Jadi (akan, me)

Sudjarwo Profesor Ilmu-Ilmu Sosial di Unila SIANG hari setelah makan datang teman diskusi ke ruangan dengan membawa setumpuk pemikiran yang berawal dari kegelisahan; karena persoalan remeh-temeh yang semestinya ada di wilayah privat, tetapi sering terbawa ke arah publik. Jika menggunakan bahasa filsafat, hal inilah yang namanya persoalan personal terbawa ke wilayah impersonal. Dengan demikian, membuat rancu, baik yang menerima maupun yang mendengarnya. Dosen yang mantan pejabat eselon satu dari pusat ini memang sering tampak kikuk melihat dinamika interaksi di perguruan tinggi. Beliau tampak memuntahkan semua unek-unek. Walaupun dengan bahasa yang santun, tetapi dapat terlihat beliau sedang marah luar biasa. Setelah reda beliau menjelaskan secara runut peristiwa tersebut. Inti persoalannya sebenarnya adalah perbedaan generasi. Sehingga daya tangkap, daya suai, dan tampilan perilaku tidak satu frekuensi dengan beliau. Akhirnya mengalirlah pemikiran ini untuk bahan renungan bersama. Pada lembaran ini beberapa waktu lalu ada catatan bahwa rangkaian waktu itu terdiri dari masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, sangat tidak mungkin kita melupakan masa lampau yang merupakan sejarah dan mendesain masa depan pada saat ini tanpa sejarah serta berharap pada masa yang akan datang untuk mengukir sejarah. Secara linier maka desain itu dapat kita lambangkan dengan “sudah jadi” kemudian “sedang menjadi” dan terakhir “akan menjadi”. Proses dialektika seperti itu akan terus dan terus berjalan sebagai tesis, antitesis, serta sintesis kehidupan. Oleh karena itu, membendung waktu adalah pekerjaan yang tidak mungkin oleh manusia. Namun, mengisi waktu, memanfaatkan waktu, adalah pekerjaan kodrati dari manusia. Persoalannya adalah pada apa yang akan terisi ke dalam semua itu. Legitimasi Legitimasi sebagai manusia sering tidak cukup untuk mewadahi keberjalanan waktu. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya orang mengingkari waktu sehingga mampu menepuk dada seolah menjadi pemilik mutlak sang waktu. Akibatnya sanggup mengingkari keberadaan masa lampau dan menafikan masa depan. Kesesatan berpikir seperti ini menjadi sempurna jika yang bersangkutan dikelilingi oleh para petualang waktu. Oleh sebab itu, orang bijak mengatakan jangan bermain-main dengan waktu karena dia adalah pedang yang kapan pun bisa memenggal lehermu. Peringatan dini seperti ini sangat jarang kita sadari. Namun, setelah peristiwa terjadi dan merugikan diri kita, saat itu pada umumnya kita baru menyadari. Peristiwa kekinian yang sebenarnya merupakan rangkaian dari proses perjalanan waktu sering dinafikan karena kepentingan sesaat. Akibatnya membuat kebingungan bagi orang lain karena tidak disadari menjadi korban yang seharusnya tidak perlu. Sebaliknya kita juga sering menemukan orang atau sekelompok orang yang “memerkosa” waktu, yang dalam bahasa daerahnya (Jawa) disebut sebagai “ nggege mongso ”. Artinya, memaksa sang waktu terhadap sesuatu untuk terjadi. Hal seperti ini tentunya akan menimbulkan konsekuensi, yaitu berhasil atau gagal. Pemaksaan seperti ini dalam sejarah banyak sekali kita temu kenali sebagai peristiwa sosial yang direkayasa untuk suatu peristiwa terjadi. Libido Berkuasa Libido ingin berkuasa tidak jarang juga ingin membolakbalikkan antara sudah, sedang, dan akan. Akibatnya tatanan sosial menjadi jungkir balik karena pemaksaan penyesuaian yang menjadikan aturan baku terbongkar sedemikian rupa sementara aturan baru belum ada. Akibatnya terjadi chaos yang tidak jarang membahayakan masyarakat itu sendiri. Peristiwa seperti di atas ternyata jika kita tilik dalam sejarah kehidupan manusia selalu ada, baik yang berskala besar maupun kecil. Terlepas dari skalanya, akibat dan dampak dari hal tersebut tidak jarang membawa korban manusia yang tidak sedikit. Bahkan yang lebih menyedihkan, korban sia-sia. Hidup harus berubah, bergerak, dan berganti. Namun, semua harus mengikuti pakem yang tertulis sebelum peristiwa itu terjadi. Persoalan apakah pakem itu kita sukai atau tidak, itu bukan wewenang kita sebagai pelaku, tetapi milik mutlak dari pemilik waktu. Namun, di sana tetap ada dua pilihan, pertama upaya dan kedua doa. Apakah kita hanya memilih salah satu atau akan mengombinasikan keduanya, di situlah wilayah pilihan kita sebagai manusia. Kehidupan yang terlalu jumawa adalah kesombongan yang sering tidak disadari pelaku. Oleh karena itu, mengklaim akan suatu keberhasilan dengan menafikan pihak lain dalam berkontribusi adalah perbuatan zalim yang sangat halus menyusup ke relung hati. Ini adalah racun duniawi yang kita minum tanpa kita sadari. Semoga dengan berakhirnya tahun ini merupakan saat yang tepat untuk kita melakukan evaluasi diri; dari mana, sedang apa, dan mau ke mana kita nanti. Hati nurani sebagai pelita hati yang tak kunjung mati. n

Jokowi Masuk 25 Tokoh Muslim Berpengaruh

Empat Pengguna Narkoba Direhabilitasi

Wandi Barboy

Empat Pengguna Narkoba Direhabilitasi

LAZ ABA Belum Didatangi Polisi

Tersangka Pembunuhan Lakukan 28 Reka Adegan

Tiga Hari Tenggat Gugatan Pilkada

Tunda Penetapan Pemenang Pilkada Lamteng

BERITA TERBARU

TOP NEWS

Benang Merah Konflik Manusia dengan Satwa

23 Ribu Peserta Gagal Masuk SMA/SMK Negeri

Tembus Rp12,42 Miliar Ekonomi Syariah kian Kokoh

Jalur SPMB SMP Prioritaskan Jarak

Perencanaan Keuangan Kunci Kemapanan Finansial

Perkuat Akses Keuangan Inklusif

Kebingungan Peserta Warnai Hari Pertama SPMB

Buka Ekspor Sawit di Pasar Eropa

Perketat Pengawasan Truk ODOL

Kreatif Hadapi Efisiensi Anggaran

POPULAR POST

Pelantikan Pimpinan DPRD Lampura Berlangsung Sederhana

Koran Digital Lampung Post, Edisi Rabu, 10 Desember 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Selasa, 09 Desember 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Kamis, 11 Desember 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Jum’at, 12 Desember 2025

Tentang Kami

Alamat Kami

Iklan & Sirkulasi