KELUHAN tentang mahalnya harga kebutuhan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat kembali mencuat akhir-akhir ini. Anehnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan bahwa inflasi di Indonesia relatif rendah.
Pada 2022, inflasi tercatat sebesar 5,42 persen, sedangkan pada 2023 hanya 2,86 persen. Bahkan hingga November 2024, inflasi berada pada tingkat 1,55 persen, dengan empat bulan berturut-turut mengalami deflasi. Lantas, mengapa masyarakat tetap merasa harga barang semakin mahal?
Inflasi adalah ukuran kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Tapi di balik angka-angka itu, ada cerita yang lebih rumit. Kalau harga sebagian besar barang stabil atau turun, inflasi terlihat rendah meskipun harga beras, gula, atau minyak goreng melambung tinggi.
Di sinilah letak masalahnya. Bagi kebanyakan orang, terutama yang berpenghasilan rendah, barang-barang seperti beras atau minyak goreng adalah kebutuhan utama. Kalau harga barang-barang itu naik, mereka langsung merasa terpukul, meskipun inflasi secara keseluruhan tetap rendah.
Kenapa yang Kaya Lebih Tenang?
Bayangkan dua keluarga, satu berpenghasilan tinggi dan satu lagi pas-pasan. Keluarga kaya membeli berbagai macam barang: kebutuhan pokok, barang mewah, hingga liburan. Kalau harga beras naik, hanya sedikit memengaruhi anggaran karena total pengeluarannya tersebar di banyak hal. Sebaliknya, keluarga berpenghasilan rendah dominan menghabiskan pendapatan mereka untuk kebutuhan pokok.
Jadi, kalau harga bahan makanan naik, dampaknya terasa sangat besar. Wajar jika mereka sering mengeluh. Ini sejalan dengan Hukum Engel yang mengatakan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar proporsi penghasilannya yang dihabiskan untuk kebutuhan dasar. Kenaikan harga bahan pokok sedikit saja cukup membuat mereka kewalahan.
BPS mencatat inflasi makanan, minuman, dan tembakau (kelompok yang sering dikonsumsi masyarakat berpenghasilan rendah) mencapai 0,56 persen (mtm) pada November 2024. Bandingkan dengan inflasi umum yang hanya 0,24 persen (mtm) pada November 2024. Jadi, meski inflasi terlihat rendah, bagi masyarakat miskin, kenyataan di lapangan sangat berbeda.
Hal ini juga tecermin dari kenaikan garis kemiskinan (GK). Pada Maret 2024, GK berada di Rp582.932 per kapita per bulan, naik dari Rp550.458 tahun sebelumnya. Dengan penghasilan segitu, orang miskin semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar, apalagi kalau penghasilannya tidak ikut naik.
Kenaikan GK menunjukkan untuk keluar dari kemiskinan pendapatan orang miskin harus tumbuh lebih cepat daripada inflasi. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5 persen tidak cukup untuk mengejar kenaikan GK yang mencapai 5,9 persen. Kelompok rentan miskin juga berada dalam bahaya. Mereka yang sebelumnya “nyaris tidak miskin” bisa saja jatuh ke jurang kemiskinan jika harga bahan pokok terus naik tanpa diimbangi kenaikan pendapatan.
Lantas apa solusinya? Untuk meringankan beban masyarakat, kita tidak bisa hanya mengandalkan inflasi rendah sebagai indikator kesejahteraan. Pemerintah harus memastikan distribusi bahan pokok lancar dan bebas spekulasi harga agar tercapai stabilisasi harga bahan pokok. Bayangkan betapa lega rasanya kalau bahan pokok, seperti beras, gula, atau minyak goreng bisa dibeli lebih murah di lingkungan kita sendiri.
Pemerintah perlu rutin mengadakan pasar murah di kelurahan atau desa. Tak hanya untuk momen-momen tertentu seperti Ramadan, tapi sepanjang tahun. Dengan begitu, ibu-ibu tak perlu cemas menghitung-hitung uang belanja tiap hari.
Pangkas Jalur Distribusi
Jika petani atau produsen bisa langsung menjual hasil panennya ke pasar atau melalui koperasi, harga bisa lebih terjangkau. Distribusi yang efisien juga berarti bahan pokok sampai lebih cepat dan segar ke tangan konsumen. Kadang kita lupa bahwa Indonesia kaya akan sumber pangan selain beras. Singkong, jagung, atau sorgum bisa jadi alternatif.
Pemerintah perlu menggalakkan kembali konsumsi pangan lokal, sekaligus membantu petani memasarkan produk-produk ini. Kalau masyarakat mulai terbiasa, ketergantungan pada beras bisa berkurang, dan harga pun jadi lebih terkendali. Upah yang diterima sering tak cukup untuk mengejar kenaikan harga barang.
Pemerintah juga perlu memastikan gaji, terutama upah minimum, benar-benar disesuaikan dengan kondisi lapangan, termasuk harga bahan pokok. Jangan sampai masyarakat terus merasa “gaji segini-gini aja, tapi harga terus naik.” Kartel dan spekulasi harga sering menjadi biang kerok kenaikan bahan pokok. Ini harus diberantas tuntas sampai ke akarnya. Pemerintah harus tegas terhadap pelaku yang bermain curang demi keuntungan pribadi.
Mahalnya harga bahan pokok bukan hanya soal angka, melainkan juga soal bagaimana masyarakat bisa hidup dari hari ke hari. Memastikan harga kebutuhan stabil bukan cuma persoalan ekonomi, melainkan juga persoalan kemanusiaan. Pada akhirnya, kesejahteraan harus dirasakan semua orang. Oleh karena itu, inflasi rendah memang penting, tapi tanpa harga bahan pokok yang terjangkau, masyarakat tetap akan merasa hidup semakin mahal.
Dengan menggabungkan pendekatan jangka pendek (subsidi dan stabilisasi harga) serta jangka panjang (reformasi struktural dan pemberdayaan), kita bisa memastikan tidak ada lagi yang merasa terpinggirkan dalam perjalanan menuju kesejahteraan nasional. Harga stabil, daya beli meningkat, kesejahteraan pun akan merata. *