Wandi Barboy Silaban
Wartawan Lampung Post
INI sekelumit kisah tentang falsafah Jawa yang mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Falsafah yang menjadi pegangan dan tuntunan bagi Presiden Soeharto. Filosofi itu berbunyi mikul duwur mendem jero. Dalam terjemahan bebas, mengangkat hal-hal baik dari orang yang lebih tua atau orang tua dan membuang hal-hal buruk dari orang tua.
Semua itu saya catat saat menyimak wawancara pengusaha cum seniman Setiawan Djody dari akun YouTube Fadli Zon official. Dalam perbincangan bersama anggota DPR, Fadli Zon, Djody mengangkat falsafah Jawa mikul dhuwur mendem jero. Menurutnya, hal itulah yang menyebabkan peralihan kepemimpinan negara ini tidak mengalami perpecahan yang parah seperti yang terjadi di negara-negara lain.
Dia menuturkan bagaimana saat pergantian kepemimpinan dari Sukarno kepada Soeharto, banyak pihak khususnya aktivis mahasiswa, yang menuntut ingin mengadili Sukarno. Namun, Soeharto tidak mau mengamini tuntutan mahasiswa. Dia teguh pada prinsip mikul duwur mendem jero. Djody juga mengapresiasi bagaimana langkah Prabowo yang masuk ke kabinet Jokowi adalah sesuatu yang patut menjadi teladan. Prabowo telah mengikis perpecahan yang cukup membelah bangsa di tingkat akar rumput saat Pemilu Presiden 2019. Begitulah.
Dari pembuka obrolan itu ternyata diketahui Setiawan Djody adalah cicit pahlawan nasional, dokter Wahidin Soedirohusodo, penggagas Boedi Oetomo. Selain itu, dia memiliki pertalian keluarga dengan maestro pelukis Indonesia, Basuki Abdullah. Bahkan, beririsan garis keturunan pula dengan Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Radjiman Wedioningrat.
Keluarga Soeharto
Pada tayangan itu pula diketahui kedekatan Setiawan Djody bersahabat dengan putra tertua Soeharto, Sigit Harjojudanto, dan putra bungsunya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Djody memulai bisnis kapal pengangkut minyak dengan Sigit dan berbisnis mobil Lamborghini dengan Tommy Soeharto. Dari situ, kemudian Djody memasuki pergaulan internasional dengan artis-artis dunia, seperti David Bowie, Muhammad Ali, Metallica, hingga tokoh dunia seperti Donald Trump.
Djody juga diketahui pernah memiliki band Terncem (akronim Teruna Cemerlang) sebelum mulai mensponsori band Swami yang beranggotakan Iwan Fals, Sawung Jabo, Naniel Yakin, Nanoe, Innisisri, Jockie Suryoprayogo, dan Totok Tewel. Dari grup Swami inilah, lagu “Bento” dan “Bongkar” meledak. Namun, karena rezim Orde Baru begitu represif, kedua lagu itu sempat dicekal oleh pemerintah. Setelah itu, Djody membentuk Kantata Takwa, kali ini mengajak dramawan sekaligus penyair berjuluk si Burung Merak, WS Rendra. Demikianlah.
Wawancara itu juga menyuguhkan bagaimana memenangkan bisnis saat ini melalui pertarungan kolaborasi investasi. Menurut Djody, seperti itulah pertarungan atau proxy war bisnis ke depan. Djody juga menyebut sejumlah sumber daya alam Indonesia yang bisa dikembangkan adalah solar, gelombang laut, panas bumi, angin, dan sebagainya.
Djody memang menaruh perhatian besar kepada bisnis sumber daya alam. Saat wawancara dengan salah satu media nasional yang tersebar di bilah mesin pencari, Djody berharap para kandidat capres yang ada saat ini menaruh perhatian besar pada pengelolaan sumber daya alam. Begitulah.
Ya, sekelumit profil Djody di atas tidak lain dan tak bukan karena dia juga memiliki pertalian dengan Kasunanan Surakarta (Solo). Ia memiliki gelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Salahuddin Setiawan Djodi Nur Hadiningrat. Ia juga yang membela Presiden Soeharto ketika Gus Dur dan aktivis pro demokrasi lainnya menuntut pengadilan terhadap Soeharto. Kembali, itu karena Djody juga memegang teguh falsafah Jawa, mikul duwur mendem jero.n