SEJAK reformasi tahun 1998 Indonesia telah menjalani berbagai perubahan dalam sistem politiknya, termasuk dalam mekanisme pemilihan kepala daerah. Pemilihan langsung oleh rakyat menjadi salah satu agenda demokrasi yang diusung pascareformasi. Mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD pernah diterapkan hingga tahun 2004, sebelum berubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Perubahan ini dianggap sebagai salah satu langkah besar dalam mendorong demokratisasi di tingkat daerah. Namun, setelah hampir dua dekade diterapkan, pemilihan langsung menuai berbagai kritik, seperti biaya politik yang tinggi, potensi konflik horizontal, dan maraknya praktik politik uang.
Wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mengemuka melalui pidato Presiden Prabowo Subianto saat perayaan ulang tahun Partai Golkar pada 13 Desember 2024. Sebuah ide lama yang sempat diterapkan pada era Orde Baru hingga awal reformasi ini dipertanyakan relevansi dan konstitusionalitasnya dalam konteks demokrasi modern. Apakah langkah ini selaras dengan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi yang dijamin konstitusi?
Dasar Konstitusional Pilkada
Ketentuan Pasal 18 Ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 menyatakan bahwa “gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis”. Pemilihan langsung oleh rakyat merupakan salah satu bentuk terbaik dari prinsip demokratis. Namun, frasa “dipilih secara demokratis” dalam UUD 1945 sebenarnya dapat ditafsirkan lebih luas. Sebelum pemilihan langsung diberlakukan pada 2005, mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD dianggap demokratis karena tetap melibatkan institusi perwakilan rakyat.
Semangat reformasi yang melahirkan pemilihan kepala daerah langsung bertujuan mendekatkan rakyat dengan pemimpin mereka sehingga partisipasi politik masyarakat meningkat dan pemimpin lebih bertanggung jawab langsung kepada masyarakat. Selain itu, semangat reformasi menekankan pada desentralisasi, partisipasi masyarakat, dan transparansi dalam proses politik. Mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD yang tidak hati-hati dapat dilihat sebagai langkah mundur yang melemahkan capaian demokrasi pascareformasi.
Efisiensi atau Dekonsolidasi Demokrasi?
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD digadang-gadang akan lebih efisien, tidak ada lagi biaya kampanye besar-besaran atau gesekan sosial yang sering terjadi saat pemilihan kepala daerah. Selain itu, pengawasan bisa lebih terkontrol karena hanya melibatkan anggota DPRD.
Namun, pemilihan kepala daerah oleh DPRD dapat membuka peluang lebih besar bagi praktik korupsi mengingat kepala daerah akan lebih bergantung pada dukungan DPRD daripada rakyat. Relasi yang terlalu erat antara kepala daerah dan DPRD juga dikhawatirkan mengaburkan prinsip check and balance dalam pemerintahan daerah.
Secara hukum, perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah tetap memerlukan pengkajian mendalam untuk memastikan kesesuaiannya dengan amanat UUD 1945. Frasa “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD Tahun 1945 memberi ruang untuk pengaturan lebih lanjut melalui undang-undang (open legal policy). Namun, perubahan ini tidak semestinya mengorbankan hak dasar masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam memilih pemimpin mereka.
Lebih jauh, mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD memerlukan kajian mendalam mengenai dampaknya terhadap kualitas demokrasi dan tata kelola daerah. Demokrasi tidak hanya soal efisiensi, tetapi juga soal keberpihakan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.
Dalam konteks ini, pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebagai representasi rakyat daerah dapat dipandang demokratis jika mekanismenya benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat. Namun, dalam praktik politik Indonesia, DPRD dikhawatirkan kurang mampu merepresentasikan kepentingan masyarakat secara utuh karena maraknya politik kepentingan dan pengaruh oligarki.
Menata Ulang Sistem Pilkada
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD memang memiliki dasar argumentasi, tetapi keputusan ini tidak bisa dilepaskan dari kajian mendalam terhadap prinsip-prinsip demokrasi, konstitusionalitas, dan keberlanjutan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Jika efisiensi, korupsi dan konflik dalam pemilihan kepala daerah langsung menjadi alasan utama, solusinya bukan dengan menghapus hak pilih rakyat, melainkan dengan merekonstruksi tata kelola pemilihan kepala daerah. Contohnya, memperketat pengawasan untuk mengurangi politik uang atau menyederhanakan tahapan pemilihan kepala daerah agar lebih hemat biaya. Dalam demokrasi, partisipasi rakyat adalah landasan utama yang harus dijaga.
Penataan ulang sistem pemilihan kepala daerah juga dapat dilakukan melalui integrasi teknologi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Salah satu solusi utama untuk efisiensi adalah penggunaan e-voting. Sistem ini memungkinkan pemilih memberikan suara secara digital sehingga mengurangi biaya kertas suara, pengadaan logistik, dan distribusi.
Dengan demikian, wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD adalah topik kompleks yang perlu didekati dengan hati-hati. Selain mempertimbangkan efisiensi, upaya ini harus benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan konstitusi. Sebab, di balik segala efisiensi yang diusung, demokrasi harus tetap menjadi jangkar dalam pembangunan bangsa.
Perlu dipastikan bahwa setiap perubahan sistem politik selalu berlandaskan pada nilai-nilai konstitusi dan semangat reformasi untuk membangun demokrasi yang lebih kokoh dan berintegritas, bukan malah sebaliknya. Karena pada akhirnya, bukan hanya cara memilih yang penting, tetapi bagaimana sistem itu menjamin bahwa suara rakyat tetap menjadi yang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. *