RENCANA Presiden RI Prabowo Subianto untuk memberikan pengampunan kepada koruptor dengan syarat mereka mengembalikan uang yang telah dikorupsi memicu perdebatan serius. Kebijakan ini tidak hanya berisiko memberikan legitimasi terhadap tindakan korupsi, tetapi juga mengabaikan dampak sistemik yang menghancurkan mentalitas bangsa.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara pascakolonial, dengan warisan kolonialisme telah meninggalkan jejak mendalam pada struktur sosial dan politik, kebijakan semacam ini dapat memperkuat budaya korupsi yang telah mengakar. Melalui analisis buku On Corruption in America: And What Is at Stake karya Sarah Chayes (2020), kita dapat memahami bagaimana korupsi bekerja secara sistemik dan mengapa pendekatan pengampunan semacam ini bukan solusi, melainkan ancaman serius terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Korupsi Sistem yang Terorganisasi
Sarah Chayes dalam bukunya On Corruption in America menyebut korupsi bukan sekadar tindakan individu, melainkan sebuah sistem yang terorganisasi dengan baik. Korupsi, menurutnya, bekerja melalui jaringan kekuasaan yang saling mendukung, saat para elite memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sambil menjaga keberlanjutan sistem tersebut.
Di negara pascakolonial seperti Indonesia, sistem ini berakar pada struktur kolonial yang pada dasarnya eksploitatif. Selama masa kolonial, kekuasaan sering digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, meninggalkan warisan budaya politik yang memperkuat praktik korupsi di masa kemerdekaan.
Selain itu, seperti yang diutarakan oleh Berenschot dan van Klinken (2018), korupsi di Indonesia juga terbentuk melalui jaringan-jaringan informal yang hidup dan berkembang di berbagai lembaga pelayanan publik. Jaringan ini menciptakan hubungan timbal balik yang melibatkan birokrat, pengusaha, dan pihak-pihak lain yang saling menguntungkan.
Pola ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah individu, melainkan hasil dari mekanisme informal yang beroperasi paralel dengan struktur formal negara. Hal ini semakin memperparah sistem korupsi di Indonesia, tempat birokrasi dan lembaga publik menjadi ladang subur untuk praktik korupsi yang terselubung.
Dalam konteks Indonesia, mentalitas ini terus hidup melalui berbagai celah dalam sistem hukum dan birokrasi. Dengan menawarkan pengampunan kepada koruptor asalkan mereka mengembalikan uang negara, kita berisiko memperkuat jaringan korupsi tersebut.
Kebijakan ini mengirimkan pesan bahwa korupsi dapat dinegosiasikan, mengabaikan fakta bahwa korupsi tidak hanya merugikan secara material, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Chayes menegaskan bahwa dampak korupsi meluas hingga ke aspek sosial, menciptakan ketidaksetaraan yang mendalam dan memicu ketidakpuasan publik, yang pada akhirnya mengancam stabilitas politik dan sosial.
Pengampunan seperti yang diusulkan hanya berfokus pada aspek material korupsi dan mengabaikan konsekuensi nonmaterial yang lebih besar, seperti hilangnya kepercayaan publik, pembajakan fungsi negara, dan pembentukan budaya impunitas.
Solusi Alternatif
Dalam On Corruption in America, Chayes menawarkan solusi yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga strategis dan mendalam. Salah satu ide utamanya adalah perlunya “disrupsi sistemik” terhadap jaringan korupsi. Chayes berargumen upaya pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan menghukum individu-individu yang terlibat, tetapi harus mencakup reformasi besar-besaran terhadap institusi yang memungkinkan korupsi berkembang.
Di Indonesia, solusi ini dapat diwujudkan melalui langkah-langkah konkret yang berfokus pada reformasi struktural dan penguatan akuntabilitas. Salah satunya adalah pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset yang hingga kini masih terkatung-katung di DPR. Undang-undang ini akan menjadi landasan hukum yang kuat untuk menyita aset yang diperoleh melalui korupsi sehingga tidak ada ruang bagi pelaku untuk menikmati hasil kejahatannya. Selain itu, keberadaan undang-undang ini juga mampu menutup celah hukum yang selama ini sering dimanfaatkan oleh koruptor untuk menyembunyikan aset mereka.
Selain langkah hukum, pendidikan antikorupsi perlu dirancang ulang agar lebih efektif dan membudaya. Bukan sekadar menanamkan pemahaman kognitif, pendidikan ini harus berfokus pada nilai-nilai seperti integritas, transparansi, dan tanggung jawab yang ditanamkan sejak usia dini. Dengan melibatkan komunitas dan menggerakkan kampanye kesadaran publik, diharapkan budaya antikorupsi dapat menjadi bagian dari identitas kolektif masyarakat Indonesia.
Memperkuat sistem penegakan hukum juga menjadi prioritas. Lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus diberdayakan kembali setelah melewati berbagai upaya pelemahan yang menghambat fungsinya. Dalam konteks teori Chayes, penegakan hukum yang independen dan berintegritas adalah pilar utama dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan demikian, lembaga-lembaga penegak hukum dapat bertindak tanpa pandang bulu, memastikan bahwa tidak ada individu atau kelompok yang kebal dari hukum.
Lebih jauh, strategi antikorupsi harus menyasar aktor-aktor kunci dalam jaringan kekuasaan yang menopang praktik korupsi. Tidak cukup hanya menghukum pelaku individu; pemerintah harus membongkar jejaring kekuasaan yang melibatkan sponsor politik, pengusaha, dan pihak lain yang mendapat keuntungan dari korupsi. Dengan pendekatan ini, kita dapat mencegah regenerasi jaringan korupsi di masa depan.
Salah satu langkah paling mendesak adalah reformasi birokrasi untuk menghilangkan celah yang memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan. Sistem birokrasi yang lamban dan tidak efisien telah menjadi lahan subur bagi praktik korupsi. Reformasi ini harus diarahkan untuk menciptakan mekanisme yang lebih transparan dan efisien, sehingga peluang untuk melakukan korupsi dapat ditekan secara signifikan.
Chayes juga menyoroti pentingnya peran masyarakat dalam memerangi korupsi. Tanpa tekanan publik yang konsisten, reformasi institusional sulit untuk bertahan lama. Oleh karena itu, penguatan masyarakat sipil dan media independen harus menjadi bagian integral dari strategi antikorupsi.
Rencana Prabowo untuk memberikan pengampunan kepada koruptor mungkin terlihat sebagai solusi praktis untuk memulihkan kerugian negara. Namun, kebijakan ini berbahaya karena mengabaikan sifat sistemik korupsi dan dampaknya yang luas terhadap masyarakat dan institusi negara.
Pengampunan hanya akan memperkuat jaringan korupsi yang telah mengakar dalam mentalitas bangsa. Lebih dari itu, kebijakan ini berpotensi mengingkari janji besar Prabowo dalam Astacita-nya, yang mencakup komitmen untuk memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi serta memberantas korupsi secara tegas dan sistematis. *