orang butuh cerita ketimbang roti,” daku seorang tokoh dalam magnum opus Dinasti Abbasiyah tersebut. “Sebuah cerita mengajarkan kita bagaimana untuk hidup dan mengapa.” Dengan daya kisah-kisah dan keterampilan bertutur, Syahrazad juga sukses mengelak kontrak kematian tersebab pernikahan mautnya dengan Syahriar, sang sultan. Dahulu, sebelum trauma dan kekuasaan meracuni isi kepalanya, Syahriar hanyalah bocah riang biasa. Namun, ia terjangkit sakit majenun setelah dikhianati permaisurinya yang berbuat serong dengan budak. Maka itu, perkawinan demi perkawinan pascabencana marital itu menjelma tali sutra yang memancung para mempelainya. Di tengah krisis tersebut, Syahrazad tampil sebagai juru selamat raja dari insomnia dan kegilaan. Sungguh, kita bisa menjumpai Hikayat Seribu Satu Malam versi novel modern Indonesia pada Tantri: Perempuan yang Bercerita karya pengarang Bali, Cok Sawitri. Jauh sebelum “terapi jiwa via cerita” dikisahkan dalam Hikayat Seribu Satu Malam , Aristoteles telah merenungkan efek drama tragedi. Ia menyebutnya “katarsis”, pemurnian emosi. Rangkaian peristiwa yang menimpa tokoh-tokoh tragedi, bagi sang filsuf, bisa menyalurkan sekaligus melepaskan tekanan batin audiens. Patos yang beroperasi di antara cerita dan audiens akan membentangkan jalan katarsis untuk menggiring emosi ke rasa gentar dan asih. Lalu kita tahu, bahagia dan derita ialah kemestian yang dihadapi manusia. Namun, cerita memiliki imbas lebih luas daripada fungsinya sebagai pemurnian psikis belaka. Selain mengasah rasa, ketakjuban infantil atas cerita perlu dipelihara karena ia juga menatah nalar, menumbuhkan visi, dan mengembangkan bahasa. Itulah mengapa dalam sebuah forum Akademi Jakarta, Karlina Supelli, misalnya, pernah berkata bahwa pendidikan seni—termasuk di dalamnya sastra—jangan semata-mata berorientasi pada “pertunjukan”. Pendidikan seni diselenggarakan dengan maksud melatih kepekaan, imajinasi, dan sikap kritis. Singkatnya, pendidikan seni yang ideal juga menawarkan fondasi untuk mempertajam pikiran, keterampilan, dan daya cipta pada bidang lainnya dalam praktik berkehidupan itu sendiri. Maka itu, program Sastra Masuk Kurikulum yang diinisiasi negara melalui Kemdikbud-Ristek dapat menjadi jembatan prospektif bagi khitah tentang manusia Indonesia yang tak hanya memiliki kecakapan teknis, tetapi juga sekaligus kehalusan pekerti. Intervensi atas kurikulum yang disisipi sastra memang perlu diamalkan mengingat situasi keberliterasian kita berada di ambang duka, sedangkan negara memikul kewajiban konstitusional “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Itu disebabkan tidak semua anak terlahir dari keluarga dengan tradisi “dongeng sebelum tidur” di rumah yang memajang rak buku. Kalau bukan sekolah yang memperkenalkan sastra kepada anak didik, siapa lagi? Bahkan, kebanyakan kelas menengah kita—yang diharap dapat berperan sebagai tangga menuju manusia Indonesia literat—agaknya terperosok ke dalam budaya gawai. Saya tidak sedang berkata bahwa kehadiran gawai membawa pengaruh negatif. Akses terhadap gawai telah membantu beragam aktivitas berjalan mangkus dan sangkil. Namun, kita juga sukar menampik residu gawai yang tak kalah berat. Diakui atau tidak, di tangan kelas menengah kita, gawai bisa menjadi fetis yang menjerat seseorang untuk menghabiskan waktu menggulir media sosial, terpaku menatap konten omong kosong, dan terperangkap percakapan ngalor-ngidul . Banjir bandang informasi yang disalurkan gawai sulit memperkaya wawasan sebab sebelum mengunyah satu informasi, kita segera dihantam informasi lainnya. Ternyata “banyak” tak selalu berkorelasi dengan kekayaan. Sebagai sumber pengetahuan, saya percaya buku masih lebih unggul ketimbang medium audio visual. Tak seperti film atau video yang memanjakan audiens dengan sajian gambar dan suara, buku akan mendesak pembaca mengaktifkan indra visual dan auditori untuk memproyeksikan citraan tulisan. Buku memagari pembaca dengan tembok soliter tanpa interupsi notifikasi sebagaimana arus stakato konten gawai. Aliran legato kegiatan membaca buku membawa seseorang pada intensitas dan kedalaman. Meski demikian, tak semua buku (sastra) memiliki mutu memadai. Di situlah negara dirasa perlu turun gunung untuk menetapkan bacaan berstandar tertentu yang hendak dianjurkan kepada sekolah. Warta tentang buku-buku rekomendasi dan bagaimana cara menggunakannya menjadi semacam sekapur sirih program Sastra Masuk Kurikulum. Seluruh informasi terkait dengan karya usulan itu dapat pembaca tilik dalam Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang diterbitkan Pusat Perbukuan serta Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbud-Ristek. Dalam buku tersebut, penyusun menjelaskan bahwa buku-buku sastra yang dipilih merepresentasikan keberagaman gender dan daerah para sastrawan, termasuk topik yang dibahas; keberagaman zaman dengan menyertakan karya dari periode awal hingga para penulis generasi mutakhir; merepresentasikan kelompok minoritas; merepresentasikan kebermacaman bentuk sastra yang tak terbatas pada fiksi atau puisi, tetapi juga komik, cerita bergambar, naskah drama, skenario film, sampai esai-esai budaya. Dengan efek dan cara kerjanya yang subtil, karya sastra menanamkan kesadaran atas keberagaman kultur Indonesia. Dalam novel Saman saja, pembaca sudah dibentangkan aneka realitas seperti keberagaman geografis (dengan diangkatnya beberapa daerah sebagai latar), gender (dari karakter Shakuntala akhirnya kita tahu perihal androgini), tradisi kepastoran yang tak sederhana (dari riwayat muda Wisanggeni), orang berkebutuhan khusus yang rentan perundungan (dari tokoh Upik), dan sebagainya. Dengan tidak bertendensi pada ajaran moral tertentu, novel Ayu Utami tersebut memang layak dibaca pelajar SMA, tak hanya karena mutu bentuknya yang dianggap para kritikus memperluas kaki langit kesusastraan Indonesia, tetapi juga kualitas isunya yang begitu kaya. Ketika dilibatkan dalam mata pelajaran biologi, Saman bisa menjadi pintu masuk untuk membincangkan warna gender manusia, apalagi bila diskusi itu menggiring peserta didik menjelajah riset-riset kiwari mengenai topik serupa. Bahkan, percakapan tentang spektrum dan gender manusia juga bisa ditarik ke wilayah antropologis bangsa Indonesia. Kini, si buku panduan telah beredar di hadapan audiens dalam format lunak. Kita beruntung memiliki sidang pembaca yang tanggap menimbang dan menyanggah cara kerja kurator serta produk yang telah digodok sejak beberapa bulan belakangan tersebut. Atas seluruh evaluasi, jangan sampai negara menangisi “nasi yang telah menjadi bubur” dan “bendera merah” menghentikan program yang sejatinya baik. Kelak, bila negara menaja agenda serupa, mengindahkan respons pembaca akan bermanfaat untuk mengoptimalkan efektivitas kinerja dengan hasil yang memuaskan. *

