PRESIDEN Joko Widodo mengajak masyarakat menghindari konflik dan politik identitas selama Pilkada 2024. Presiden menyampaikan hal itu saat bertemu jajaran Komisi Pemilihan Umum di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 4 September 2024. Konflik dan politik identitas kiranya dua fenomena berkaitan. Politik identitas bisa memicu konflik. Konflik terjadi di antara identitas-identitas yang berbeda-beda.
Politik identitas bisa menggeser kompetisi di Pilkada 2024 menjadi konflik, bahkan konflik fisik. Wajar belaka bila Presiden mengingatkan kita untuk menghindari politik identitas karena itu bisa memicu konflik.
Potensi konflik meningkat manakala identitas yang dieksploitasi ialah agama. Pilkada DKI 2017 menjadi bukti sejarah betapa politik identitas agama memantik konflik di masyarakat. Politisasi identitas agama di Pilkada DKI 2017 kiranya menjadi semacam trauma politik dan tragedi demokrasi bagi bangsa Indonesia.
Populisme Islam
Politik identitas agama sering kali diidentikkan dengan populisme agama. Politisasi identitas agama menjadi salah satu ciri populisme agama. Politik identitas senantiasa dimainkan populisme (Muller, 2017; Wodak, 2015).
Populisme bisa memainkan agama apa pun dalam politik. Perdana Menteri India Narendra Modi memainkan populisme Hindu di Pemilu India. Donald Trump memainkan populisme Kristen di Pemilu Presiden Amerika 2016. Di Indonesia, yang sebagian besar penduduknya muslim, populisme kiranya memainkan Islam sebagai instrumen politik.
Populisme adalah bentuk politik massa yang secara historis ide dasarnya representasi atau tindakan atas nama rakyat dalam berhadapan dengan kaum elite, kelompok pemilik hak-hak istimewa, dan kalangan mapan (Latifi, 2014).
Sejauh terkait dengan Islam, ia disebut populisme Islam (Islamic populism). Seperti semua populisme, populisme Islam melibatkan mobilisasi dan homogenisasi kesenjangan mencolok antara massa (the people) dan yang diidentifikasi sebagai “elite” (the elites). People dalam konteks populisme Islam adalah umat (ummah) (Hadiz, 2016).
Populisme Islam leluasa bermain di Pilkada DKI 2017. Berlangsung mobilisasi umat menghadapi elite melalui wacana populis untuk meraih kekuasaan politik. Populisme Islam di Pilkada DKI membenturkan elite Tionghoa-Kristen yang direpresentasikan Basuki Tjahaja Purnama dan umat pendukung Anies Baswedan. Konflik akibat populisme Islam di Pilkada DKI bahkan berimbas ke Pemilu Presiden 2019.
Populisme dan Demokrasi
Kebanyakan ahli menyebut populisme bertentangan dengan demokrasi. Meny dan Surel tegas mengatakan politik populisme adalah bencana besar bagi demokrasi. Lantas Albertazzi & McDonnel mengidentifikasi politik populisme sebagai “antipolitik” (Mazzoleni, 2014). Muller (2017) menyebut populisme antipluralisme. Ionescu & Gellner (1969), Levitsky & Ziblatt (2018), Dasandi (2018), dan Muller (2017) mengatakan populisme mengancam dan membahayakan demokrasi.
Mietzner (2018) mencatat dua bentuk ancaman terhadap demokrasi, yakni terorisme/separatisme serta populisme, dan populisme merupakan ancaman yang lebih serius ketimbang terorisme/separatisme. Kenny (2019) menyebut hubungan demokrasi dan populisme bersifat antagonistis.
Pun, populisme Islam di Pilkada DKI sebagaimana populisme secara umum menurunkan kualitas demokrasi. Populisme Islam seperti terkandung dalam Aksi Bela Islam di Pilkada DKI 2017 muncul sebagai gejala bangkitnya konservatisme agama. Konservatisme agama yang marak di era yang lebih demokratis, menurut Bagir dan Fachrudin (2020), menyebabkan proses demokratisasi mundur kembali. Oleh karena itu, dalam kasus populisme di Pilkada DKI 2017, Vedi R. Hadiz (2017) mengategorikannya sebagai salah satu indikator kemunduran demokrasi di Indonesia.
Bland (2020) menyebut krisis di seputar Pilkada DKI menggerus citra Indonesia sebagai suar demokrasi dan pluralisme di dunia muslim. Dalam konteks Indonesia yang sistem demokrasinya belum terinstitusionalisasi, populisme yang beroperasi cenderung otoriter, terjadi tirani mayoritas, serta menolak prinsip dasar demokrasi seperti persamaan dan pluralisme (Hara, 2017).
Apalagi, populisme Islam di Pilkada DKI 2017 memainkan pelintiran kebencian (hate spin), dan itu, menurut George (2016), merupakan ancaman bagi demokrasi. Tragedi Pilkada DKI 2017 menjadikan proses demokrasi di Indonesia serupa pujian berlebihan yang belum selesai (unfinished rhapsody), selama keadilan belum berlaku untuk semua (Lohanda, 2021).
Salah satu indikator menurunnya kualitas demokrasi di Pilkada DKI 2017 ialah atas nama mayoritas umat, populisme Islam menghalangi hak kandidat yang berasal dari minoritas etnik dan agama untuk dipilih menjadi gubernur.
Bagaimana Menghindarinya?
Karena antara lain menurunkan kualitas demokrasi, populisme agama di Pilkada DKI 2017 harus kita hindari berulang di Pilkada 2024. Bagaimana mencegahnya?
Penelitian saya terkait populisme Islam di Pilkada DKI 2017 menemukan dua kategori agensi populis, yakni agensi pelaku dan agensi penikmat. Terjadi aliansi terselubung di antara kedua agensi ini. Agensi pelaku terdiri dari kelompok-kelompok konservatif yang didukung parpol pengusung kandidat muslim. Mereka memobilisasi umat untuk menolak kandidat dari kalangan minoritas melalui unjuk rasa berjilid-jilid agar kandidat dari kelompok mayoritas memenangi Pilkada DKI 2017.
Agensi penikmat ialah kandidat Gubernur DKI dari kalangan mayoritas. Sang kandidat membiarkan populisme Islam beroperasi di Pilkada DKI 2017 karena itu mengantarkannya pada kursi gubernur. Menolak populisme Islam membuatnya kalah.
Pengaruh kelompok-kelompok konservatif berkurang drastis setelah negara membubarkan mereka. Pertaruhan masa depan demokrasi kita ada di tangan parpol dan kandidat yang mereka usung. Tidak ada demokrasi tanpa politik dan tidak ada politik tanpa parpol.
Parpol selayaknya menjadikan pilkada sebagai arena konsolidasi pembangunan daerah. Populisme agama dan politik identitas yang terbukti memicu konflik berkepanjangan mempersulit kita semua mengonsolidasikan pembangunan daerah. Parpol tidak boleh lagi memainkan politik identitas atau populisme agama di Pilkada 2024 bila mereka hendak menegakkan demokrasi. Janganlah, karena ingin mengalahkan lawan, parpol memainkan populisme agama atau politik identitas.
Kandidat tak boleh juga membiarkan populisme agama berlangsung di depan matanya pada Pilkada 2024. Jangan pula karena hendak memenangi pilkada, kandidat justru menikmati populisme agama yang dimainkan parpol dan/atau para pendukung. *