
DI tengah-tengah menggila virus corona dan naiknya angka kematian akibat Covid-19, banyak orang mencari kesempatan. Parahnya lagi masih ada masyarakat tidak peduli dengan kesehatan. Dalam sepekan terakhir, mulai dari penimbun obat-obatan, oksigen, politikus, hingga kelompok warga memanfaatkan pandemi ini untuk mengeruk keuntungan dan pencitraan.
Kecaman viral di media sejak melejitnya harga obat-obatan Covid-19 di atas ketetapan harga eceran tertinggi (HET) di tengah kebutuhan yang sangat tinggi. Parah memang. Apalagi berbarengan tingginya kasus akibat virus corona. Banyak orang mencari keuntungan. Ulah seperti ini menyakitkan hati sehingga banyak pasien terpapar bahkan meninggal dunia.
Seperti Ivermectin. Obat terapi ini dilaporkan tersedia di Kimia Farma dan apotek lainnya, dengan harga banderol pemerintah Rp7.885 per butir. Tapi di pasaran naik berlipat-lipat. Belum lagi ulah spekulan menumpuk obat dan tabung oksigen. Tidak manusiawi. Aksi inilah yang menyebabkan kelangkaan. Aparat harus bertindak tegas di tengah darurat kesehatan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun bersikap. Fatwanya menyatakan haram hukumnya sengaja menimbun barang yang dibutuhkan pada masa wabah berkecamuk, termasuk tabung oksigen. Hukumnya sangat jelas.
Aparat tidak perlu menutup mata. Dalam Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 berisikan tindakan yang membuat kepanikan sehingga akan menyebabkan kerugian publik, hukumnya haram. Seperti aksi memborong, menimbun kebutuhan pokok, dan menumpuk masker dan obat-obatan.
Gayung pun bersambut. Polisi melalui surat telegram Bareskrim menindak warga di saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Instruksi dari Mabes Polri kepada para kapolda itu berisi perintah harian penting, yakni mengawasi pengendalian HET obat-obatan.
Aparat juga harus menegakkan hukum terhadap pelaku penimbun dan menjual obat-obatan di atas HET. Selain itu, secara represif menindak tegas bagi penyebar berita bohong terkait penanggulangan wabah corona. Paling penting, polisi harus seiring sejalan dengan jaksa dalam menerapkan pasal-pasal pidana yang menjerat pelanggar di masa PPKM darurat.
Memang banyak orang ingin mengambil keuntungan di situasi pandemi. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) secara terang benderang mendeteksi informasi berita yang bernarasi bohong sebanyak 1.718 konten, dalam rentang 23 Januari 2020—8 Juli 2021. Negara juga harus hadir menindak pelaku, serta men-takedown berita dalam berbagai platform sehingga tidak menyebar ke mana-mana di media sosial.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G Plate menyatakan sebanyak 113 kasus sudah dilakukan penindakan hukum, dan 3.323 berita bohong di-takedown. “Pembuat dan penyebar berita hoaks merupakan titik lemah Indonesia dalam perang melawan Covid-19,” jelas Menteri.
Jika dirunut, jumlah konten hoaks di Facebook sebanyak 2.784 yang sudah di-takedown. Instagram sebanyak 22, Twitter 472, serta YouTube ada 45 dihanguskan. Pembuat narasi yang menebar kebencian dan kebohongan itu berjumlah 113 tersangka. Mereka sudah menghadapi hukuman.
Selain berita bohong berselancar di dunia maya, rakyat pun terus diberikan pemahaman bahaya pandemi Covid-19. Harus jujur diakui, masih banyak warga tidak percaya adanya corona padahal sudah memorak-porandakan perekonomian, ratusan jenazah dikuburkan setiap harinya.
***
Para pakar epidemiologi dan negara pun hadir mengingatkan tanpa lelah. Titik lengah itu ketika seringnya warga abai seperti makan bersama tanpa peduli protokol kesehatan. Kemudian ngobrol tanpa peduli siapa yang diajak bicara. Begitu juga seringnya rapat luring, olahraga bersama, berfoto selfie, serta transportasi umum yang tidak mengenal kesehatan.
Paling bahaya saat ini, sudah merebaknya virus varian baru yang daya tularnya sangat cepat dan ganas. Adalah Jakarta dan beberapa kota besar di negeri ini. Makanya banyak mal, pasar tradisional, restoran, kafe, tempat wisata, serta acara pernikahan, dan ibadah dibatasi sangat ketat, bahkan ditutup untuk sementara waktu karena masuk zona merah dan oranye.
Meningkatnya kasus Covid-19 dan banyak kematian di berbagai daerah–negara harus memberikan rasa aman. Yakni melonggarkan kebijakan swab test antigen serta menurunkan harga alat kesehatan deteksi dini. Kebijakan berpihak kepada masyarakat menengah bawah adalah sebuah keharusan.
Lihat! Banyak warga antre menunggu kematian untuk rapid test di rumah sakit rujukan dan puskesmas. Jika angka suspect ingin diturunkan, permudahlah swab test antigen secara mandiri. Harga alat tes swab deteksi dini harus dimurahkan lagi. Janganlah mencari keuntungan di tengah pandemi!
Apalagi ada pengurus partai meminta negara membuatkan rumah sakit khusus pejabat. Keinginan tidak memiliki rasa empati di tengah pandemi itu disampaikan wakil sekjen Partai Amanat Nasional (PAN). Pengusul itu adalah seorang dokter. Ini waktu yang tidak tepat.
“Itu usulan perasaan Bu Dokter Rosaline Rumaseuw karena merasa sedih saudaranya John Mirin, anggota Fraksi PAN DPR akhirnya meninggal dunia karena penanganan yang terlambat di rumah sakit,” ujar Wakil Sekjen DPP PAN, Irvan Herman, Kamis (8/7).
Dalam webinar bertajuk Persepsi Netizen terhadap Penanganan Covid-19, Rabu (7/7), Rosaline mengatakan, “Saya minta perhatian ke pemerintah bagaimana caranya harus ada rumah sakit khusus buat pejabat negara.”
Rosaline ingin peduli. Dia menilai pejabat negara harus diistimewakan karena mereka bekerja untuk rakyat. Pernah anggota Dewan mengemis-ngemis ke rumah sakit untuk mendapatkan ruang perawatan di tengah pandemi tengah melonjak. Pernyataan inilah yang menjadi pro-kontra.
Ada baiknya siapa pun dia, baik itu epidemologi, politikus, pengamat, publik figur, maupun akademisi berhentilah menari-nari di saat bangsa ini perang melawan Covid-19. Termasuk warga yang doyan menebar berita bohong di media sosial, juga harus sadar–berhenti membuat kegaduhan.
Wabah yang mengerikan ini bukan saatnya berkomentar bersahut-sahutan—saling menyalahkan. Mencari panggung untuk pencitraan, juga mengeruk keuntungan. Tapi waktunya bersatu, berempati, bagaimana caranya, semua elemen bangsa bekerja sama untuk mengakhiri pandemi ini. ***