Khitah Negara pada Sastra Masuk Kurikulum

Royyan Julian, Dosen sastra, penulis puisi dan prosa

Menakar Outlook Tengah Tahun Perekonomian Global

Sudahi Lika-liku Memburu Masiku

wiji

Sudahi Lika-liku Memburu Masiku

Membumikan Diskursus Islam Indonesia di Inggris Raya

Transformasi Digital: Tantangan bagi Keluarga Modern

Koran Digital Lampung Post, Edisi Rabu, 26 Juni 2024

Polres Way Kanan Respons Laporan Pungli di Jalintengsum

BERITA TERBARU

TOP NEWS

Benang Merah Konflik Manusia dengan Satwa

23 Ribu Peserta Gagal Masuk SMA/SMK Negeri

Tembus Rp12,42 Miliar Ekonomi Syariah kian Kokoh

Jalur SPMB SMP Prioritaskan Jarak

Perencanaan Keuangan Kunci Kemapanan Finansial

Perkuat Akses Keuangan Inklusif

Kebingungan Peserta Warnai Hari Pertama SPMB

Buka Ekspor Sawit di Pasar Eropa

Perketat Pengawasan Truk ODOL

Kreatif Hadapi Efisiensi Anggaran

POPULAR POST

Pelantikan Pimpinan DPRD Lampura Berlangsung Sederhana

Koran Digital Lampung Post, Edisi Rabu, 10 Desember 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Selasa, 09 Desember 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Senin, 08 Desember 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Sabtu, 06 Desember 2025

Tentang Kami

Alamat Kami

Iklan & Sirkulasi