SETIAP tahun, pada tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan Nasional untuk mengenang peristiwa heroik di Surabaya pada tahun 1945. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959, Hari Pahlawan menjadi momen penting untuk memperkuat ingatan kolektif dan cinta tanah air, menginspirasi semangat perjuangan dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Dalam semangat yang sama, kita juga perlu mengenang tokoh-tokoh lokal yang berjasa bagi Indonesia, seperti Mr. Gele Harun Nasution di Lampung. Beliau adalah sosok yang tidak hanya berperan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga dalam pembangunan dan konsolidasi wilayah Lampung. Tulisan ini akan mengulas peran dan perjuangan Mr. Gele Harun Nasution dalam membela dan membangun Lampung, yang selayaknya mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan nasional.
Mr. Gele Harun Nasution lahir di Sibolga, Sumatera Utara, pada 6 Desember 1910. Ia berasal dari keluarga terpelajar, dengan ayahnya, Harun Al Rasyid Nasution, yang berprofesi sebagai dokter dengan prestasi yang diakui setara dengan dokter-dokter Belanda. Pada usia muda, Gele Harun bersama keluarganya pindah ke Tanjung Karang, Lampung, di mana ayahnya membuka klinik kesehatan untuk melayani masyarakat.
Dalam bidang pendidikan, Gele Harun adalah lulusan hukum dari sekolah hakim tinggi di Leiden, Belanda, dan meraih gelar “Meester in de Rechten” (Mr) pada dekade 1930-an. Pendidikan hukum di Eropa memberinya wawasan mendalam tentang pentingnya keadilan dan hak asasi, sekaligus menumbuhkan rasa nasionalisme yang kuat. Kehidupan di Belanda yang penuh kemewahan kontras dengan kondisi di Indonesia, mendorongnya untuk aktif dalam organisasi perjuangan, seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API) (Arif et al., 2022).
Ketika kembali ke Lampung pada 1939, Gele Harun mendirikan kantor bantuan hukum pertama di daerah ini, tetapi kehadiran Jepang pada 1942 mengubah kariernya menjadi Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Karang. Ketika Belanda kembali menyerang melalui Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, ibu kota Karesidenan Lampung, Tanjung Karang, diduduki. Situasi ini memaksa pemerintah daerah mengungsi, dan melalui rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Lampung, Gele Harun diangkat sebagai Kepala Pemerintahan Darurat Karesidenan Lampung. Jabatan ini kemudian disahkan oleh Pemerintah Darurat Sumatera Selatan (Mulkarnaen Gele Harun Nasution, Dkk. 2015).
Sebagai residen darurat, Gele Harun memainkan peran kunci dalam menjaga ketertiban dan menghadapi tekanan Belanda yang berusaha menguasai Lampung. Ia mengambil langkah strategis dengan membentuk pasukan pertahanan, Brigade Garuda Hitam, yang berperan dalam menjaga keamanan dan kedaulatan di wilayah Lampung. Di samping itu, dalam menghadapi dampak ekonomi dari inflasi akibat beredarnya mata uang Belanda, Gele Harun memutuskan untuk mencetak uang darurat sebagai alat tukar yang sah di Lampung. Kebijakan ini bukan hanya menjaga roda ekonomi tetap berjalan, melainkan juga menegaskan kemandirian Lampung dalam menghadapi pendudukan Belanda (DHD, 1994).
Pada masa pemerintahannya yang berpindah-pindah dari Pringsewu, Talangpadang, hingga Bukitkemuning, Mr. Gele Harun beserta keluarganya dan staf pemerintah tetap menjalankan tugas kenegaraan, termasuk layanan pengadilan bagi rakyat yang memerlukan keadilan. Bersama Ketua DPR Lampung, A. Yasin, dan staf lainnya, Gele Harun terus memimpin perjuangan dan kegiatan pemerintahan darurat dengan keteguhan.
Meskipun dalam kondisi sulit, peringatan HUT ke-4 Kemerdekaan Indonesia tetap dirayakan secara meriah di Bukitkemuning, membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat setempat. Dukungan logistik diperoleh dari zakat padi umat Islam di Kecamatan Bukitkemuning, yang dikelola oleh panitia khusus. Upaya ini menunjukkan peran strategis dan integritas Gele Harun dalam menjaga stabilitas sosial di masa genting.
Ketika perjanjian Roem Royen disepakati, lampu hijau bagi pemindahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia akhirnya tiba, dan Mr. Gele Harun kembali menerima mandat sebagai Residen Lampung. Ia juga yang menyaksikan dan menerima langsung penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda setelah Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Gele Harun menegaskan bahwa kedaulatan bangsa Indonesia harus diakui penuh, dengan tetap menjaga harga diri bangsa.
Selain kebijakan militer dan ekonomi, kebijakan sosial yang diterapkannya berkontribusi pada stabilitas Lampung dan menjaga kehormatan Indonesia di mata dunia. Inisiatif pencetakan uang darurat menjadi contoh nyata kebijaksanaan dan keberanian Gele Harun yang memperhitungkan dampak bagi seluruh masyarakat Lampung.
Pengabdian Mr. Gele Harun Nasution dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan menjaga Lampung selayaknya mendapat apresiasi setara dengan pahlawan nasional lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir, dukungan untuk mengusulkan Gele Harun sebagai Pahlawan Nasional semakin kuat. Pada Juni 2024, Sekretaris Daerah Provinsi Lampung Fahrizal Darminto bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) mengadakan pertemuan untuk mengkaji kelayakan gelar pahlawan bagi Gele Harun. Melalui proses yang didasarkan pada rekomendasi Gubernur Lampung pada tahun 2021, TP2GP mengonfirmasi bahwa Gele Harun memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai Pahlawan Nasional (diskominfotik.lampungprov.go.id, 25 Juni 2024).
Memperingati Hari Pahlawan Nasional tidak hanya tentang mengenang mereka yang berjuang pada masa revolusi, tetapi juga mengapresiasi perjuangan tokoh lokal seperti Mr. Gele Harun Nasution yang berperan dalam mempertahankan kemerdekaan di Lampung. Perjuangannya sebagai residen darurat, keteguhannya memimpin Brigade Garuda Hitam, dan kebijakan ekonomi melalui uang darurat menjadi simbol keberanian dan kecintaannya pada Indonesia. Layak ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, Mr. Gele Harun akan menjadi inspirasi bagi masyarakat Lampung dan generasi mendatang untuk mencintai dan membangun negeri ini dengan keteguhan, semangat, dan cinta yang sama seperti yang ia tunjukkan. *