TAHUN 2024 menjadi tahun penuh tantangan bagi pemerintah daerah, khususnya di Lampung, karena kombinasi faktor politik (pemilu serentak), transisi kebijakan pemerintah pusat, serta tekanan ekonomi global. Sedangkan tahun 2025 menjadi momentum penting bagi kepala daerah, baik yang baru terpilih maupun yang petahana, untuk menunjukkan komitmen memperbaiki pengelolaan keuangan daerah. Persoalan defisit keuangan riil menjadi salah satu topik yang layak mendapat perhatian di pengujung tahun.
Merujuk defisit keuangan riil atau krisis keuangan sebagaimana ditulis Saring Suhendro di Harian Lampung Post, Rabu, 18 Desember 2024, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) auditan BPK RI menunjukkan tren defisit keuangan riil pemda se-Provinsi Lampung selama empat tahun, yaitu periode 2020 hingga 2023.
Penulis mengelompokkan berdasarkan polanya, yaitu: Pertama, pemda yang menunjukkan tren perbaikan dalam pengelolaan defisit keuangan riil atau defisit membaik, yaitu Kota Bandar Lampung. Meskipun mencatatkan defisit keuangan riil yang tinggi tahun 2020, terjadi perbaikan pengelolaan keuangan yang ditandai menurunnya secara signifikan defisit riil dari tahun ke tahun.
Kedua, pemda yang tergolong defisit keuangan riil memburuk dengan tren penurunan pengelolaan keuangan karena defisit keuangan riil yang terus meningkat dari tahun ke tahun, yaitu Pemerintah Provinsi Lampung, Kabupaten Pesawaran, Lampung Utara, dan Tulang Bawang Barat.
Ketiga, pemda dengan defisit keuangan riil fluktuatif ekstrem yang ditandai dengan pola perubahan nilai defisit keuangan riil yang tidak konsisten, dengan fluktuasi besar dari tahun ke tahun kadang membaik/memburuk, yaitu Kabupaten Pesisir Barat, Tanggamus, Lampung Timur, Way Kanan, Tulang Bawang, Lampung Selatan, dan Kota Metro. Keempat, pemda yang selalu mencatat surplus keuangan selama empat tahun berturut-turut tanpa pernah mengalami defisit atau terjadi surplus berkelanjutan, yaitu Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Barat, Pringsewu, dan Mesuji.
Akar Masalah
Defisit keuangan riil terjadi karena ketidakseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran daerah. Akar masalahnya adalah ketergantungan yang tinggi pada dana transfer dari Pemerintah Pusat serta dana bagi hasil (DBH) dari pemerintah provinsi.
Ketika dana alokasi umum (DAU) atau dana alokasi khusus (DAK) atau DBH mengalami penurunan, maka pemda yang sangat bergantung pada sumber dana ini akan kesulitan untuk membayar belanja operasional, seperti gaji pegawai dan kegiatan layanan dasar. Selain itu, manajemen belanja yang tidak efisien ditandai dengan pemda sering membuat anggaran yang tidak realistis. Sementara itu, pendapatan asli daerah (PAD) meskipun terus bertumbuh, belum mampu memenuhi kebutuhan anggaran belanja yang terus meningkat. Masalah lainnya, kurangnya perencanaan keuangan yang matang serta pemanfaatan aset yang berpotensi meningkatkan PAD belum optimal.
Tantangan
Berbagai tantangan yang dihadapi pemda, meliputi Pertama, strategi fiskal kerap tidak didasarkan pada analisis yang mendalam sehingga tidak mampu mengantisipasi kebutuhan belanja dan potensi pendapatan secara efektif. Kedua, proporsi belanja operasional yang terlalu besar mengurangi alokasi untuk belanja produktif. Selain itu, terdapat pengeluaran yang dinilai kurang relevan, seperti perjalanan dinas yang tidak berdampak signifikan.
Ketiga, pengelolaan anggaran yang kurang terbuka sering menimbulkan ketidakpercayaan publik dan berdampak pada akuntabilitas pemerintah daerah. Keempat, perubahan kebijakan fiskal di tingkat pusat kerap memberikan dampak besar, terutama bagi daerah yang bergantung pada transfer dana.
Langkah Strategis
Kunci utama mengatasi defisit keuangan riil tergantung kepada kepala daerah (leadership) yang kompeten, efisien, inovatif, dan responsif. Kepala daerah yang kompeten akan memastikan bahwa anggaran daerah disusun berdasarkan kebutuhan prioritas masyarakat dan potensi pendapatan yang realistis. Kepala daerah yang efisien akan mendorong pengawasan belanja daerah guna memastikan tidak ada pemborosan atau kebocoran anggaran.
Kepala daerah yang inovatif akan mencari cara untuk meningkatkan PAD dengan menggali potensi lokal, seperti pariwisata atau pemanfaatan aset daerah. Kepala daerah yang responsif akan mengambil langkah strategis untuk mengurangi pengeluaran tidak penting, meningkatkan efisiensi, dan memobilisasi sumber daya baru.
Langkah strategis yang dilakukan adalah Pertama, meningkatkan PAD melalui hilirisasi komoditas lokal dengan cara mengolah komoditas lokal hingga menghasilkan produk bernilai tambah untuk mengurangi ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pusat. Dengan memanfaatkan potensi lokal, seperti kopi, singkong, dan kelapa sawit, daerah dapat menciptakan produk yang lebih bernilai, membuka peluang kerja, serta menarik investor untuk berkontribusi pada perekonomian daerah dan meningkatkan PAD.
Kedua, industrialisasi yang memanfaatkan sumber daya lokal guna memperluas perekonomian daerah dengan menciptakan ekosistem industri yang sesuai dengan keunggulan wilayah. Pemda berperan membangun kawasan industri khusus yang dilengkapi infrastruktur memadai, menawarkan insentif investasi, serta menggandeng sektor swasta untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, melakukan pendekatan strategis untuk mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan melalui intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi PAD. Keempat, memprioritaskan belanja modal yang mendukung pertumbuhan ekonomi, dan memangkas pengeluaran yang tidak produktif, apalagi pengeluaran untuk memenuhi hasrat politik dan hanyut dengan “janji-janji populis”.
Membuka Jalan Masa Depan
Refleksi akhir tahun ini menjadi titik tolak untuk merancang strategi yang lebih baik ke depan. Defisit keuangan riil tidak hanya dipandang sebagai masalah, tetapi sebagai peluang untuk menciptakan perubahan yang lebih baik.
Opsen PKB dan BBNKB yang diberlakukan tahun 2025 memberikan ruang bagi kabupaten/kota untuk meningkatkan PAD melalui pengelolaan pajak mandiri. Dengan pendekatan yang tepat, defisit keuangan riil dapat menjadi pijakan untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan. *